Saat menjadi pembicara dalam acara diskusi buku “Romansa Gayo dan Bordeaux”, Kautsar, intelektual muda Aceh yang juga anggota DPRA dari Partai Aceh menegaskan bahwa novel perdana karya penulis asal Gayo, Win Wan Nur ini adalah sebuah buku yang sangat keren.
Kautsar mengaku, saat pertama kali diminta menjadi pengulas novel ini dan melihat judulnya, dia sempat menduga kalau novel ini hanya berisi kisah percintaan biasa antara dua manusia yang berasal dari peradaban yang berbeda sebagaimana novel-novel percintaan biasa. Tapi ketika mulai membacanya, putra politisi senior Muhammad Yus ini pun segera menyadari kalau buku ini berbeda. Ketika membaca buku ini, dia mengaku seperti masuk ke dalam sebuah taman rekreasi yang indah, penuh dengan aneka pemikiran dan kejernihan logika yang membuatnya tak ingin keluar lagi. Alhasil buku fiksi setebal 456 halaman inipun dia selesaikan hanya dalam waktu satu hari.
Dalam acara ini di depan khalayak, Kautsar memberi contoh bagaimana pameran kejernihan logika ini ketika tokoh Win dalam novel ini berdebat dengan tokoh Travis yang diceritakan berasal dari Amerika. Di sini perdebatannya begitu menarik, ketika tokoh Travis menyatakan umat Islam itu bodoh karena tidak mau makan babi dan menciptakan mitos sesat soal daging babi berbahaya bagi kesehatan padahal faktanya adalah sebaliknya. Untuk membuktikan itu, orang Amerika ini mengungkapkan fakta, bahwa tingkat harapan hidup masyarakat di negara-negara pemakan babi justru jauh lebih tinggi dibandingkan negara yang mayoritas penduduknya tidak mengkonsumsi daging babi seperti Indonesia. Fakta ini seolah tak terbantahkan, dan ini membuat penasaran, bagaimana tokoh Win akan membela pandangannya? Tentu tidak mungkin dia menceramahi Travis tentang haramnya babi menurut ajaran Islam.
Nah disinilah Kautsar melihat kejernihan logika itu, tokoh Win yang dalam perdebatan ini digiring oleh Travis ke dalam premis angka harapan hidup ini dengan cerdas berkelit keluar dari jebakan itu dengan mengabaikan daging babi sebagai faktor pembeda dengan mengggunakan metode yang persis sama sebagaimana digunakan Travis. Di sini tokoh Win menunjukkan Indonesia, Malaysia dan Brunei. Tiga negara yang mayoritas penduduknya tidak makan babi, tingkat harapan hidup penduduknya lebih tinggi dibandingkan Laos, Myanmar dan Kamboja yang penduduknya makan daging babi.
“untuk bisa sampai pada kesimpulan kalau tingginya tingkat harapan hidup itu karena mengkonsumsi daging babi, kamu kan juga harus memper-timbangkan tingkat distribusi air bersih, akses kepada pelayanan kesehatan, faktor sanitasi dan hal-hal seperti itu. Kalau semuanya sudah setara, tapi tetap saja orang yang makan daging babi tingkat harapan hidupnya lebih tinggi, baru bisa disimpulkan makan babi lah yang menjadi penyebab tingginya harapan hidup.” Urai Win.
Ini membuat tokoh Travis yang tadinya merasa di atas angin jadi tak berkutik.
Selanjutnya menurut Kautsar, di novel ini pembaca juga disuguhi berbagai macam pengetahuan langka dengan penggambaran detail, contohnya ketika tokoh-tokoh di novel ini membahas anggur, pembaca seolah dibawa bertamasya ke Bordeaux, melintasi perkebunan anggur dan gudang-gudang bawah tanah di Saint Emilion tempat dimana anggur diperam dan disimpan. Perbedaan anggur yang bagus dengan tidak, karakter rasa, wilayah perkebunan sampai jenis gelas yang dipakai, diuraikan di sini sehingga orang yang tak minum anggur seperti dirinya pun seolah merasakan sensasi rasa anggur di mulutnya.
Lebih menarik lagi, di buku ini Win Wan Nur juga membahas aneka pemikiran filsafat yang sebenarnya susah dicerna menjadi begitu ringan. Pernyataan Descartes Cogito Ergo Sum yang melegenda dan terkenal dan sulit dimengerti, menjadi terlihat begitu mudah dipahami setelah ditampilkan dalam contoh kehidupan sehari-hari oleh sang penulis dalam buku ini.
Dalam taman pemikiran ini pula, putra Gayo ini dengan gamblang menguraikan bagaimana perbedaan antara Homo sapiens sebagai organisme dan manusia sebagai makhluk berkesadaran, bagaimana peradaban dibangun melalui kolaborasi budaya dan manusia ras unggul itu hanyalah mitos, bukan fakta dan kesemuanya itu ditampilkan dalam jalinan romansa yang begitu indah yang membuat dirinya tak mau melepaskan buku ini sebelum tuntas membacanya.
Dengan jumlah halaman yang hanya 450-an saja, buku ini seolah menjadi intisari dari berbagai ilmu dan pemikiran yang ada di dunia. Ibarat makanan, saat membaca buku ini kita seolah seperti sedang menikmati puluhan buku dengan bahasan rumit, dikumpulkan diringkas, diramu, dimasak dan dihidangkan sedemikian lezat dalam tampilan yang menggugah selera dalam satu piring saja.
Pada akhir pernyataannya Kautsar mengatakan kalau dia sangat merekomendasikan bahkan setengah memaksa anak-anak muda Aceh untuk memiliki dan membaca buku ini, supaya mereka paham bahwa yang disebut keren itu adalah keluasan pemikiran, bukan sekedar tampilan fisik belaka.
Kautsar kemudian menambahkan pula, bagi anak-anak muda yang ingin menaklukkan perempuan barat. Buku ini adalah petunjuk manualnya, semua strategi dan taktiknya ada di buku ini.
[Red]