Catatan : Ansar Salihin *)
[Resensi Buku]
ANGGREK PUTIH
Anggrek liar menjalar di lembah
Menjadi kerumunan kupu-kupu
Perkawinan tanpa kelamin
Dataran Tinggi Tanah Gayo begitulah sebutannya mengungkap daerah serpihan tanah syurga dengan kesuburan dan keindahan alamnya tak mampu diungkap dengan kata-kata. Berada di atas 1.500 meter di atas permukaan laut, jangtung provisni Aceh atau sering juga di sebut sebagai wilayah tengah Aceh. Itulah inspirasi penyair Salman Yoga untuk mengukir bait-bait puisi yang terkumpul dalam buku “White Orchids Gayo Soil” atau dapat diartikan Anggrek Putih Tanah Gayo.
Buku kumpulan puisi dengan ketebalan 104 halaman, 83 judul puisi yang dibagi menjadi 5 kelompok. Setiap kelompoknya terdiri beberapa puisi dengan tema atau sub permasalahan yang sama. Buku tersebut diterbitkan oleh The Gayo Institut Takengon tahun 2016 dengan ISBN 978-602-14255-5. Kulit buku bagian depan bunga berwarna merah dan bagian belakang motif ukirang kerawang pada rumah adat Gayo. Antologi Puisi White Orchids Gayo Soil pertama kali dilaunching pada acara Temu Penyair Delapan Negara di Banda Aceh kemudian kedua Temu Penyair Empat Negara di Meulaboh.
White Orchids (Anggrek Putih) merupakan salah satu bunga yang tumbuh dan berkembang di daerah Gayo. Keberadaan saat ini sudah mulai punah dan tidak ada dibudidayakan, semenatara bunga ini salah satu tumbuhan yang memiliki nilai keindahan dari bunganya. Itulah salah satu yang diungkapkan dalam buku ini, Anggrek hanya mewaliki bunga atau tumbuhan saja, masih banyak tumbuhan langka lainnya yang terdapat di Gayo namun keberadaan tidak terpedulikan alias mulai punah.
Anggrek selain penggambaran alam dalam bait-bait puisi Salman Yoga juga menggambarkan kondisi kemanusiaan, politik, pemberontakan dan kondisi sosaial lainnya yang terjadi di Gayo kurun waktu beberapa tahun terakhir. Kondisi komplik peperangan mulai penjajahan, PKI, DI TII sampai dengan pemberotakan Aceh Merdeka atau Gerakan Aceh Merdeka. Komplik sosial ini telah menjadikan terauma panjang terhadap masyarakat Aceh dan Gayo Khususnya. Hal ini penyair sebagai masyarakat biasa juga ikut mengalami, sehingga melalui puisi-puisinya mencoba untuk mengungkapkan kebenaran dan peristiwa yang terjadi pada masa itu. Hal tersebut diungkapkan melalui penggabaran atau pengistilahan kepada objek yang lain baik tumbuhan maupun hewan. Seperti bunga Renggali, burung Cicimpla, Elang dan objek yang lainnya dapat mewakili dalam pengungkapan situasi tersebut.
