Corona, Wabah Dalam Belitan Fenomena TMI

oleh
Win Wan Nur

Oleh : Win Wan Nur*

Dulu di masa Orde Baru, ketika semua informasi yang kita diterima dibatasi hanya dengan yang sesuai selera penguasa. Hampir semua orang percaya kalau sumber kebodohan itu adalah kurangnya akses kepada informasi.

Tapi sekarang, ketika kita mendapat limpahan informasi tak terbatas dan nyaris tanpa saringan. Kita semua tahu kalau anggapan lawas itu sama sekali tidak benar. Dampak dari terlalu banyak informasi malah lebih merusak daripada pembatasan.

Teringat tahun 1997, ketika internet belum lama dikenal di Indonesia dan kampus kami Unsyiah baru memasangnya. Saya adalah pelanggan tetap pusat internet Unsyiah di Biro Rektor.

Dengan status mahasiswa, saya bisa menggunakannya secara gratis, tapi jam pakai dibatasi karena banyak yang antri. Waktu itu saya begitu takjub dengan berbagai informasi yang saya dapatkan dari media yang baru itu, banyak informasi yang saya temukan di sana yang mustahil bisa saya dapatkan di media resmi.

Kemudian, kemewahan lain yang betul-betul luar biasa waktu itu adalah terbukanya kesempatan berkomunikasi dengan siapapun di seluruh dunia. Waktu itu ketika saya berkomunikasi dengan kenalan baru, seorang perempuan seusia saya bernama Isadora yang berada di Argentina, rasanya sungguh tidak nyata.

Sesuatu yang bahkan dalam impian terliar sayapun tak pernah terbayangkan di tahun 1996, satu tahun sebelumnya.

Pulang ke Takengen, saya berkunjung ke rumah teman SD saya di Bebesen. Bapak teman saya ini seorang aktivis PDI, sangat gandrung membicarakan politik dan intrik-intrik penguasa, kebiasaan yang sangat tidak umum di masyarakat Takengen saat itu yang hampir seluruhnya begitu mencintai presiden Soeharto.

Mendengar saya punya akses ke internet, beliau begitu antusias. “ Tolong nanti kalau pulang, kamu print beberapa informasi ya. Saya benar-benar ingin tahu, seperti apa sebenarnya pandangan orang luar sana terhadap kita dan pemerintahan kita,” katanya.

Sementara itu, di belahan dunia lain, di negara-negara barat liberal. Situasinya tidak sama dengan yang kita alami di Indonesia. Di barat, saat itu adalah puncak kejayaan televisi. Di negara seperti Inggris dan Amerika, chanel TV begitu banyak dan menampilkan apapun yang sesuai selera kita.

Iklan-iklan dengan bermacam ragamnya menghujani ruang pikir mereka, sampai mereka jenuh sendiri. Sehingga muncullah fenomena TMI yang merupakan singkatan dari “Too Much Information” alias “terlalu banyak informasi”.

Istilah ini adalah pengembangan dari istilah “Information overload” yang ditulis oleh Seorang Ahli Ilmu Sosial bernama Bertram Gross dalam bukunya “The Managing of Organizations” yang terbit tahun 1964.

Tapi ini ungkapan ini jadi diterima luas oleh masyarakat setelah kembali disebut oleh Alvin and Heidi Toffler dalam buku laris mereka “Future Shock” yang terbit pada tahun 1970.

Tahun 1981, ketika kita di Indonesia baru mengenal satu saluran televisi pemersatu bangsa. Ketika kami yang masih bocah saat itu sudah bela-belain tidur siang menunggu pemutaran film sehabis acara Dunia Dalam Berita, kemudian kesal dan kecewa karena tanpa pemberitahuan sebelumnya TVRI tiba-tiba mengubah acara yang seharusnya menampilkan film cerita itu jadi siaran Sidang Kabinet Bidang Ekuin yang diisi dengan laporan oleh Menteri Penerangan, atau acara bapak pembangunan kita sedang bertemu tamu penting di peternakan sapinya di Tapos atau bahkan sekedar menunjukkan sang pemimpin besar itu memancing ikan di laut sambil ketawa gembira.

