Oleh : Fauzan Azima*
Orang tidak punya hobi lebih bahaya dari pada orang tidak punya keahlian. Mereka akan berfikir picik dan fokus berusaha mencari kelemahan dan kesalahan orang untuk dipulish. Respon orang atas upayanya adalah kepuasan bathin baginya.
Aceh termasuk banyak orang tidak punya hobi. Sehingga menuliskan hobinya di medsospun, mereka bingung. Apa yang terlintas atau “salah tekan” itulah yang menjadi “hobinya”. Padahal hobi menjadi perkara penting dalam menentukan gairah identitas. Hidup tertekan dalam keluarga dan lingkungan ketika remaja menjadi faktor utama anak tidak punya hobi.
Bahaya laten orang tidak punya hobi, “menumbalkan” diri kepada orang lain. Itulah musyrik sejati. Meskipun mengaku pinter; banyak bicara di medsos atau media mienstream sekalipun, tapi sesungguhnya tidak lebih mulia dari “kerbau yang dicucuk hidungnya”.
Generasi anak Aceh itulah, yang pada hari ini mendedikasikan hidupnya untuk membully sebagai pelampiasan dendam “haus kebahagiaan masa kecil”. Itulah penyakit kejiwaan yang perlu terapi khusus. Tidak cukup dirukyah, tetapi harus dikarantina paling kurang 100 hari. Seperti masa iddah pada perempuan yang baru bercerai dan atau semacam cuci otak (brain wash).
Kalau “takut” dengan pendidikan khusus, satu-satunya obat mujarab adalah menetapkan hobi. Banyak pilihan hobi, di antaranya; olah raga, musik, melukis, menari, memasak, traveling, menulis atau menjadi “social workers” untuk membantu orang lain yang membutuhkan jasa kita dengan gratis.
Memiliki hobi akan menekan dan mengeluarkan “energi negatif” dari tubuh. Kemudian “energi positif” akan membaluri diri. Sehingga lahirlah “nur” yang selalu membimbing kita untuk menjaga lisan, hati dan perbuatan kepada “Rahmatan lil ‘alamiin”.
Ayo Saudaraku se-Aceh! Mulai detik ini tetapkan hobi kita agar “bumi keramat” ini bisa tersenyum kembali melihat “bangsa teuleubeh” yang selalu berusaha memelihara “tazkiatun nafsi” dan “tidak ku’eh”.
(Mendale, 22 Maret 2020)
