Kisah Pejuang GAM Asal Gayo Diselamatkan UNHCR ke Denmark (April-Juni 1998)

oleh

Catatan Yusra Habib Abdul Gani

PADA tanggal 27 April 1998 (jam 00.00), saya ditransfer oleh Intel negeri Johor kepada Intel Bukti Aman (Pemerintah pusat) di Kantor Polisi Sentul, Malaysia yang diterima oleh dua orang Intel. Setelah beberapa menit berbincang dalam keadaan tangan saya diborgol, salah seorang Intel yang saya kenal baik bertanya.

“Kenapa begini jadinya, Yusra”

“Ya, beginilah jadinya”, jawab saya singkat.

Lantas, saya dipersilakan memasang kacamata hitam dan dijebloskan ke dalam bilik berukuran ½ meter. Dalam kenderaan khusus yang gelap. Tidak lama kemudian tiba di sebuah gedung, diperintah memakai pakaian seragam tahanan dan dalam keadaan mata diikat dengan kain hitam, saya dipapah naik ke lantai 4.

Malam itu, saya menjadi tamu agung yang sudahpun ditunggu oleh 5 orang penyidik. Selama 4 hari 4 malam diperiksa tanpa tidur, kecuali makan dan shalat. Pada hari ke-lima, saya jatuh pingsan mulai dari jam 8.00 pagi, dan baru sadar pada jam 17.00 petang.

Saya tidak tahu, mengapa saya masih hidup lagi hari itu? 
Mulai hari ke-enam, saya dijeblos ke dalam bilik No. 19 pada jam 00.00 -8.00 pagi untuk tidur berbantal piring plastik. Bilik ini seram, sebab penghuni terdahulu semua mati bunuh diri di sini mengikut pengakuan penyidik.

Selama 15 hari dalam bilik berhantu ini, selalu bermimpi buruk, terkadang leher saya dicekik, mungkin arwah orang bunuh diri itu masih gentayangan. Setelah saya mengadu pengalaman saya dalam bilik ini, kemudian dipindahkan ke bilik No. 17. Setelah 2 minggu meringkuk disini, datang seorang psykholog dan mengesahkan bahwa saya dalam keadaan tidak normal.

Namun saya pasrah kepada Allah, sebab perjuangan ini pilihan saya. Selama 50 hari dalam proses penyidikan, berkas kasus saya setebal 1.896 lembar, mengalahkan kasus Ustaz Ansyari (pemimpin Darul Arqam) hanya setebal 1.500-an mengikut keterangan penyidik.

Seluruh gerak saya dikawal, mulai dari shalat, mandi, buang hajat, termasuk dalam cell sekalipun. Setelah selesai penyidikan, saya diberi kemudahan untuk membaca al-Qur’an dalam cell diwaktu malam, sehingga khatam Qur’an 2 kali dan kali ketiga hanya sampai surah Al-Hadid, sebab masa saya sadah tamat.

Menjelang 50 hari mau berakhir, para penyidik coba membalut luka hati saya dan menghibur dengan mengajak main catur dan membawa makanan, seperti pisang dan mangga.

Dari penjara Bukit Aman saya dipindah ke penjara di Jln. Ipoh yang menampung para pengguna sabu-sabu. Rata-rata mereka menunggu dihukum gantung, saya disatukan dengan kelompok ini. Dinding cell saya penuh percikan darah orang bunuh diri dan pesan mesan mereka sebelum mati. Di sini saya meringkuk selam 5 hari. Ada dua tetangga dekat saya –seorang keturunan China dan seorang lagi India– yang menunggu hukuman mati dan sambil menunggu ajalnya, keturunan India ini sering menghadiahkan lagu India kepada saya dari celah-celah jendela berukuran 10 cm/segi. Kami berkomunikasi lewat jendela itu yang agaknya cell kami terlalu sempit untuk menghembus nafas terakhir. Disini aku mau belajar kematian yang terhormat dan menunggu kematian itu!

Saya mendengar sayup-sayup suara azan dan saya shalat dalam keadaan telanjang, kecuali celana dalam. Tiba-tiba, pada pagi itu, pintu cell saya digedor oleh dua polisi muda berseragam dan perintahkan saya supaya bergegas memakai pakaian seragam yang sudah disediakan dan pakai kacamata hitam. Saya digiring ke luar dan menaiki sebuah Mobil L-300 meluncur ke Kantor polisi Sentul di kawasan Chow Kit. Disini saya, sudah ditunggu oleh dua intel Bukit Aman yang saya kenal baik.

