Nasihat Imam Malik Kepada Netizen +62

oleh

Oleh : Husaini Muzakir Algayoni*

“Netizen +62 ada isu hutan ramai-ramai menjadi orang hutan, ada isu kafir ramai-ramai menjadi mufassir, ada isu agama ramai-ramai menjadi ahli agama, semua isu dilahap hingga menjadi ahli dan pakar semua ilmu.”

Tulisan ini melanjutkan pembahasan sebelumnya dengan judul “Kecerdasan Intelektual Imam Ahl al-Ra’y” berangkat dari buku “Riwayat Sembilan Imam Fiqih” karya Abdurrahman al-Syarqawi. Sebelumnya penulis mengangkat pemikiran Imam Abu Hanifah yang dikenal sebagai Imam Ahl al-Ra’y, kali ini penulis menguraikan secara singkat pemikiran Imam Malik bin Anas.

Imam Malik sosok yang rajin, tekun, dan gigih menuntut ilmu. Sejak lahir 93 H hingga wafat, tinggal di Madinah. Maka tidak heran Imam Malik merasakan adanya bau kenabian dan seolah-olah adanya hembusan nafas suci dan menghirup udara segar yang bertiup semasa hidupnya Rasulullah.

Imam Malik sangat mencintai Madinah dan suasana di Madinah kala itu cocok dengan tabiat Imam Malik yang tidak menyukai hiruk-pikuk perdebatan. Imam Malik merupakan imam kedua setelah Imam Abu Hanifah dalam teologi sunni, dua lagi ada Imam Syafi’i dan Imam Hanbali.

Imam Malik tekun mendalami ilmu agama, selalu mengajari murid-muridnya agar berhati-hati dan berusaha keras untuk menghindari kekeliruan dalam mengeluarkan fatwa-fatwa dan menyatakan pendapat karena fatwa adalah salah satu ujian bagi seorang ahli ilmu.

Siapa yang menganggap dirinya menguasai semua ilmu, ia sesungguhnya adalah bodoh. Kedudukan seseorang yang paling tercela ialah jika ia menempatkan dirinya pada tempat yang bukan pada tempatnya (menangani persoalan yang ia sendiri bukan ahlinya).

Zaman now para netizen yang ada di media sosial (medsos) merasa ahli semua ilmu, merasa paling tahu, paling benar, dan mudah menyalahkan orang lain. Karena itu, manakala ada perdebatan-perdebatan yang tidak menambah wawasan dan menggerakkan pikiran di medsos lebih baik dijauhi dan abaikan karena jika larut dalam perdebatan maka kedunguan akan melahirkan kedunguan baru.

Terutama pada perdebatan-perdebatan agama yang tidak ada manfaatnya, Imam Abu Hanifah dan Imam Malik adalah ahli ilmu dan ahli fikih yang hidup sezaman yang saling mengenal.

Corak pemikiran keduanya berbeda, Abu Hanifah jauh dari Madinah sehingga mengandalkan logika dan kecepatan berpikir dalam menyelesaikan masalah yang muncul. Sementara Imam Malik tinggal di Madinah yang tidak terlalu mengandalkan Logika.

Imam Malik mengatakan “Belum pernah ada orang yang lebih picik dan lebih dungu daripada mereka.” Maksudnya ialah memperdebatkan masalah agama yang tidak ada kemaslahatannya dan Imam Malik melarang untuk memperdebatkannya.

Lebih lanjut Imam Malik menjelaskan bahwa menafsirkan setiap ayat dalam Alquran membicarakan soal permusuhan di antara sesama hamba Allah sebagai permusuhan yang berpangkal pada perdebatan tentang agama.

Perdebatan sering menghasilkan permusuhan, kemudharatan, dan kerusakan dalam kehidupan sosial, perdebatan berasal dari orang-orang yang mempunyai pemikiran picik, sempit, dan lebih parahnya lagi membahas/memperdebatkan yang tidak ia kuasai tetapi seolah-olah ia paling tahu dan merasa paling benar; padahal ia tidak tahu apapun soal yang diperdebatkan.

Menjauhi perdebatan dari orang-orang dungu yang tidak ada kemaslahatannya pada pengetahuan adalah langkah yang tepat, terlebih bagi penuntut ilmu harus mencurahkan perhatiannya pada pemikiran-pemikiran hikmah dalam kehidupan.
Sebab itu, Imam Malik berpesan bahwa “Selagi masih hidup di muka bumi ini, ia harus berusaha menjauhkan kehidupan manusia dari kemudharatan dan kerusakan.

Ia harus memperkokoh hubungan-hubungan sosial dan penghidupan dengan hukum-hukum syariat. Tak diragukan lagi bahwa tujuan dari syariat itu sendiri adalah untuk mewujudkan kesejahteraan di dunia serta kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat.”

Imam Malik adalah seorang yang berhati-hati dalam meneliti hadis-hadis dan sangat berhati-hati dalam menetapkan fatwa, tidak mengatakan sesuatu itu haram atau halal sebelum jelas kepastian adanya nash yang dalilnya benar-benar meyakinkan.

Imam Malik mengatakan “Saya akan memperkirakannya terlebih dahulu, kemudian fatwanya saya dasarkan pada ayat suci Alquran. Jika saya hanya memperkirakannya saja, saya tak dapat meyakinkan.”

Di antara murid-muridnya sangat menyesalkan sikap Imam Malik karena sangat berhati-hati dalam menetapkan fatwa. Mendengar sikap muridnya, Imam Malik berpikir sejenak, kemudian menangis dan berkata “Saya takut akan datangnya suatu hari (hari kiamat). Di dalam ilmu tidak ada sesuatu yang ringan, bahwa semua ilmu adalah berat.

Demikian secara singkat penulis uraikan pemikiran dari sosok yang sangat mencintai kota Madinah, giat dalam belajar, mendalami ilmu agama, dan tidak menyukai hiruk-pikuk perdebatan khususnya yang berkaitan dengan agama yang bisa membawa kepada kemudharatan.

Pemikiran Imam Malik di atas sebagai nasihat atau bisa jadi sebagai cambuk sekaligus teguran keras bagi kita semua, khususnya netizen +62 yang cerewet di media sosial (medsos) merasa paling benar dan paling tahu segala ilmu sehingga mudah menuduh orang lain salah, sesat dan lain sebagainya.

Bukankah netizen +62 ketika ada isu hutan ramai-ramai menjadi orang hutan, ada isu kafir ramai-ramai menjadi mufassir, ada isu agama ramai-ramai menjadi ahli agama, semua isu dilahap hingga menjadi ahli dan pakar dalam segala ilmu. Orang-orang yang dirinya menguasai semua ilmu, ia sesungguhnya adalah bodoh.

Mengutip nasihat Gurutta dalam novel rindu “Yang belum tahu belajar kepada yang sudah tahu dan yang sudah tahu bisa mempertajam pengetahuannya dengan berdiskusi satu sama lain.” Yang merasa belum tahu, belajar untuk mencari tahu dan ketika sudah tahu dalami untuk mempertajam alam pikiran. Nah!

Info Buku :
Judul : Riwayat Sembilan Imam Fiqih
Karya : Abdurrahman al-Syarqawi
Penerjemah : al-Hamid al-Husaini
Penerbit : Pustaka Hidayah
Tempat Terbit : Bandung
Tahun Terbit : 2000
Jumlah Hlm : 784

*Penulis, Kolumnis LintasGAYO.co. Mahasiswa Prodi Ilmu Agama Islam (Konsentrasi Pemikiran Dalam Islam) Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.