Suatu Kajian Filsafat Manusia dan Pendidikan (Bagian 1)

oleh

“Hakikat Moral dan Pendidikan Bermartabat”

(Joni MN)

Pendahuluan

Tidak bisa dinapikan lagi bahwa masyarakat sekarang sudah mengambil suatu kebiasaan barat yang tidak sesuai dengan pola atau prinsip budaya bangsa kita. Mereka terpengaruh dengan kebiasaan yang buruk melalui media elektronik seperti; life style atau gaya hidup yang serba lebih ke modern-modernan/ sok kebarat-baratan dan euphoria untuk hal yang negatif lainnya. Perkembangan teknologi dan budaya membuat sebagian orang di Indonesia menyalah-gunakan alat tersebut untuk berbagai kemauan, yakni terserah kepada kehendak mereka sendiri tampa memikirkan dampak buruknya ke depan. Seharusnya ada baiknya kita bisa memilih dan memilah bagaimana budaya, teknologi dan lain sebagainya itu dapat memberi kontribusi yang bermanfaat bagi kita dan orang lain. Tidak terkontrolnya penggunaan peralatan tekhnologi ini dan mudahnya menyerap kebiasaan-kebiasaan yang bertentangan dengan keberadaban kita yang bersumber dari barat, seolah-olah tidak hebat jika tidak berpenampilan/ berprilaku kebarat-baratan, inilah penyebab sakitnya kondisi pendidikan di Indonesia dan rusaknya moral para generasi kita saat ini.

Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan pasti akan melihat dan  menyadari bahwa pendidikan kita sampai saat ini sedang mengalami “demam tinggi” bak sedang di musim panca roba yang tidak terkontrol akhirnya “sakit”. Dunia pendidikan yang sakit ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak demikian dan malah berbanding terbalik. Seringkali kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada, sehingga proses tersebut hanya menimbulkan kegersangan dalam berinovasi dan berkreasi, karena, pertama, pendidikan di Indonesia masih memproduksi “manusia robot”. Saya katakan demikian karena dalam proses pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah atau tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif) atau lebih mengedepankan kecerdasan kognitif dibanding kecerdasan spiritual, akibatnya manusia-manusianya mudah diremot dan perbuatannya dengan perkataannya sering tidak sesuai (hypocrites). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi bahkan terjadinya dichotomy.  

Kedua, sistem pendidikan yang masih mengkiblati istilah Paula Freire (tokoh pendidik Amerika Latin), yakni pendidikan yang bergaya “bank” atau sistem “top down”. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan peserta didik karena peserta didik dianggap sebagai manusia yang tidak tahu apa-apa, pengajar sering menggunakan ungkapan-ungkapan yang bersifat “sarkatisme” yang merasa dirinya di posisi lebih berkuasa, merasa berada di atas, sehingga akibatnya para peserta didik berpikiran lebih baik diam dan mengikut saja daripada malu dan sakit hati. Ketiga, model pendidikan yang diorientasikan hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya.

Tujuan pendidikan

Tujuan pendidikan yaitu untuk menumbuhkan kembangkan pola kepribadian manusia yang bulat melalui latihan kejiwaan, kecerdasan spiritual, kecerdasan otak, penalaran, perasaan dan indra dan memanusiakan manusia bukan malah menyamakan definisi manusia dengan hewan seperti argument dari para pakar saat ini yang menyatakan bahwa “manusia adalah sebangsa hewan yang berakal” ini pernyataannya, tetapi jika si pakar tersebut dikatakan atau dipanggil hewan (binatang) ia malah marah dan tersinggung. Hal ini sangat tidak sesuai dengan hakikat manusia yang sebenarnya. Pendidikan harus melayani pertumbuhan manusia dalam semua aspeknya, lebih-lebih aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah, maupun bahasanya (Secara perorangan maupun secara berkelompok) dan harus mampu membedakan yang mana manusia dan yang mana hewan secara kafah. Di sisi lain, sampai saat ini, isu pendidikan masih mendapat perhatian yang sangat besar dari masyarakat bukan karena kualitasnya tetapi karena ketidak-sesuaiannya hakikat dan fitrah yang diinginkan oleh manusianya.