Di Barat, orang sudah mulai jenuh dengan begitu banyaknya informasi yang dipaksakan masuk ke kepala mereka. Pada tahun itu, fenomena ini ditangkap oleh Sting dengan menciptakan lagu “Too Much Information” yang dinyannyikan olehnya sendiri bersama band-nya “The Police” yang liriknya berbunyi :

Too much information running through my brain
Too much information driving me insane
Too much information running through my brain
Too much information driving me insane

Terlalu banyak informasi lewat di otakku.
Terlalu banyak informasi membuatku gila

Tahun 1993, Duran Duran, band new wave satu generasi di atas The Police yang juga sama-sama berasal dari Inggris, merilis album ke tujuhnya Duran Duran (sama seperti nama album pertamanya) tapi lebih dikenal dengan “The Wedding Album” salah satu single dalam album itu adalah “Too Much Information” judul yang sama dengan milik “The Police” tapi dengan lirik dan irama yang sangat berbeda.

Di lagu ini Duran Duran menyoroti fenomena MTV, Chanel berita yang informasinya tumpang tindih dan berbagai iklan yang berlomba merebut perhatian sampai Cola yang mensponsori perang.

Kita di Indonesia, nyaris tidak sempat mengalami masa-masa itu. Karena berbarengan dengan jatuhnya Soeharto yang sekaligus menjadi penanda berakhirnya kontrol negara atas informasi. Kita langsung diceburkan ke dalam era internet.

Belum sempat beradaptasi dengan maha derasnya semburan informasi internet, kita langsung melompat ke era telepon genggam, belum lama dalam era itu kita tiba-tiba sudah berada di era smartphone.

Dan di sinilah kita sekarang. Tanpa persiapan mental dan pengetahuan, kita tiba-tiba mendapati diri kita mengambang dalam lautan informasi yang tak bertepi.

Dalam “Future Shock,” suami istri Toffler ini mendefinisikan “Too Much Information” sebagai sebuah peristiwa yang terjadi “ketika jumlah input ke sistem melebihi kapasitas pemrosesan.

Sementara pembuat keputusan memiliki kapasitas pemrosesan kognitif terbatas. Akibatnya, ketika terjadi “too much information” besar kemungkinan terjadinya penurunan kualitas keputusan yang akan diambil.”

Saat virus Corona yang membuat kacau seluruh dunia ini menghampiri kita. Apa yang kita hadapi di Gayo, persis seperti yang dikatakan Toffler suami istri. Informasi tentang Corona, datang dari mana-mana, simpang siur tak jelas mana yang benar mana yang hoax. Tiap orang tanpa jelas kompetensinya, berkomentar dan mengulas Corona seolah mereka memang ahlinya.

Ahli agama mengulas dari sisi agama, menggambarkan keunggulan pendekatan agama ketimbang sains. Kelompok kelas menengah memaksakan pandangan bahwa lockdown adalah satu-satunya cara, yang lain bilang lockdown justru bahaya.

Yang itu bilang, ini peringatan Tuhan bagi orang berdosa, yang lain bilang ini tentara Allah, yang sana bilang ini tanda-tanda kiamat. Kalau semua informasi itu kita tampung sebagai bahan pertimbangan, alih-alih mengambil keputusan yang benar. Yang ada, pecah kepala.

lalu bagaimana kita harus menghadapi ini. Seorang penulis bernama Peter Landau, pada Jul 3, 2019 menulis sebuah artikel dengan judul “Save Yourself! 7 Ways to Prevent Information Overload” yang berisi saran tentang apa yang harus dilakukan ketika kita berada dalam situasi “too much information”

Dan inilah sarannya :

1. Unplug – Ambil waktu untuk melepaskan diri dari layar smartphone
2. Manage Your Information – Selektiflah dan nilai dengan jernih tiap informasi yang masuk. Jangan telan semua.
3. Get Everyone Involved – Diskusikan dengan teman-teman atau orang yang dipercaya memiliki kapasitas dan kompetensi atas informasi tersebut.
4. Keep It Simple – Jangan baca informasi yang sama atau yang mirip. Kalau ada yang mirip, tinggalkan saja.
5. Clear Your Mind – Kalau perlu, print dan baca dengan tenang informasi tersebut. Jadi koneksi dan godaan untuk mencari konfirmasi dari internet terkait informasi itu bisa diminimalisir.
6. Set Limits – Tentukan mana yang penting dan tarik garis batas.
7. Prepare for the Next Day – Jangan biarkan diri terperangkap tanpa target dan rencana.

Meskipun artikel ini sebenarnya ditujukan buat orang-orang yang menggunakan informasi dari internet terkait pekerjaan, tapi ini bisa kita aplikasikan untuk membendung derasnya informasi tidak perlu mengenai serangan virus Corona.

*Urang Gayo di Bali

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.