Van Daalen dan Motif Dendam di Tanah Gayo

oleh

Oleh: Dr. Yopi Ilhamsyah*

Antusias saat membaca kisah demi kisah serial Jatuhnya Benteng Peparik yang diceritakan oleh Win Wan Nur. Sampai bagian ke-enam, saya berkesimpulan tindakan militer Belanda dikomandani van Daalen adalah keji.

Jika membantai termasuk dalam terminologi vandalisme, maka cocok bila van Daalen disandingkan sebagai seorang vandalism.

Saat membaca bagian kedua, secara tersirat saya berkesimpulan ada motif dendam yang diusung van Daalen terhadap orang Aceh.

Saat menelusuri lebih lanjut lewat situs pencarian Google, saya menemukan biografi van Daalen yang cukup komprehensif di laman web Wikipedia. Karena situs ini bersifat ensiklopedia komunitas, secara bersama-sama kita dapat melakukan sedikit proofreading untuk proses improvisasi terjemahan bahasa Indonesia-nya sehingga informasi terkait van Daalen dan Perang Aceh secara umum dapat diketahui dengan baik.

Literatur-literatur yang digunakan shahih. Umumnya berasal dari naskah dan buku-buku para serdadu Belanda yang pernah bertugas di Aceh serta sejarawan Belanda. Rujukan-rujukan tersebut juga dikutip para sejarawan Aceh. Lantas siapakah van Daalen ini?.

Van Daalen adalah salah seorang tokoh militer Belanda berdarah pribumi. Ayahnya bernama persis seperti nama lengkap van Daalen yaitu Gotfried Coenraad Ernst (G.C.E) van Daalen. Sang ayah dipanggil G.C.E. van Daalen senior. Namun tidak diberitakan siapa ibunya. Dari perawakan van Daalen junior, kelihatannya sang Komandan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) beribukan wanita pribumi.

Dalam sebuah literatur disebutkan bahwa anak-anak Indo (peranakan Pribumi dan Belanda) sering dititipkan di panti asuhan. Karena susah diatur dan gemar berkelahi, saat remaja kebanyakan mereka menapaki karir militer dengan memasuki sekolah kadet. Di tilik dari kebengisannya yang seolah-olah kurang kasih sayang ibu, boleh jadi van Daalen junior bagian dari yang disebutkan lewat literasi ini. Van Daalen junior lahir di Makassar pada 23 Maret 1863.

Saat van Daalen junior berumur 10 tahun, meletus Perang Aceh pertama pada Maret-April 1873. Sang ayah saat itu belum bertugas di Aceh. Namun kakeknya, paman dari G.C.E. van Daalen senior yang bernama Eeldert Christiaan (E.C) van Daalen bertugas dalam Perang Aceh pertama.

Sepeninggal Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf (J.H.R) Kohler yang terbunuh di Mesjid Raya, E.C. van Daalen yang berpangkat Kolonel dan paling senior di antara para perwira dilantik sebagai panglima pengganti pada Perang Aceh pertama.

Situasi yang sulit karena banyaknya pasukan yang sakit dan tewas serta moral prajurit yang ambruk diperburuk dengan datangnya musim hujan dan superioritas rakyat Aceh setelah menewaskan panglima Belanda sebelumnya, membuat E.C. van Daalen memutuskan untuk mundur ke pantai Ceureumen (Cermin) Ulee Lheue Banda Aceh. Setelah memperoleh izin dari Frederik Nicolaas (F.N) Nieuwenhuijzen (wakil dewan Hindia Belanda), seluruh militer Belanda kemudian pulang ke Batavia (Jakarta).

Dari sudut pandang saya sebagai klimatologis. Aceh memliki dua puncak musim hujan, selain November musim hujan pertama jatuh pada bulan April bertepatan dengan agresi Belanda pertama tahun 1873.

Datangnya hujan membuat bala bantuan yang dikirimkan lewat Sungai (krueng) Aceh menjadi sulit karena derasnya aliran sungai menuju muara. Selain itu, volume air yang tinggi memenuhi penampang sungai dan menggenangi daerah estuari pantai Cermin, tempat di mana pasukan cadangan, amunisi dan stok logistik Belanda berkemah.

Melalui darat juga sulit akibat jalanan berkubang lumpur dan medan yang dipenuhi rawa-rawa.

