[Cerpen]
Oleh: Yofiendi Indah Indainanto
RASA rindu yang menghampiri, singgah membawa sendu-sendu menggoda. Angin itu, menghembus dan lalu menghilang. Terkadang membawa kenangan, ada sekedar singgah tinggalkan pertanyaan. Aku tak mengerti, butiran pasir manakah yang akan kuambil, mana kala semua itu serupa. Ataukah aku harus memilih semuanya untuk pelengkap dalam mengarungi indanya dunia luar.
Mungkin saat ini angin sedang tertawa melihatku, dengan kesenduan, dan kesendirian. Waktu di luar berlalu begitu cepat, menggerus pondasi-pondasi nilai leluhur. Dingin yang menjadi identitas berubah menjadi panas gemerlap sinar pijar. Sesekali aku bertanya, dari manakah aku berasal, lahir dari orang tua perantauan, tinggal dari belas kasih tumpangan, hingga terpinggirkan di lereng pegunungan.
Angin sendu ini terus berubah menjadi awan rindu, menutupi sinar dan membawa keheningan. Terkadang cemas, sesekali muncul ketakutan. Riwayat menuliskanku terlahir dan besar di lembah peraduan. Kecilku kulepas dengan suara lantang, hingga besar kupamit mengadu di perantaun. Aku selau bingung manakala, bertemu orang dari pelosok negeri, menanyakan asal dalam senyum-senyum kecil pencari harapan.
Kuingat satu sisi kehidupan, pecahan surga ada di tengah pegunungan, sisi yang mengajarkan perjuangan, dan juga kekuatan. Udara dingin terus menawarkan suasana Eropa, terjadi di gubuk kecil tempatku dibesarkan. Angin-Mu, membentukku untuk bersujud, di pangkuan kabut-kabut kerinduan.
Takengon kini telah berubah, engkau telah melahirkan bibit pejuang di peraduan. Teringat sebuah kisah, seorang anak muda, lahir dan besar dari keluarga perantauan. Dia selalu bingung, dan terbesit pertanyaan,
“Apakah aku bagian dari Takengon, saat aku lahir dari keluarga perantauan?”
Kalimat itu selalu terbesit di dalam diri anak muda itu. Suatu hari, saat matahari di ujung petang, dia lepaskan hari dengan begitu indah di peraduan. Dia pergi jauh dan terus jauh, mencari jati diri, meski jauhnya hanya di kampung seberang.
Dia selalu bertanya apa yang akan kurindukan tentang sebuah masa lalu. Dia terus jauh, jauh dan jauh dan tak sesekalipun singgah melihat masa lalunya. Angan sendu mulai menawarkan, akan ingatan dan kenangan. Penggalan syair
“Tetapi kampung dan rumahku di sanalah kurasa senang”
Mengingatkan tentang masa lalu. Tawaran angan diterima anak muda, hingga suatu ketika, dia menuliskan kisah tentang kerinduanya pada kampung halaman.
Anak itu kini punya jawaban, rinduku bukan untuk angan, tapi untuk masa laluku. Masa dimana kudibesarkan, kuat seperti batu gunung, tangguh seperti tapak kami melangkah. Hinga lembut seperti kambut-kabut malam.
Sedikit kutermenung, menyombongkan diri, dengan penuh ego-ego omong kosong. Aku sesekali menyaksikan, ombak dilautan memiliki rasa menyegarkan. Terkadang jantung ini berdetak mengikuti irama ombak menari. Berdetak kencang, pelan atau menghancurkan. Mungkin ombak itu membawa pesan, tak selamanya yang biasa itu membawa keindahan, jika melihat dari sudut yang sama. Perantauan mengajarkan, nikmat jarak yang membuat rindu itu berwarna, terkadang tersenyum, atau menangis, membawa semangat atau sekedar membawa kesenduan. [SY]
* Dikurasi dari judul semula “Tawaran Sendu Diperantauan”
Yofiendi Indah Indainanto, lahir di Aceh Tengah pada tanggal 21 April 1995 beralamat di Jln. Jagong-Gegarang Kampung Paya Dedep, Jagong Jeget. Aktif menulis di Media cetak Kota Medan. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa pada Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial (Fispol) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Jurusan Ilmu Komunikasi Semester VI. Dapat dihubngu di: yofiendi@gmail.com