Pengertian Pendidikan

Makna pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaannya. Dengan demikian, bagaimanapun sederhananya peradaban suatu masyarakat, di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan. Karena itulah sering dinyatakan pendidikan telah ada sepanjang peradaban umat manusia, yakni sejak Nabi Adam dan Hawa turun ke dunia. 

Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha manusia melestarikan hidupnya sebagai manusia yang hakiki. Pendidikan menurut pengertian Yunani adalah “pedagogik” yaitu ilmu menuntun anak, orang Romawi memandang pendidikan sebagai “educare”, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa dilahirkan di dunia. Usaha dalam proses pendidikan murni usaha untuk memanusiakan manusia bukan sebalikya dan juga bukan “proyek”. Pendidikan adalah usaha sadar manusia untuk mengisi kebaikan di dalam hatinya, karena semuanya itu terletak pada hati manusianya, jika kotor hati maka kotorlah semuanya terutama pikiran, niat, asumsi/ anggapan, dan ide-ide manusia tersebut. hakikat nilai-nilai pendidikan yang sangat menentukan adalah kebaikan dan kebersiha hati.

Manusia Mahluk Berbudaya

Manusia memiliki inisiatif dan kreatif dalam menciptakan kebudayaan, hidup berbudaya dan  lebur dalam budaya yang mereka yakini. Kebudayaan bukan sesuatu yang ada diluar manusia, bahkan hakikatnya meliputi perbuatan manusia itu sendiri. Manusia tidak terlepas dari kebudayaan, bahkan manusa itu baru menjadi manusia karena dan bersama kebudayaan. Kebudayaan memiliki fungsi positif bagi kemungkinan eksistensi manusia, namun demikian apabila manusia kurang bijaksana dalam mengembangkannya, kebudayaan pun dapat menimbulkan kekuatan-kekuatan yang mengancam eksistensi manusia.

Pembahasan

Hakikat manusia adalah seperangkat gagasan atau konsep yang mendasar tentang manusia dan makna eksistansi manusia di dunia. Pengertian hakikat manusia berkenaan dengan “prinsip adanya” (principe de’detre) manusia. Dengan kata lain, pengertian hakikat manusia adalah sprangkat gagasan tentang “sesuatu yang olehnya” manusia menjadi apa yang terwujud, “sesuatu yang olehnya” manusia memiliki karakteristik yang khas, “sesuatu yang olehnya” ia merupakan sebuah nilai yang unik, yang memiliki sesuatu martabat khsusus”(Luois Leahy, 1958). Jadi, pada dasarnya manusia sudah memiliki martabat dan modal dasar pengetahuan untuk dapat dikembangkan.

Pendidikan merupakan upaya memanusiakan manusia atau upaya membantu manusia agar mampu mewujudkan diri sesuai dengan karakteristiknya masing-masing dan usaha sadar untuk membersihkan hati dari noda-noda yang hina atau bernazis. Pendidikan adalah masalah yang sangat penting bahkan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan, terutama pada zaman yang semakin canggih ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat dunia semakin sempit. “Istilah pendidikan berkenaan dengan fungsi yang luas dari pemeliharaan dan perbaikan kehidupan suatu bangsa (masyarakat) terutama membawa warga masyarakat yang baru (generasi muda) bagi penunaian kewajiban dan tanggung jawabnya di dalam masyarakat. Jadi pendidikan adalah suatu proses yang lebih luas bukan hanya proses yang berlangsung di dalam tempat yang formal saja. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Kesimpulan

Kebaikan dan kebersihan hati sangat menentukan peradaban. Peradaban erat kaitannya dengan kebudayaan. Kebudayaan pada hakikatnya adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kemampuan cipta (akal) manusia menghasilkan ilmu pengetahuan  yang berdasarkan atas terbebasnya hati dari nazis. Manusia sebagai mahluk beradab artinya pribadi manusia itu memiliki potensi untuk berlaku sopan, berakhlak, dan berbudi pekerti yang luhur. Sopan, berahlak, berbudi pekerti yang luhur menunjukan pada perilaku manusia dan menandakan bahwa manusia tersebut adalah manusia yang berpendidikan. Kaelan (2002) menyatakan bahwa manusia yang beradab adalah manusia yang mampu melaksanakan hakikatnya sebagai manusia. Kebalikanya adalah manusia yang biadab adalah manusia yang tidak berpendidikan dan tidak berbudaya walaupun bergelar banyak dan berkedudukan tinggi.[]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.