Darurat Kopi Gayo

oleh

Oleh : Sri Wahyuni*

MENYIKAPI konplain atas tiba-tiba munculnya Duta Kopi Gayo Aceh yang diberitakan oleh salahsatu media online di Aceh baru-baru ini yang keberadaannya tidak diketahui oleh khalayak dan menyebabkan kehebohan. Banyaknya respon, terkejut dan tidak percaya pada isi berita tersebut, hal ini merupakan tolok ukur betapa masyarakat khususnya dataran tinggi Gayo memiliki kesadaran soal pentingnya melindungi salahsatu harta yang mereka miliki yaitu kopi Gayo.

Khalayak sudah pula tahu bahwa siapapun yang menjadi Duta Kopi adalah dalam kapasitas mengkampanyekan keberadaan kopi Gayo dan akan membawa nilai positif bagi komoditi tersebut. Dimana proses pemilihannya dilakukan secara terbuka dan terorganisir dengan baik.

Yang menjadikan kondisi kian sengit adalah pada saat muncul komplain soal keberadaan Duta Kopi Gayo tersebut yang mempertanyakan siapa, dari mana, bagaimana dan mengapa, justru ditimpali dengan sikap dan celotehan tak bermutu dari si penulis informasi awal itu sendiri. Sehingga akhirnya suasana memanas dan memicu dikeluarkannya petisi penolakan terhadap Duta Kopi expres tersebut.

Saya sendiri sebagai warga Bener Meriah yang lahir dan besar dari keluarga petani kopi melihat kondisi ini jauh lebih kompleks dan tidak sesederhana apa yang terlihat dipermukaan. Persoalan esensial dalam hal ini adalah soal keterbukaan informasi dan dan rendahnya demokrasi ekonomi kita khususnya yang menimpa para petani kopi.

Bukan lagi rahasia bagaimana sulitnya petani berjuang mempertahankan produksi kopi, bahkan dalam setahun dua kali panen tidak pula mampu menutupi kebutuhan masyarakat akibat harga yang tidak pro petani, hal ini menyebabkan petani mau tidak mau harus terikat hutang yang melilit leher melalui lintah darat atau koperasi-koperasi yang pengurusnya tidak becus.

Dilain sisi peningkatan produksi petani kopi masih pula dihadapkan dengan masalah laten yaitu lemahnya interpensi negara. Negara lagi lagi absen mengurusi ratusan ribu hektar kebun kopi rakyat. Negara hanya menikmati pajak hasil penjualan kopi tetapi tidak mau berpeluh susah untuk membantu petani kopi keluar dari persoalan dasarnya.

Keteledoran pemerintah juga dalam hal bagaimana mendorong ekonomi kreatif dibidang kopi, mayoritas pengusaha kopi adalah yang berjuang dengan kaki sendiri, bahkan dalam beberapa bulan yang lalu masyarakat Bener Meriah juga dihebohkan dengan masuknya ratusan ribu polybag benih kopi asal Binjai. Sementara petani dan pengusaha benih lokal dianaktirikan.

Apa yang terjadi kemarin adalah cerminan kekhawatiran masyarakat atas tata kelola kopi kita. Masyarakat yang sudah berjuang memproduksi, mengolah paska panen tidak mendapat informasi yang cukup terutama soal even–even pameran nasional dan internasional.

Informasi bisa jadi hanya beredar dikalangan elit perkopian saja, dan mereka menjadi semacam agen yang bisa mendesign sehingga keuntungan hanya mereka yang bisa dapatkan secara optimal. Petani tetap menjual dengan harga apa adanya dan tidak berhak mendapat imbalan jasa lebih besar demi kesejahteraannya. Dalam bahasa sederhana petani kopi tetap menjadi sapi perah para broker kopi.

Bayangkan ternyata di bulan Oktober 2017 merupakan bulan kopi Arabika Gayo di Finladia, apakah para petani kopi gayo tau informasi ini? Apakah pemerintah di 3 Kabupaten penghasil kopi Arabika tahu cara bagaimana menyikapi even-even internasional ini? Bahkan secara kebudayaan apakah Gayo akan tersampaikan secara benar ke ajang internasional apabila yang datang kesana adalah warga non Gayo, karena masyarakat Gayo sendiri sudah trauma dengan begitu banyaknya pemlintiran terhadap sejarah dan budaya Gayo.

Apa yang saya sampaikan ini adalah sebuah kritikan, bukan hanya ke luar Gayo tetapi lebih besar lagi ke dalam masyarakat Gayo sendiri. Kopi sebagai penopang utama perekonomian Gayo haruslah menjadi sebuah cara hidup (way of life). Apapun yang dikerjakan harus mendukung dan menjadi penyangga keberlangsungan Kopi Gayo. Menjaga lingkungan hidup agar seimbang dan terjaga, bahkan bagaimana upaya masyarakat Gayo untuk menghambat laju pemanasan global adalah  sebuah upaya yang wajib dilakukan secara bersama-sama karena suhu yang makin panas akan merusak kopi secara berkelanjutan.

Selain soal lingkungan masyarakat Gayo juga wajib berfikir dan menekan pemerintah untuk tetap dalam jalur yang tegas dan signifikan membangun tata kelola perkopian, sejauh mana sudah lahir peraturan daerah yang mengatur tata niaga kopi Gayo?

Apakah kekhususan wilayah Aceh tidak dapat dimaksimalkan dalam mendorong lahirnya payung hukum yang pro petani kopi?

Apakah kondisi hari ini kita telah cukup mengirimkan anak-anak kita ke lembaga pendidikan yang kelak akan menjadikan mereka para ahli pertanian, ahli pemasaran dan anak-anak kreatif yang dapat mengembangkan kopi bukan hanya sebagai minuman tetapi menjadi daya tarik internasional untuk mengunjungi Gayo dan Aceh pada umumnya.

Dan sejauh mana kita memahami bahwa lahan kebun kita juga terancam, bisa jadi beberapa tahun kedepan akan semakin banyak lahan pertanian kopi yang strategis bertukar kepemilikan dari rakyat tempatan menjadi hak milik orang luar karena berbagai keterbatasan kita. Ini yang saya takutkan, dimana masyarakat Gayo akan tersingkirkan seiring dengan tersingkirnya mereka dari kebun kebun kopinya.

Sekali lagi, saya tidak mau membawa kawan-kawan dan siapapun yang membaca tulisan ini kedalam suasana serba negatif, apa yang saya sampaikan adalah sebuah himbauan dan seruan sebagai Urang Gayo yang tidak ingin kita terus tercecer dalam dinamika dunia perkopian. Kitalah pemilik susu itu jangan sampai kerbau punya nama.

Terakhir buat siapa saja para pecinta kopi Gayo yang kami muliakan, kopi adalah darah buat Gayo, dia bukan hanya sebagai penyambung hidup, tetapi lebih dari itu sebagai harga diri. Maka jika kopi terusik, maka yang muncul adalah rasa kepemilikan dan marwah yang juga ikut terusik. Wallahua’lam bissawab. []

*Anak Petani Kopi/Warga Bener Meriah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.