Oleh Drs. Jamhuri Ungel, MA

SERING kita mendengar kata identitas, sebelum membahas tentang hilangnya identitas ada baiknya terlebih dahulu diketahui apa itu identitas? Identitas adalah refleksi dari diri kita sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri kita. Cerminan diri bisa berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis dan proses sosialisasi.
Kita akan merasa bangga, apabila kita ditanya oleh seseorang tentang keluarga, seperti nama, alamat dan juga pekerjaan orang tua. Pertanyaan lain tentang diri kita berhubungan dengan asa, jenjang pendidikan, keluarga dan juga kegiatan atau tempat bekerja. Ketika mampu menjawab dan menjelaskan semua yang ditanyakan, kita merasa puas dan bangga. Demikian juga dengan mereka yang mendengar penjelasan tentang diri kita, mereka merasa puas dan merasa dihargai.
Perlu diketahui, kanapa semua pertanyaan yang diajukan tersebut bisa kita jawab dan kita merasa bangga. Tentu karena jawaban itu adalah milik kita dan sebenarnya itulah identitas yang kita miliki. Seorang anak dengan bangga menjelaskan kalau dia adalah orang Gayo, mempunyai ayah, kakek dan seterusnya keatas orang Gayo dan ibunya juga keturunan asli Gayo, sehingga semua orang menyebutnya orang Gayo. Ditambah satu kebanggaan lagi kalau ia dilahirkan di Gayo dan mampu berbahasa Gayo. Dia selalu aktif mengikuti acara-acara atau kegiatan adat Gayo.
Semenjak anak itu dilahirkan ia bersekolah di Gayo, sampai pada jenjang sekolah SLTA, orang tua tidak memberinya izin sekolah keluar daerah, karena orang tuanya percaya kalau sekolah di Gayo juga mempunyai kualitas yang sama dibanding dengan sekolah-sekolah yang ada di luar Gayo. Disamping keyakinannya terhadap lembaga pendidikan yang ada di Gayo, para orang tua yakin kalau lingkungan Gayo bisa membentuk moral anak-anak mereka menjadi generasi yang paham dan mengamalkan adat dan tata krama sebagai orang Gayo.
Ketika mereka selesai dari pendidikan SLTA mereka berbondong meninggalkan Takengon untuk mencari pengalaman dan ilmu pengetahuan, mereka mengikut penjuru angin untuk melanjutkan pendidikan, dengan keyakinan ilmu yang diajarkan di Perguruan Tinggi tidak memadai dengan membaca literatur atau buku-buku karena sebenarnya dalam ilmu pengetahuan dipahami bahwa ilmu pengetahuan yang ada dalam buku adalah masa lalu dari penulis bukum. Sedangkan hari ini dari penulis adalah apa yang dilihat, didengar atau dirasakan penulis pada saat sekarang ini. Sehingga tida salam bisa dikatakan berdasarkan ungkapan orang lain mengatakat, semakin jauh berjalan semakin banyak yang dilihat. Apa yang dilihat merupakan informasi baru bagi seseorang dan itulah yang menjadi ilmu.
Informasi yang didapat ketika menuntut ilmu di Negeri orang, tidak dijadikan sebagai informasi tanpa saring, dan mereka yang menuntut ilmu di luar daerah tidak menjadi orang lain, karena dirinya telah dibekali dengan budaya asal pada saat ketika ia bersekolah (wajib belajar 9 tahun) di tempat kelahirannya. Untuk itu ia bisa memahami ilmu yang didapat tetap dalam koredor budaya Gayo yang menjadi identitas diri yang berbeda dengan orang lain selain selain dari orang Gayo.
Dimana orang Gayo berada tetap menjadi orang Gayo karena dalam diri mereka sudah tertanam fondasi yang kuat tentang Gayo, apapun ilmu yang didapat tetap dapat dianalisa dengan menggunakan jati diri dasar. Hal ini juga terjadi untuk semua orang yang mempunya jadi diri dasar, ketika mereka tetap menunjukkan identitas yang tidak pernah berubah.
Kalau kita melihat dari sisi keyakinan kita kepada Allah, bahwa Allah menciptakan manusia dengan jati diri yang beragam. Antara satu daerah dengan daerah yang lain sangat jauh perbedaannya, mulai dari bahasa, sumber kehidupan, sistem kemasyarakat, sampai kepada melahirkan pola pikir yang berbeda. Ini semua menunjukkan identitas. Bukankah katika berupaya merubah itu semua berarti kita telah berupaya merubah apa yang menjadi taqdir Allah.
Memang kita juga harus mengakui, bahwa budaya yang melekat pada diri manusia lambat laun akan berubah, tetapi akan menjadi lebih baik kalau kita sebagai orang yang telah diberi ilmu mengetahui bahwa ada hal-hal yang tidak seharisnya berubah. Karena diantara fungsi pengetahuan yang diberikan Allah kepada manusia adalah untuk dapat merubah diri manusia dari satu keadaan menuju keadaan yang lain, tetapi juga di sudut yang lain manusia itu harus mempertahan kan identitas yang telah diberikan Allah kepadanya. Seperti yang telah disebutkan adalah mempertahankan keberbedaan dalam identitas.
Untuk itu juga bisa kita katakan bahwa mempertahankan jadi diri atau mempertahankan keberbedaan diri dengan orang lain juga merupakan salah satu bentuk ibadah (penghambaan) kepada Allah. Kenapa tidak, sebagaiman kita ketahui bahwa keberbedaan diri antara satu dengan yang lain adalah amanah, dan menyampaikan amanah adalah penjelmaan ketundukan diri kepada Sang Khaliq.
Melihat realita yang ada dalam masyarakat sekarang, apakah itu karena arus globalisasi, atau karena takutnya pada munculnya modernitas dalam kehidupan manusia. Sebenarnya harus dipahami dahulu bahwa globalisas, modernisasi atau semua istilah lain yang berhubungan dengan kemajuan zaman. Itu merupakan keharusan yang tidak bisa dihindari. Namun untuk itu semua mampukan kita menghadapinya sehingga apa yang menjadi milik kita tetap menjadi milik kita dan kalaupun ada yang datang dari luar kita itu kita jadikan sebagai tambahan untuk mempekaya identitas diri, tapi jangan sampai datangnya sesuatu yang dari luar diri sehingga menggantikan identitas yang ada.[]