Oleh : Fauzan Azima*
Besok, 15 Agustus 2018, tepat 13 tahun sudah umur Perdamaian Aceh. Konflik GAM-RI berakhir dengan lahirnya MoU Hilsinky pada 15 Agustus 2005. Peristiwa bersejarah bagi Aceh tersebut seharusnya menjadi awal kebangkitan Aceh yang terpuruk akibat perang dan tsunami 26 Desember 2004.
Mimpi kebangkitan Aceh sebagaimana kejayaan pada masa Raja Iskandar Muda kembali seperti yang selalu kita kampanyekan terhambat oleh dua hal, yaitu; prilaku korupsi dan gaya hidup berlebihan. Perilaku buruk yang merusak perdamaian Aceh tersebut telah kita pertontonkan kepada rakyat. Bahwa pergerakan GAM tidak semata karena idiologi tetapi juga karena ekonomi, yakni kesenjangan ekonomi antara kaya dan si miskin terlalu jauh.
Perilaku korupsi di Aceh sudah terbukti dengan tertangkapnya oleh polisi, jaksa dan KPK beberapa pejabat provinsi dan kabupaten serta beberapa pengusaha. Pembersihan seluruh koruptor dari kelas kakap sampai kelas teri di Aceh semoga terus berlanjut sampai Aceh ke depan benar-benar menjadi wilayah “zero corruption.”
Di samping perilaku koruptif, para akok juga memamerkan gaya hidup berlebihan dengan membangun rumah-rumah megah, membeli mobil mewah dan pesta di tempat hiburan yang menghabiskan uang puluhan sampai ratusan juta per malam. Perilaku menghambur-hamburkan uang ini sebenarnya sudah termasuk dalam kategori zalim.
Pada awal perdamaian sangat mudah bagi para mantan pasukan GAM atau orang yang pura-pura mengaku sebagai mantan pasukan GAM untuk mendapatkan dana. Banyak mantan GAM yang kaya mendadak. Mungkin karena begitu mudahnya mendapatkan uang begitu pula uang mudah dihabiskan untuk kegiatan yang tidak produktif. Banyak mantan GAM yang dulu kaya sekarang jatuh miskin karena tidak memiliki keahlian dan rusaknya moral sehingga menghabiskan uang untuk narkoba dan tidak sedikit yang dipenjara karena kegiatan ilegal.
Kondisi menjual “nama GAM” masih laku sampai tahun 2010. Kini gaya meminta uang berubah menjadi “atas nama tim sukses” sehingga kondisi Aceh tidak akan pernah berubah dari masa ke masa sebagai pengemis. Aceh tidak pernah mandiri karena selalu tergantung kepada dana APBN karena selama ini lalai membangun industri-industri yang menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Aceh kini sudah kekurangan dana, bahkan Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) hanya sampai tahun 2022. Imbasnya akan terasa kepada ekonomi masyarakat luas, termasuk tenaga honor pada kantor-kantor pemerintahan akan dipecat massal karena tidak ada dana lagi untuk menggaji mereka.
(Sare, 14 Agustus 2018 ; Mantan Panglima GAM Wilayah Linge)