Ketulusan Cinta Seorang Wanita

oleh

Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*

Cinta !
Cinta itu melahirkan pengorbanan
Cinta itu mendatangkan keindahan
Dan cinta itu adalah ketulusan

SEORANG wanita ketika cintanya putus ditengah jalan maka ia mengatakan laki-laki itu tidak tulus dalam membangun cinta begitu juga sebaliknya jika seorang laki-laki cinta tulusnya  dipermainkan oleh wanita maka ia mengatakan wanita itu tidak tulus dalam mewarnai kehidupan dengan kedahsyatan cinta. Dari kasus tersebut laki-laki dan wanita sama-sama saling menyalahkan, jika sama-sama  saling  menyalahkan maka yang menjadi korban adalah cinta padahal cinta itu tidak ada salah yang salah adalah oknum dari pelaku cinta tersebut.

Seandainya cinta disalahkan maka opini kita akan menggiring bahwa cinta itu membawa kesedihan dan tidak ada yang namanya cinta tulus dalam kehidupan ini. Jika itu terjadi maka kita telah menyalahkan makna dari hakikat cinta itu sendiri, karena dengan  adanya cintalah seseorang yang berada dalam alam kesunyian dan ketika hadir cinta ia tak lagi berada dalam kesunyian. Dengan hadirnya cinta lah kaum adam dan hawa bisa duduk  dipelaminan dengan bahagia karena  cinta itu indah jika dilandasi dengan ketulusan.

Nah, berbicara masalah ketulusan yang bisa melahirkan cinta yang indah  dan cinta sejati maka tidak ada lagi yang namanya mengharap sesuatu apapaun karena yang ada hanyalah ketulusan. Tulus tanpa mengharap sesuatu apapun inilah konsep cinta yang dibawa oleh seorang sufi wanita yang zuhud bernama Rabi’ah al-Adawiyah (Rabi’ah al-Adawiyah binti Ismail al-Adawiyah al-Bishriyah lahir di Bashrah tahun 95 H dan wafat pada tahun  185 H),  dalam literature tasawuf ajaran Rabi’ah al-Adawiyah ini dikenal dengan Mahabbah.

Rabi’ah  al-Adawiyah hidup dalam kesederhanaan dan selalu beribadah kepada Allah, do’a-do’a yang ia panjatkan tidak meminta hal-hal yang bersifat materi dan ia betul-betul hidup dalam keadaan zuhud serta ingin berada dekat dengan kekasihnya  yaitu Allah swt. Menurutnya al-Hubb (cinta) itu adalah rindu dan pasrah kepada Allah, seluruh ingatan dan  perasaan kepada Allah. Rasa cinta kepada Allah menjadi satu-satunya motivasi dalam setiap perilakunya dan sekaligus merupakan tujuan pengabdiannya kepada Allah.

Cinta Rabi’ah al-Adawiyah kepada Allah tanpa mengharapkan imbalan  apapun dari Allah karena cintanya kepada Allah adalah benar-benar tulus dan ia sudah berada pada titik tertinggi dari sebuah cinta yaitu cinta suci murni yang tak mengharapkan apapun. Cinta  murni kepada Allah itulah puncak dari tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah sebagai seorang sufi, dalam kecintaannya kepada Allah ia lafazkan berupa syair; begitu juga dengan sufi-sufi lain yang masuk dalam sufi falsafi seperti Abu Yazid al-Bustami dengan paham al-Ittihad, al-Hallaj dengan  pahamnya Hulul dan sufi Aceh Hamzah Fansuri mereka juga melantunkan syair-syair atau istilah syatahat (ungkapan aneh) dalam tasawuf.

Kesenangan Rabi’ah al-Adawiyah ialah berzikir, memuja dan berdialog dengan  Allah. Ia menerangkan “Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut masuk neraka atau bukan pula karena ingin masuk surga, tetapi karena cintaku kepada-Nya.” Dalam dialognya dengan Allah, Rabi’ah mengatakan:

“Kekasih hatiku hanya engkaulah yang kucinta

Beri ampunlah kepada pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu

Engkaulah harapan, kebahagiaan dan kesenanganku,

Hati telah enggan mencintai selain dari diri-Mu.”

Selain syair diatas masih banyak syair-syair masyhur yang dilafazkan Rabi’ah al-Adawiyah, sebagian dari syair itu seperti dibawah ini:

“Aku cinta pada-Mu dua macam cinta: Cinta rindu. Dan cinta, karena Engkau berhak menerima cintaku. Adapun cinta, karena  Engkau, Hanya Engkau yang aku kenang tiada lain. Adapun cinta, karena Engkau berhak menerimanya. Agar Engkau membukakan bagiku hijab, supaya aku dapat melihat Engkau. Pujian atas dua perkara itu bukanlah bagiku, Pujian atas kedua itu  adalah bagi-Mu sendiri.”

Cinta bagi Rabi’ah al-Adawiyah dibaginya atas dua tingkat yaitu cinta karena kerinduan. Dirindui sebab dia memang puncaknya segala keindahan, sehingga tidak ada lagi yang lain yang jadi buah kenangannya dan buah tuturnya  melainkan Tuhan, Allah, Rabbi dan naik setingkat lagi yaitu keinginan dibukakan baginya hijab yang membatasi di antara dirinya dengan Dia (Allah).  Itulah tujuannya yaitu melihat Allah.

Jika cinta kepada Allah sudah berada dalam kenikmatan dan berada pada puncaknya maka merasa ingin mati saja! Mati saja  dalam cinta seperti yang dikatakan al-Faridh dalam syairnya:

“Kalau engkau ingin hidup bahagia, Matilah dengan Dia.

Dalam keadaan syahid.

Dan kalau tak begitu, maka rindu pun dia adalah ahlinya.

Siapa Dia.

Kalau bukan karena penyerian bunga korma.

Tidaklah lebih menghasilkan madu.”

Inilah sufi wanita termasyhur dalam ranah tasawuf dengan ajarannya  Mahabbah (tokoh-tokoh sufi periode abad ketiga dan keempat Hijriyah), ia cinta kepada Allah tanpa mengharap apapun dan itulah cinta yang tulus dari seorang wanita yang zuhud siapa lagi kalau bukan Rabi’ah al-Adawiyah.[]

*Penulis: Kolumnis LintasGAYO.co. Blogger dan Kompasianer.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.