(Catatan Kecil Dalam Rangka Hari Guru)
Oleh : Hammaddin*

Guru adalah ujung tombak atau garda terdepan dalam memajukan peradaban sebuah bangsa. Hasil jerih payah mereka itu tidak dapat terlihat dalam sekejap mata, tapi akan nampak lima, sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang.
Menurut sebuah informasi yang layak dipercaya, saat Jepang kalah dalam perang Dunia II, negara yang terkenal dengan sebutan Saudara Tua itu terpuruk. Sang Kaisar, pemimpin tertinggi Negeri Sakura itu harus mengambil sesuatu kebijakan agar negaranya tidak terus terpuruk. Hal pertama yang ditanyakannya adalah ; “Berapa lagi guru yang masih hidup di negeri kita ini”. Pertanyaan tersebut memperlihatkan betapa urgennya peran seorang guru untuk membangkitkan, memajukan sebuah negara.
Sertifikasi Dan UKG
Beberapa tahun belakangan ini, sejak muncul guru sertifikasi, hujatan dan cemoohan mulai dengan derasnya tertuju ke guru dikarenakan anggaran pendidikan dialokasikan sangat besar tapi minim prestasi, konon katanya sampai 20% dari APBN. Tapi, betulkah guru yang menikmatinya ?? Malahan sekarang, banyak kebijakan – kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tentang pendidikan seakan – akan mulai tidak bersahabat alis memberatkan profesi seorang guru. Pengambil kebijakan terkadang tidak melihat kondisi riil dunia pendidikan di Indonesia, khususnya di daerah. Atau mungkin mereka hanya menerima laporan diatas meja tanpa pernah melihat dengan telanjang mata kondisi sebenar – benarnya dilapangan, terutama masalah sarana pendukung Proses Belajar Mengajar ( baca ; PBM ).
Untuk menjadi seorang guru, lebih kurang lima tahun harus bergelut dengan buku di perguruan tinggi Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan ( Baca ; FKIP ) dan mendapat gelar di akhir namanya “S.Pd”. Hal tersebut belum bisa juga menjadi jaminan untuk mendapat tunjangan sertifikasi. Tapi, hanya dengan mengikuti program Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru ( Baca ; PLPG ) selama ± 14 hari, baru dikatakan lulus, layak mendapat tunjangan sertifikasi guru. Parahnya, guru itu alumni dari perguruan tinggi yang menyelenggarakan PLPG itu sendiri. Jadi, lima tahun kuliah tidak ada artinya, hanya 14 hari yang menentukannya. Secara tidak langsung perguruan tinggi itu telah menelanjangi kualitas lulusan mereka sendiri. Malahan sekarang ada lagi kebijakan mendapat gelar tambahan diawal nama bila telah profesional, yaitu Gr ( baca : Guru ).
Saat ini lebih banyak aktivitas proses berjalan pendidikan kita lebih cenderung guru, siswa dan birokrasi pengelola pendidikannya berusaha mengejar target yang telah direncanakan, dibandingkan dengan memikirkan proses berlangsung pendidikan itu sendiri. Sehingga kita lihat, arah mendidikan kita kehilangan rohnya.
Disatu sisi mereka dituntut untuk terus profesional dalam menjalankan tugasnya, di satu sisi lagi mereka harus sibuk dengan tengek bengek administrasi yang menguras banyak energi mereka, yang akhirnya anak didik mereka terlantar.
Penulis yakin, dengan kondisi dan budaya kesibukan guru – guru sekarang akan membatasi, membelenggu, memicikan dan mengkerdilkan inisiatif kreatifitas guru, tidak mengembangkan daya imajinasi, dan daya kreasi dan daya analisisnya. Guru menjadi robot dan menghilangkan tugasnya sebagai penyiap agen – agen perubahan
Diperparah lagi dengan perubahan peraturan didunia pendidikan yang terkadang, terlalu dipaksakan untuk diterapkan, terlalu dipaksakan untuk dibatalkan, berubah dengan dengan cepatnya dengan proses kejar target, katanya dengan alasan tuntutan zaman. Akhirnya guru dan peserta didik terzalimi.
Penulis pernah membaca info yang di shere lewat WhatsApp (baca ; WA), puisi seorang peserta didik untuk gurunya, dengan judul “Derita Guru Ku”. Hari ini latihan soal nak. Soalnya lima buah pilihan ganda, Jangan ribut ! Bapak ke perpustakakan mentar, menghitung angka kredit sudah delapan tahun bapak tidak naik pangkat. Itu ucapan pak Mulyadi guru matematika ku pada jam pertama. Hari ini kalian baca cerpen nak, kalian keperpustakaan. Jangan ribut, jangan berulah. Ibu di ruangan komputer. Ada tugas daring yang bikin kepala pusing, itu ucapan ibu Siti. Guru Kimia ku pada jam ke tiga. Hari ini buka buku kalian nak, kerjakan halaman 40. Bapak di ruang guru, besok harus UKG. Doakan agar bapak lulus ! Itu ucapan pak Rudi guru Fisika ku. Pada kami jam keenam. Saat istirahat, pak Wildan guru olah Ragaku, berpesan agar kami mengerjakan soal latihan di bab 3 setelah selesai jama’ah sholat Zuhur nanti. Lalu terburu – buru ke parkiran, katanya mau mengurus simpatika kemenag sebelum ADMIN keluar kota. Guruku kami butuh belajar, butuh cerita hidupmu, kisah nyatamu, perjuangan, agar kelak kami bisa melewati tanpa cela. Pak menteri, beri kenyamanan, beri penghargaan untuk guru kami, jangan buat mereka susah, hentikan angka kredit daring, UKG, kami jamin guru kami guru profesional.
