Oleh Johansyah*
KAMPANYE merupakan aspek penting dari pemilihan kepala daerah (pilkada), baik kampanye yang telah ditetapkan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) maupun kampanye di luar jadwal. Kampanye yang ditetapkan oleh KIP berbatas waktu. Kalau ada yang melanggar maka dikenakan sanksi. Di lapangan sebenarnya kampanye tidak pernah berhenti, ada saja cara ‘kreatif’ yang dilakukan masing-masing tim sukses (timses) calon.
Tidak terbantahkan bahwa kehadiran media sosial (medsos) seperti facebook, twitter, instagram, wattup, dan lain-lain di era teknologi ini sangat membantu para calon untuk berkampanye mempublikasikan diri dan program unggulannya. Dalam perekembangannya, kontrol terhadap medsos memang sulit. Pasalnya akun-akun di medsos ini tidak hanya dimiliki oleh calon yang bersangkutan, tetapi juga dimiliki oleh para pendukung dan simpatisan. Akunnya memang atas nama pribadi, tapi isinya tidak lain adalah kampanye politik untuk mempromosikan calon jagoan masing-masing.
Salah? Tidak juga. Apa yang mereka lakukan adalah hal yang lumrah. Tetapi saya kemudian agak terusik ketika pesan-pesan kampanye dikemas dalam angka-angka yang merupakan pesan agama. Angka tersebut dicocokkan dengan nomor urut calon jagoannya. Kalau calonnya nomor urut satu, maka postingannya khusus berisikan tentang ayat dan hadits yang menyatakan satu hal. Redaksinya kurang lebih; ‘satu hal yang harus diingat, satu hal yang dianjurkan nabi, satu hal yang di bencu nabi’ dan seterusnya.
Kalau calonnya nomor dua, maka dikumpulkan pesan agama yang intinya berbicara dua. Contoh kalimatnya; ‘dua golongan yang disukai Allah, dua karakter manusia menurut hadits, dua hal yang dianjurkan nabi’ dan sebagainya. Kalau calonnya nomor tiga, maka pesan agama yang dimunculkan khusus berkaitan dengan tiga. Minsalnya; ‘tiga perintah rasulullah, tiga hal yang dianjurkan rasulullah, tiga karakter manusia, dan seterusnya.
Demikian halnya dengan calon dengan nomor urut empat, lima, enam, tujuh, delapan, dan seterusnya. Semua mencari pesan agama yang sesuai dengan nomor urut calon bersangkutan. Kalau ada yang bertanya, apakah ini kampanye? Maka logika yang dibangun sangatlah apik. Mereka akan mengatakan ini adalah pesan ayat dan hadits, bukan kampanye. Orang bisa tersenyum sinis mendengar jawaban seperti ini karena mengetahui betul maksud utamanya bukanlah menyampaikan pesan agama, tetapi menyodorkan nomor calonnya ke publik. Sebagian orang ada yang mengatakan bahwa ini adalah cara munafik karena menampilkan maksud terselubung dengan sampul agama. Dan dikatakan munafik karena mereka tidak berterus terang kalau ditanya apakah berkampanye atau tidak.
Selain di medsos, timses yang berlatar belakang ustadz ketika dipercaya menjadi pencerama atau khatib, maka mereka akan mengupas materi dengan berusaha memformulasikannya dengan nomor urut calon jagoannya. Misalnya mereka akan mengupas tentang empat nasehat rasulullah. Dia mengulang-ulang ‘ingat ada empat pesan rasulullah’ sampai berkali-kali. Sebagian orang paham betul bahwa pesan utama yang ingin disampaikan sebenarnya bukan pesan rasulnya, tetapi angka empatnya. Ustadz-ustadz para calon yang lain juga melakukan hal yang sama, yakni mencari materi yang disesuaikan dengan nomor urut calon jagoannya; satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, dan seterusnya.
Ini adalah hal yang unik sekaligus menyedihkan. Timses satu akan menggudangkan ayat dan hadist yang bermuatan pesan angka dua, tiga, dan seterusnya. Nomor urut dua juga demikian, akan mengabaikan dan menyimpan sementara pesan agama di luar angka ‘keramatnya’. Begitu seterusnya. Kecuali, nanti setelah pilkada berakhir.
Kembali kepada niat
Sulit untuk memastikan bahwa ada maksud terselubung dari pemunculan angka pada pesan agama bahwa itu kampanye. Tapi kita memiliki asumsi yang kuat untuk itu karena pemakaian angka untuk menjelaskan pesan agama itu bersifat tetap, tidak menggunakan angka-angka lain di luar nomor urut calon yang dijagokan.
Maka sebenarnya kembali kepada niat orang itu sendiri. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan, maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya”.(HR. Bukhari Muslim dari ‘Umar bin Khaththab).
Dialah yang mengetahui maksud dan tujuannya. Kalau pun ada klaim bahwa itu kampanye, akan ada seribu satu alasan untuk mengatakan bahwa itu pesan agama bukan kampanye. hanya saja sebagian orang akan menyatakan bahwa kalau itu pesan agama, mengapa hanya melulu memunculkan satu angka dan berkorelasi dengan nomor calon yang dijagokan? Akan lebih miris ketika itu diakui sebagai upaya kampanye. Berarti menurut sebagian pemahaman orang, dia sudah memperalat ayat atau hadits untuk mengkampanyekan calon jagoannya.
Menghindari salah tafsir
Hemat saya, pembatasan pesan agama dalam kerangka angka tertentu sesuai dengan nomor urut calon jagoan akan berpeluang memunculkan salah paham dan salah tafsir. Kelompok di luar pendukung dan simpatisan calon akan menilai hal ini sebagi upaya menjadikan sebagai alat untuk mempublikasikan diri atau calon yang diusung.
Hal inilah yang perlu diminimalisir bahkan dihindari. Bisa saja memposting pesan dengan dalam bingkai angka sesuai calon jagoannya. Tetapi pesannya bukan berasal dari ayat atau haidts, melainkan dari pendapat para tokoh, dari kata-kata hikmah, pribahasa, pepatah, dan sumber lainnya selain ayat dan hadits.
Jika pesan agama dipaksakan untuk lebih menampilkan angka nomor urut calon jagoannya, maka nilai dari pesan agama tersebut akan berkurang. Sebagian orang akan cepat berasumsi bahwa yang ditampilkan sebenarnya bukan pesan agamanya tetapi angka yang dijadikan urutan dalam penyampaian pesan agama tersebut.
Setiap orang memiliki calon yang dijagokan. Tapi mungkin lebih bijak dan tepat ketika kita menghindari untuk memperalat agama sebagai media kampanye. Jangan sampai nilai-nilai pesan agama itu berkurang karena dijadikan sebagai tameng untuk memunculkan nomor atau angka dari calon yang kita jagokan. Masih banyak cara lain yang dapat ditempuh dan jauh dari kesalahpahaman tafsir publik. Lagi pula, jangan terkesan bahwa kita menjajakan ayat dan haidts demi kepentingan sesaat dan kelompok. Wallahu A’alam!
*Johansyah, Pemerhati Sosial-Keagamaan. Email: johan.arka[at]yahoo.co.id