Salah satu kutipan puisi yang berjudul Renggali di halaman dua mengawali puisi;
“untuk keseratus sekian taburan // doanya masih saja kembar dalam air yang dialirkan ke tanah merah // meski alfatehah mengandung tujuh samudra // dalam aliaran air yang dituangkan di pusara // kematian tetap saja seragam duka membentuk berkas warna // demikian liang lahat digali dan ditimbun kembali // mimpi dan cinta kian mekar di tangkai renggali sebagai ziarah // selalu iringan panjang dan ngeri // menghantar keranda ke ujung bumi // janji menjadi bulan matahari, memanaskan dan // menyusup ke rongga dada ibu yang terlentang // tangannya mengepit seperti tengah shalat khususk // mulut diam dan kaku seperti membaca syani dalam hati // mata terpejam rapat enggan melihat dunia // iapun bertanya pada nisan yang terpahat // apakah yang terjadi ? // siapakah sebenarnya yang menjadi pembenci // betulkah TNI, iakah GAM, benarkah melisi; // atas catatan yang mana harus ku tanam ranggali // atas kematian dan pusara siapa kutabur renggali // sedang aku adalah turunan bunga // disunting dan dimekarkan dari kedamaian dan cinta sesama”
Puisi tersebut bercerita tentang kematian seorang insan yan disebabkan oleh pembunuhan. Siapa saja hidup dan besar pada masa komplik Aceh pasti merasakan ini, korban-korban berjatuhan dan menghilang entah kemana jasadnya. Kemudian tidak tahu apa sebab kematiannya dan juga tidak diketahui siapa pembunuhnya. Kisah-kisah ini diibaratkan sebagai bunga renggali, yang merupakan dialog seorang penyair dengan bunga renggali. Siapa yang disalahkan dan dipersalahkan atas peristiwa yang mencekam beberapa tahaun di Aceh. Pertanyaan-pertanya ini dilontarkan kepada renggali sebagai bunga yang harum, sementara bunga renggali hanyalah turunan bunga yang dimekarkan dari kedamaian dan cinta sesama. Kenapa sesama manusia saling membunuh, kenapa tidak belajar kepada renggali yang tumbuh hidup penuh kedamaian. Alam berkebang jadi guru, filosofi renggali sebagai simbol kedamaian seharusnya menjadi panutan terhadap manusia hidup penuh kedamaian.
Begitu juga dengan puisi kedua yang berjudul sajak burung cicimpala “gurauan yang melalaikan terik matahari // yang menyelesaikan obrolan mimpi-mimpi // melenyapkan ingatan kita tentang mayat-mayat terbaring // sepuluh hari di tikungan itu // …….”
Cicimpala merupakan salah satu nama burung dalam sebutan bahasa Gayo, kicauannya sangat merdu tatkala berbunyi di atas pohon-pohon. Burung ini sangat digemari oleh masyarakat, karena warna bulunya yang indah hitam dan putih, kemudian kemerduan suaranya membuat hati nyaman. Ternayata lain halnya apa yang diungkap oleh penyair ini dalam puisi cicimpala merupakan kabar buruk yang disampaikan. Dibalik suara merdu itu ada berita-berita buruk tentang kematian dan penyiksaan terhadap manusia. Kisah ini sama dengan puisi sebelumnya hampir setiap hari masyarakat menemukan mayat-mayat di persimpangan, sungai, tempat sampah dan tempat lainnya. Entah apa kesalahan dan entah siapa yang patut dipersalahkan atas kejadian tersebut. Kematian ini tidak hanya sampai kepada pemilik jasad saja, namun menumbuhkan benih-benih kebencian dan dendam terhadap anak-anaknya sejak masih dalam kandungan. Generasi bangsanya besar dan tumbuh dengan menyimpan sejuta dendam untuk dibalasakan suatu saat. Sehingga kedamaian jauh dari harapan, begitu terus berlanjut sampai sampai puncak komplik itu dapat diselesaikan.
Sejarah komplik Aceh diakhiri dengan bencana besar Tsunami 26 Desemebr 2004, seperti jalannya cerita itu juga terungkap dalam antologi puisi, 9 judul puisi pada bagian pertama berisi tentang tsunami. Bermula dari terjadinya gempa tsunami telah menghancurkan Aceh, ribuan nyawa menghilang, merobohkan bangunan yang temboknya semen dan baja, semuanya terjadi atas izin dari Allah. Dalam puisi tsunama tsunami 3 sebagai pengakuan kesalahan manusia menyebabkan tuhan menegur hambanya, tsunama tsunami 4 sebagai pengakuan kekuasaan tuhan bahwa tidak ada lagi kekuatan apapun selalin kekuatan tuhan, dan pada tsunama tsunami 8 menyampaikan hikmah dari bencana telah menyatukan yang terpisah dan mendamaikan yang bertikai.
