Kilas Balik Lahirnya Teater Reje Linge Takengon

oleh

[Esai]

Salman Yoga S

DAERAH putih. Itulah sebutan untuk wilayah pedalaman Aceh ketika konflik bersenjata berlangsung puluhan tahun. Tak jelas makna yang tersembunyi di balik kata itu, yang pasti rakyat menderita lahir bathin. Ketakutan dan intimidasi seperti penyakit epidemi, menular dan menjalar kemana-mana tanpa mengenal usia, kota dan dusun. Tetapi anehnya, hal tersebut seolah tak ada masalah bagi penguasa. Sehingga daerah yang sesungguhnya terluka pada bagian “dalam”nya inipun dijuluki sebagai daerah putih.

Sisi kehidupan sosial, budaya dan norma-norma adat telah terjajah jauh ke akar-akarnya. Pola pikir, gaya hidup, interaksi sosial antar masyarakat secara perlahan mulai berubah. Dari sopan menjadi tidak sopan, dari kesahajaan menjadi penuh curiga, dari perilaku para gadisnya yang santun menjadi binal, dari pemaaf menjadi dendam. Kedengkian menjadi sesuatu yang patut ditakuti dan diwaspadai dalam interaksi dan komunikasi sosial.

Dalam kondisi sedemikian pertunjukan kesenian seakan menjadi sesuatu yang mahal dan sangat berisiko. Tak terkecuali seni sastra lisan Didong, yang menjadi sisi utama estetika dalam kebudayaan Gayo. Sebagai media ekpresi ia juga menjadi hal yang tidak memungkinkan. Apalagi sebagai “senjata” ia bahkan tak terpikirkan sama sekali. Hal tersebut terjadi disegala penjuru dusun dan kota di daerah Aceh.

Prihatin dengan gejala yang tidak sehat tersebut, oleh sekumpulan pemuda Gayo yang sevisi berdiskusi dan bertukar pikiran sekaligus mengutarakan imajinasi masing-masing. Wacana-wacana esensi serta universalitas kesenianpun selanjutnya dikembangkan dan disebarkan melalui diskusi-diskusi di gardu-gardu jaga (pos kamling), kampus, warung kopi dan perempatan jalan, sehingga lahirlah sebuah komunitas Himpunan Seniman Muda Gayo (HSMG) pada tahun 1999. Komunitas ini kemudian menyusun sejumlah  agenda kesenian dan penguatan organisasi-organisasi kesenian yang ada. Selanjutnya, HSMG bersama sejumlah tokoh seniman lainnya memprakarsai lahir dan terbentuknya Dewan Kesenian Takengon (DEKATE), sebagai pengganti Dewan Kesenian Aceh Tengah yang sebelumnya sempat mati dan tidak diketahui eksistensinya.

Konflik terus berlangsung bahkan semakin sengit. Ketakutan masyarakat semakin luas dan meraja lela. Berita kematian demi kematian terjadi hampir setiap hari. Aktivitas masyarakat petani menjadi terhenti. Lahan-lahan perkebunan menjadi terlantar. Namun sejumlah kegiatan kesenianpun terus digelar oleh HSMG dengan moment dan penonton yang sangat minim. Tekadnya, sekecil apapun sebuah pentas seni ia harus tetap digelar dan diapresiasi. Meskipun dilakukan di ruang tamu rumah papan dan pinggiran pematang sawah.  Puncaknya muncul kelompok teater Reje Linge dan Teater Buke. Yang kemudian pada tahun 2002 Teater Buke melakukan pementasan di dua kota, Takengon dan Banda Aceh dengan judul naskah “Kami Rindu Aman”.

Kelahiran HSMG dan Teater Buke yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya Teater Reje Linge, pada awalnya bukanlah untuk melahirkan karya-karya berkualitas atau menelorkan seniman-seniman. Tetapi lebih kepada penciptaan ruang berkesenian, berekspresi serta berapresiasi. Menjadi media, yang memberitakan tentang sisi-sisi kehidupan rakyat yang tertindas.

Sehingga komunitas ini tidak membatasi diri pada dunia teater saja. Pengurus  dan anggotanya sebagian besar adalah pemuda eks pelajar dan mahasiswa. Dengan dibantu dan difasilitasi oleh HSMG, Teater Reje Linge menyebarkan brosur kesetiap Sekolah Menengah Umum dan Madrasah Aliyah dalam rangka penyaringan anggota dan pemain. Latihan demi latihanpun kemudian digelar dengan kemampuan dan volume yang disesuaikan dengan tingkat keamanan kala itu.

Salah satu visi Teater Reje Linge saat itu adalah membangkitkan gairah seni perteateran di Aceh Tengah. Karena “Teater memiliki kekuatan untuk menggerakkan, memberi inspirasi, mengubah dan mendidik melalui cara-cara yang tidak dapat dilakukan ekspresi seni yang lain. Teater merefleksikan perbedaan budaya yang sangat luar biasa dan kemampuan manusia dalam berbagi, baik itu dalam kekuatan maupun dalam kelemahannya (Irina Bokova, Direktur Jendral UNESCO).

Konsepnya dalam setiap latihan dan pementasan adalah kebersamaan dan mengusung budaya dan kearifan lokal sebagai media dan tema utama di samping tema dan naskah-naskah dari penulis nasional dan asing. Tidak heran jika kemudian Teater Reje Linge juga membuka diri dan melakukan berbagai kegiatan-kegiatan kebudayaan lainnya, seperti seminar, work shop, pelatihan dan lain sebagainya, bekerja sama dengan lembaga dan komunitas seni lainnya dalam memproduksi kaset, VCD dan sinetron lokal. Sampai saat ini Teater Reje Linge terus eksis dengan jumlah anggota 98 orang dari berbagai profesi; pedagang, pelajar, seniman, mahasiswa, wiraswastawan, penyiar radio, dosen dan pekerja seni.