Tidak salah juga, kalau seorang teman saya mengatakan, “Kegiatan Uji Kompetensi Guru ( baca ; UKG ) online sekarang bagaikan seorang hakim yang memvonis, menguji kemampuan guru dengan deretan angka – angka yang akhirnya bermuara kepada kata LAYAK dengan dibalut kata PEMETAAN. Hanya butuh waktu 90 menit dengan model soal pilihan ganda tanpa melihati guru ; – yang berdomisili di kota ( baca ; sekolah yang memiliki fasilitas sangat memadai ), – yang di pedesaan yang mininim fasilitas, – terpencil yang hanya masih berslogan “Ayo Sekolah” atau masih pada tahap mengajak anak untuk mau bersekolah, – tua maupun muda, – punya sapras pendukung atau tidak. Tapi, sama indikator penguji kelayakannya, Adilkah ???
Apakah mungkin bisa disamakan antara kereta Cup 70 dengan kereta Vixion ? Bagaimanapun polesnya atau otak – atiknya, kereta Cup 70 tidak akan mungkin bisa menyamai kecepatan si kereta Vixion prodak zaman digital. Guru umur 50-an keatas tidak mungkin bisa disamakan dengan semangat guru umur 25-an keatas. Maka, jelas indikator kedua harus berbeda.
Guru dan Gula
Jasa seorang guru bagaikan gula sewaktu kita meminum minuman kopi. Dalam minumam kopi ada 3 unsur ; kopi, gula dan rasa. Kopi adalah orang tua, gula adalah guru, rasa adalah siswa. Jika kopi terlalu pahit, siapa yang salah ? Gula lah yang disalahkan karena terlalu sedikit, hingga “rasa” kopi menjadi pahit !!! Jika kopi terlalu manis, siapa yang disalahkan ? Gula pula yang disalahkan karena terlalu banyak, hingga “rasa” kopi menjadi manis, jika takaran kopi dan gula seimbang, sehingga rasa yang tercecap menjadi nikmat, siapa yang dipuji ??? Tentu semua akan berkata, kopinya mantap !!! Kemana gula ? Dimana Gula ? Yang mempunyai andil membuat “rasa” kopi menjadi mantap !
Itulah guru yang ketika “rasa“ terlalu manis, maka dia akan dipersalahkan ! Itulah guru kita “rasa” terlalu pahit maka dia pula yang akan dipojokkan ! Tetapi, Ketika “rasa” mantap, ketika siswa berprestasi maka orang tualah yang akan menepuk dadanya ; “anak siapa dulu”,
Marilah guru, ikhlas seperti gula yang larut tak terlihat, tapi sangat bermakna. Gula memberi rasa manis, pada kopi, tapi orang menyebutnya, kopi manis bukan kopi gula. Gula memberi rasa manis pada teh, tapi orang menyebutnya teh manis, bukan teh gula. Orang menyebut roti manis, bukan roti gula. Orang menyebut sirup pandan, sirup apel, sirup jambu pada hal bahan dasarnya gula. Tapi, gula tetap ikhlas larut dalam memberi rasa manis.
Akan tetapi, apabila berhubungan dengan penyakit barulah gula disebut. Penyakit Gula, begitulah hidup kadang kebaikan yang kita tanam, tak pernah disebut orang, tapi sedikit saja kilaf, salah dilakukan guru, maka akan dibesar-besarkan. Ikhlaslah guru seperti gula, larutlah seperti gula. Tetap semangat memberi kebaikan. Tetap semangat menyebar kebaikan. Karena kebaikan tidak untuk disebut. Tapi untuk dirasakan.
Penutup
Akhirnya, tiada gading yang tidak retak. Sekarang kita sangat memimpikan guru yang progresifitas, yang mempunyai keyakinan tinggi terhadap kemanusiaan tidak terdesak oleh kepentingan tuntutan pemerintah yang sangat berambisi mengejar target melupakan proses. Guru harus idealis berada dalam situsasi yang tidak sehat. Jadilah guru yang aneh, tanda petik, karena guru aneh yang bisa merubah aura positif dunia pendidikan kita kearah yang memiliki marwah.
Ada hal yang tidak boleh hilang dalam hati seorang guru ; harapan, keikhlasan dan kejujuran, maka marilah pelihara ketiganya di hati kita (baca ; guru ). Ada 3 hal yang paling berharga dalam hati seorang guru dalam beraktivitas ; kasih sayang, cinta dan kebaikan, marilah kita pupuk semua. Dan ada 3 hal lagi yang harus dilakukan guru dengan sesungguhnya agar membuat kita guru bisa meraih sukses mendidik anak bangsa, yakni ; tekad, kemauan, dan fokus.
Guru kita sekarang harus mempunyai kekuatan yang dapat membawa dunia pendidikan kita hari ini, ke hari depan yang penuh tantangan yang hanya dapat guru atasi dengan selamat dengan sebesar mungkin sikap ilmiah, rasional dan keterbukaan….Selamat Hari Guru, Hidup Guru.
*Penulis adalah Antropolog dan wakasek bidang Kurikulum SMAN 1 Timang Gajah kabupaten Bener Meriah-Provinsi Aceh.