Kepulangan para serdadu Belanda dari Aceh mendapat cemoohan warga Belanda dan Indo di Pelabuhan Tanjung Priok Batavia. Mereka mencela dengan umpatan-umpatan pengecut dan memalukan.

Sesampai di Batavia, E.C. van Daalen menyampaikan pandangan bahwa mundur adalah bagian dari strategi militer. Namun bagi Gubernur Jenderal James Loudon, langkah tersebut adalah kegagalan dan mempermalukan Kerajaan Belanda atas nama Raja Belanda Willem III. Baik E.C. van Daalen dan F.N. Nieuwenhuijzen diberhentikan. Kabarnya dipensiunkan dengan hormat. E.C. van Daalen yang kadung tersinggung pulang ke Belanda.

Berangkat dari sinilah, dendam itu terpatri dalam dada van Daalen junior. Dia beranggapan bahwa orang Aceh telah membuat kakeknya menjadi kambing hitam biang kegagalan Kerajaan Belanda menganeksasi Kesultanan Aceh. Dalam hati dia bergumam orang Aceh menjadikan kakekku yang sejatinya seorang pahlawan menjadi pesakitan di kalangan orang Belanda. Tunggu saja!.

November 1873, Belanda kembali menyerang Aceh dan mendaratkan pasukan amfibi terbesar dalam sejarah perang kolonial. Taktik Belanda kali ini adalah berteman dengan hujan. Strategi ini dilakukan untuk menghalau serbuan penembak jitu (sniper) Aceh yang sangat ditakutkan karena pengalaman Belanda yang kehilangan panglima saat agresi pertama. Ayah van Daalen berpangkat Kapten ikut dalam Perang Aceh kedua ini.

Januari 1874, Belanda berhasil menduduki keraton, bendera tiga warna berkibar di langit Aceh. Panglima van Swieten merekomendasikan G.C.E van Daalen sebagai nominator peraih medali kehormatan militer Belanda atas prestasinya di medan tempur. Namun Gubernur Jenderal James Loudon tidak merespons mengingat dosa pamannya atas kegagalan agresi pertama.

Setelah menerima laporan yang sebenarnya, sang Gubernur Jenderal mengundang kembali G.C.E. van Daalen untuk menerima medali serta melantik promosi kenaikan pangkat menjadi Mayor. Saat akan berjabat tangan, van Daalen senior menolak. Tak ayal tindakan ini mempermalukan Gubernur Jenderal. Van Daalen senior dipecat!. Tragisnya, Raja Willem III menghapus namanya dalam jajaran perwira yang berjasa di kemiliteran Belanda. Van Daalen senior yang kini berstatus sipil bekerja di pabrik gula milik temannya di Surabaya.

Dalam pikiran van Daalen junior, gegara orang Aceh dua van Daalen terhina.

Van Daalen junior kemudian berdinas di Aceh tahun 1888. Ketika itu pangkatnya masih Letnan Satu. Sepanjang karirnya dihabiskan di Aceh. Gubernur Jenderal van Heutsz yang sangat mengenal van Daalen karena sama-sama berkarir di Aceh sejak perwira muda, kemudian menugaskan van Daalen yang berpangkat Overste (Letnan Kolonel) untuk menuntaskan sisa-sisa perlawanan laskar Aceh termasuk Cut Nyak Dien dan pengikutnya setelah penyerahan diri Sultan.

Momen ini digunakan untuk balas dendam atas terhinanya keluarga van Daalen akibat Perang Aceh. Selanjutnya terjadi pembantaian di sepanjang Gayo hingga Alas. Menurut perwira yang turut dalam penjelajahan tersebut dalam sebuah tulisan di koran yang terbit di Belanda. Ekspedisi tersebut mengorbankan 4 ribu jiwa penduduk lokal tanpa perlawanan. Atas kasus ini, van Daalen junior diberhentikan sebagai Gubernur Aceh dan dipulangkan ke Batavia. Sebelum meninggalkan Aceh, ada kartun sindiran yang melukiskan van Daalen sedang menginspeksi pasukan berwujud tengkorak yang merupakan korban kebiadaban van Daalen.

Pada 1910-1914, van Daalen dipromosikan sebagai Panglima Tertinggi KNIL berpangkat Letnan Jenderal, menuntaskan ambisi keluarga van Daalen yang tertunda gegara perang Aceh.

*Penulis adalah Dosen Klimatologi Fakultas Kelautan dan Perikanan Unsyiah Pemerhati Sejarah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.