“Dikemanakan saya, Tuan”, tanya saya.

”Inilah, kita mahu bantu Yusra. Perdana Menteri Malaysia bersama UNHCR sudah sepakat bahwa, saudara mesti tinggalkan Malaysia menuju negara ketiga pada 29 Juni 1998”.

Pada jam 9.00 pagi, mereka transfer saya ke Kantor Imigrasi Damansara. Ketua Imigrasi terkejut, karena tidak diberitahu sebelumnya. Saya dijebloskan lagi kedalam cell tahanan yang menampung ratusan pendatang haram dari pelbagai negara menunggu dideportasi. Disini saya menemukan dan merasakan betapa hangatnya ikatan persaudaraan di antara yang sedang menderita. Kami mengisap sebatang rokok Malboro di ruang toilet secara bergantian seramai 10 orang dari pelbagai negara, kami tertawa dan nyanyi bersama.

Atas pertimbangan keselamatan, saya dipindah ke Kantor Polisi Damansara (26-29 Juni 1998) sambil menunggu tarikh penerbangan Kuala Lumpur – Copenhagen. Disini, lain pula kisahnya. Cell jeruji besi yang saya tempati hanya muat untuk satu orang, namun setelah 3 hari saya tempati, dijejal dengan pendatang haram asal Flores (Indonesia) seramai 6 orang. Dapat dibayangkan bagaimana hidup dalam cell jeruji besi untuk seorang menjadi 7 orang? Kami semua dalam keadaan telanjang (hanya pakai celana panjang), shalat juga dalam keadaan telanjang.

Menariknya ialah, ada seorang tahanan yang cell-nya berhadapan dengan cell saya. Dia selalu memandang saya dengan wajah penuh tanya, seakan-akan tak percaya mengapa saya berada bersama mereka? Dari kejauhan dia tanya

”Apa hal Encik masuk kat sini”?

Saya tidak menjawab. Namun, dia penjahat yang dipercaya oleh Polisi untuk membeli dan membagi nasi bungkus dalam cell merasa iba kepada saya. Selama 3 hari dia membeli 2 bungkus nasi untuk saya dengan menu yang istimewa, yang lain satu bungkus. Saya tanya,

”Kenapa 2 bungkus?”.

”Usah tanya…, makanlah”, katanya.

Ya Allah, si penjahat ini baik betul hatinya kepada saya. Lindungi dia ya Allah! Bahkan ketika saya dijemput oleh Intel Bukit Aman pada 29 Juni 1998, dia merasa sedih dan berlinang air mata.

Dari Damansara, saya dikawal oleh 4 mobil, 2 di depan dan 2 di belakang. Setibanya di Airport Internasional Subang, dua pegawai UNHCR Kuala Lumpur serahkan pasport Denmark dan Intel Malaysia mengantar sampai ke tangga pesawat:

”Selamat jalan, Encik Yusra”, kata mereka.

Sebelum masuk pesawat, pegawai UNHCR Kuala Lumpur memberi arahan supaya saat turun pesawat di Bangkok-Thailand, perlihatkan sebuah tas plastik yang diberikan kepada saya bersimbol ”Amnesty International”.

Benar, begitu turun dari pesawat, sudah ada seorang pegawai UNHCR di Bangkok menyapa:

”Are you Mr. Yusra Habib?”

”Yes”, jawab saya.

Dia langsung merangkul saya. Hal yang sama, pegawai UNHCR tadi, arahkan supaya saya memperlihatkan tas plastik bersimbol ”Amnesty International” sewaktu turun dari pesawat di Copenhagen Airport, Denmark. Saya disambut oleh 3 pegawai pemerintah Denmark yang mengurus pelarian politik. Salah seorang menyapa:

”Are you Mr. Yusra Habib?”

”Yes”, jawab saya.

Saya bersama keluarga dihantar ke suatu Villa yang lokasinya terisolasi, maksudnya supaya tidak membuat hubungan sementara waktu dengan orang lain–isterahat–.

Ada 9 negara yg menawarkan saya menjadi pelarian politik, yaitu USA, Australia, New Zealand, Norwegia, Seweden, Denmark, German, Perancis, Belanda mengikut keteranagn UNHCR Kuala Lumpur namun dipilih negara Denmark.

Sejak itulah, buat pertama sekali menginjak kaki di bumi Denmark sampai sekarang. Maha besar dan kuasa Allah untuk menentukan nasib masa depan hamba-Nya!. [SY]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.