Selain itu beberapa judul puisi tentang keindahan alam Gayo salah satu Satunya Danau Lut Tawar yang merupakan salah satu ikonitas kabupaten Aceh Tengah dalam objek wisata alam. Seperti judul puisi Danau Lut Tawar 6 “….air menguap cuma bias menjadi embun // tanpa tau daun manakah yang telah hilang dari rimbun//….” kutipan puisi ini mengisyarakatkan kondisi danau lut tawar saat ini yang menjadi kebanggaan masyarakat dengan keindahan alam. Ternayata dibalik keindahannya banyak pihak juga berusaha untuk merusaknya mulai penodaan air, penimbunan, dan penggunaan airnya untuk pembangkitan listrik. Sehingga keindahan danau semakin lama semakin terkerus yang disebabkan oleh manusia yang tidak bertanggungjawab.
Selanjutnya ada juga puisi yang bertema kebudayaan, adat istiadat dan kesenian Gayo, misalnya Didong, Saman, Tari Guel, Kerawang Gayo dan yang lainnya. Dalam hal ini melalui lukisan diksi yang indah menggambarkan budaya msayarakat Gayo secara umum, pengungkapan gerak, bunyi dan filosofi pada sebuah kesenian Gayo. Seperti judul puisi pada Lingkaran Tari Guel; “masih pada teriakan yang sama // kain ulen-ulen itu menjadi cahaya mengibaskan debu di tanah dan udara // gerak mlingkar alam menggulung rimba // maaf langit yang kujunjung, permisi bumi yang kujejak // tapi siapa yang telah mendurhakai telapak kaki dan ubun-ubun // hingga setiap tarian kunikmati tak berdaya // hingga hentakan bahu melenggangkan tak // menggemulaikan rasa // hingga tari guel kian tak bernyawa// ….”. Merupakan salah satu penggambaran seni tari guel dalam puisi tersebut mulai dari penjelasan, gerakan, pakaian yang digunakan dan nilai filosofi yang terdapat di dalamnya. Bahkan sampai kepada kondisi tari guel itu sendiri saat ini bagaimana keandaan dan posisinya dalam masyarakat, sampai menyebutnya hingga tari guel kian tak bernyawa.
Sebagai inti dari dalam antologi tersebut juga dijadikan sebagai judul buku “White Orchids Gayo Soil” Anggrek putih tanah Gayo yang merupakan penggambaran keindahan alam “anggrek putih tanah gayo // tangkai // sejengkal // ruas // buluh // tangkai // putih // sekuncup // puji di ujung hidung // pesona di alis mata // belatilah di ujung jari” secara visual memiliki keindahan dipandang dan memiliki arti penting dalam kehidupan sebagai pembelajaran hidup agar berguna untuk orang lain.
Begitu juga dengan puisi-puisi lainnya ada berisi tentang biografi tokoh masyarakat, kritikan terhadap pemerintah, penggambaran alam dan mengungkapkan nilai budaya. Suatu nilai estetik yang dapat diambil dari puisi Salman Yoga, diksi yang digunakan selain penuh makna yang membias setiap baitnya beberapa diksi mempertahankan lokalitas ke-Gayo-an Nya. Tentunya nilai ini susah untuk pencapaiannnya dalam pembuatan karya sastra agar dapat dipahami secara umum. Banyak nilai budaya petatah-petitih atau pepatah Gayo dijadikan sebagai alternatif diksi dalam puisi tersebut. Inilah menjadi kekayaan karya sastra sekaligus sebagai identitas penyair Salman Yoga. S yang karyanya telah dimuat secara nasional maupun internasional, namun nilai ke-Gayo-an Nya tidak pernah ditinggalkan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan menginspirasi generasi muda dalam penulisan karya sasrtra. Berijin, Salah Literasi
*Dosen ISBI Aceh, Koordinator FAM Indonesia Wilayah Aceh, Wartawan LitasGayo.co, dan Ketua Umum Gerakan Literasi Sekolah SMKN 1 Mesjid Raya