Permata Hijau di Lembah Pentago

oleh

Oleh : Syah Antoni*

Rabu pagi itu, saat seorang teman mengajakku mengunjungi salah satu destinasi wisata unggulan di Bener Meriah. Sudah 10 tahun tidak menjejakkan kaki ditempat itu. Terakhir berkunjung kesana saat masih berseragam abu – abu.

Ternyata jalan menuju kesana tidak berbeda jauh dengan 10 tahun lalu, hanya aspal saja yang membedakannya. Setelah melalui beberapa tikungan, kami tiba dilokasi, begitu turun dari sepeda motor, langsung nampak olehku seorang pria 50 tahunan dengan setelan busana sederhana sedang memperbaiki mesin babat rumput tua didepan rumahnya yang juga sederhana.

“Pak Lamuddin”, ucap bapak itu tersenyum ramah sembari mengajak kami berjabatan tangan, kemudian mempersilahkan masuk kedalam rumah sederhananya. Saat berada didalam, sambil mendengar obrolan santai seorang temanku dengan pak Lamuddin, mataku langsung tertuju pada dinding – dinding rumah beliau. Disana terpampang rapi beberapa piagam penghargaan, piagam penghargaan yang hampir seluruhnya beliau dapatkan karena kepeduliannya terhadap lingkungan.

Sudah sejak 15 tahun yang lalu, diatas lahan seluas kurang lebih 5 hektar, pak Lamuddin mendirikan destinasi wisata yang beliau namai Pentago ( Permata Tanoh Gayo ). Dilahannya tersebut bisa ditemui lebih kurang 250 jenis tumbuhan yang didominasi tumbuhan berkayu, ada juga beberapa pohon khas hutan Gayo yang mulai sulit dijumpai saat ini, seperti Grupel, Pongkeh, Lekap, Latong, dan banyak lagi.

Tak perlu diragukan lagi, kecintaan Pria penerima penghargaan Kalpataru itu pada lingkungannya, sambil mengajak kami berkeliling, beberapa konsep berbasis lingkunganpun beliau paparkan pada kami, salah satunya adalah keinginan beliau mendirikan sebuah lab botani kecil, dengan harapan kelak bisa memberikan informasi dan sekaligus edukasi kepada generasi muda tentang tumbuhan – tumbuhan langka yang mendiami belantara – belantara di dataran tinggi Gayo ini.

Sampai di alur sungai yang membelah lokasi wisata Pentago, nampak pak Lamuddin sedikit mengernyitkan dahinya. Kami cepat faham setelah melihat lumayan banyaknya sampah – sampah yang hanyut dari hulu sungai. Tidak banyak komentar yang keluar dari mulut pak Lamuddin dengan penampakan – penampakan sampah tersebut, hanya ekspresi kesal dan resahnya yang terekam dimata kami.
Kakipun kami langkahkan kembali hingga sampai disebuah tempat ngopi yang terbuat dari bambu, dari tempat ngopi tersebut kami disuguhi pemandangan sungai jernih, juga pohon – pohon yang menambah asri.
Sampai disana saja Pak Lamuddin menemani kami, beliau kemudian pamit, lalu bergegas kembali melanjutkan aktivitasnya.

Selepas memesan secangkir kopi sambil sesekali menyeruputnya, pikiranku masih belum bisa beranjak dari kerennya seorang pria bernama Pak Lamuddin, diusianya yang tidak bisa dikatakan muda lagi itu, masih dengan semangatnya menjaga satu sisi bumi sekitarnya agar selalu lestari.

Caranya menghargai pohon begitu elegan, sudut pandangnya pada lingkungan begitu cendayam.

Ternyata, permata hijau itu masih berkilau di lembah Pentago.

* Penulis adalah Ketua Bidang Humas di Pokdarwis Tingkem

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.