Yang perlu dicatat atas isentisitas dan dinamika yang menggembirakan antara tahun 1980-1988 adalah bahwa dunia teater di Aceh Tengah sempat di “perhitungan” di Provinsi Aceh, dengan sejumlah kegiatan dan kelompok seninya. Di antara kelompok yang muncul saat itu adalah Teater Asa dan Teater Citra serta sejumlah sanggar: Arimulomi, Jenjani, Arias, Gentala dan sebagainya. Dengan para pelaku Saiful Hadi JL, Fikar W Eda, Pule Subahrin, Pungi Arianto, Mustika Ajerso, Ipap Suprapto, Dahlan, Achrial Bsc, Amin, Ikhwan, Wiratmadinata, Julpian, Darwin Spacua, Ridwan Pi, Purnama K Ruslan, Merdu Sari  dan lain-lain.

Namum antara tahun 1989 hingga tahun 1990-an perteateran di Takengon kembali sepi. Baru kemudian Teater Reje Linge dan Teater Buke selanjutnya menjadi tonggak bangkitnya kembali dunia perteateran di Takengon setelah lebih kurang 13 tahun fakum. Kemudian tahun 2004 muncul Teater Putih dari kampus Perguruan Tinggi Gajah Putih Takengon dan disusul oleh Teater Merdeka tahun 2006.

Nama Teater Reje Linge sendiri diambil dari nama kerajaan yang pernah berjaya dan berkuasa di dataran tinggi Gayo “Kerajaan Linge”. Salah seorang putra raja Linge Adi Genali yang bernama Merah Johan atau Johansyah pada tahun 1203 M mendirikan Kerajaan Islam Aceh Darussalam sekaligus menjadi raja pertamanya dengan gelar Sultan Alaidin Johansyah. Reje Linge diabadikan menjadi nama Teater yang berbasis di tanah moyang pemelik negeri.

Sebagai sebuah komunitas dengan konsep organisasi seni dan ekpresi yang berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal dan kekeluargaan, pada tanggal 30 Agustus 2006 Teater Reje Linge di “turun manikan” secara adat di Rumah Pitu Ruang Kerajaan Linge di Buntul Linge. Dengan aqiqah menyembelih dua ekor kambing acara “turun mani” pun yang dibarengi dengan jamuan makan dan doa bersama. Acara tersebut dihadiri dan diikuti oleh masyarakat dari beberapa  kampung sekitar  (Linge, Jamat, Delung Sekinel, Pantan Pertik, Reje Payung dan lain-lain). Malam harinya diadakan pentas teater yang berjudul “Kembali Ke Tungku” di bawah rumah Adat Gayo (Umah Pitu Ruang” Buntul Linge. Acara ini turut dihadiri dan difasilitasi oleh sejumlah tokoh dan petua, diantaranya adalah Aman Jalil, Aman Bas dan lain-lain.[]

Perjalanan Kegiatan & Pementasan Teater Reje Linge :

Naskah “Aku Memanggilmu Ine” dipentaskan di Gedung Purna Budaya Yogyakarta tahun 2001.

☻  Naskah “Syurga Itu” dipentaskan di Purawisata Yogyakarta tahun 2002.

☻  Naskah “Tungku” dipentaskan di Gedung Gentala Takengon tahun 2003.

Naskah “Tungku” dipentaskan di Gedung Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta 2003.

☻  Naskah “Tungku” dipentaskan di Gedung Sociatet Yogyakarta 2003.

☻  Naskah “Tungku” dipentaskan di Gedung RRI Jakarta 2003.

☻  Seminar budaya “Kebudayaan Gayo, Hari ini dan Esok” di Gedung Oleh  Seni (GOS) Takengon, bulan September  tahun 2004.

☻  Peluncuran VCD “Ritual Adat Perkaeinan Gayo” di Gedung Oleh  Seni (GOS) Takengon, kerjasama dengan PT Gayo Quine Jakarta tahun 2004.

Produksi dan Peluncuran VCD “Didong Jalu Ceh Kucak Gajah Putih” kerjasama dengan STAI Gajah Putih Takengon, tahun 2005.

Pelaksan seleksi daerah “Pestival Monolog” kerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), tahun 2005.

Naskah “Wih” sebuah Monolog, dipentaskan di Gedung Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta dalam even Pesta Monolog Nasional oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tanggal 11-19 Mei 2005.

Tahun 2006 atas bantuan dana hibah kembali mementaskan naskah “Kembali Ke Tungku” di tiga kota; Takengon Kabupaten Aceh Tengah, Simpang Balik Kabupaten Bener Meriah dan Taman Budaya Banda Aceh.

Turut berpartisipasi menghantar Kontingen Kabupaten Aceh Tengah menjadi juara pertama pentas teater dalam Pekan Kebudayaan Aceh (PKA), 2004.

☻ Menghibahkan naskah teater “Qisas Para Meurah” menjadi lakon panggung dan menjadi juara pertama pentas teater dalam Pekan Kebudayaan Aceh (PKA), 2009.

* Dipetik dari Booklet Pementasan Teater Reje Linge naskah “Tungku” di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, 2003 dan naskah “Kembali Ke Tungku” Gedung Olah Seni (GOS) Takengon 2006.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.