Oleh : Bustanul Irvan*
KALA ayam berkokok menandakan waktu fajar tiba, embun jatuh laksana mutiara menerpa bumi yang gersang disalup malam. Kerasnya suara ayam yang berkokok pada pagi itu membangunkan Zakaria yang sedang terlelap, sontak ia bangun menghadap Ilahi telah tiba. Bergegas ia menuju kamar belakang untuk membasuh diri dengar air suci, ia menghadap Ilahi dengan membentangkan sajadah.
Seperti biasa untuk menghadap Yang Maha Kuasa, kepalanya mulai tertunduk lesu, dengan bibir bergerak kecil ditambah menengadah tangan ke atas, sepertinya ia sedang bermunajah pada Tuhan-nya.
Setelah selesai melaksankan kewajiban ia mulai melakukan aktifitasnya sehari-sehari, dimulai dari tempat tinggalnya membersihkan kamar, memasak nasi untuk sarapan pagi. Maklum ia masih sendiri belum punya istri atau penawar hati. Dengan mandiri ia mengerjakan semua, untuk bisa berangkat mencari nafkah agar dapat bertahan hidup di kota. Setelah menikmati sesuap makanan ia mulai berangkat menuju tepi pantai yang sedikit jauh dari tempat tinggalnya, ia bekerja pada industri pembuatan ikan asin.
Dengan gigih dan rajin ia bekerja sehingga pemilik industri merasa puas dan bangga padanya. Pada suatu hari batinnya meronta mengingat jalan hidup yang tak seperti yang diharapkan, ia mencoba berpikir untuk mengubah nasib agar mendapat pekerjaan yang layak dan mendapatkan upah yang memuaskan. Pekerjaan yang berat dan upah yang tidak seperti yang diharapkan.
Hingga suatu hari setelah Idul Fitri ia mencoba mendengar saran dari kawan yang ingin mengajaknya merantau di sebuah kota yang jauh dari kampung halaman. Ia berharap dapat mengubah nasibnya menjadi lebih baik dan dapat memberikan kebahagiaan kepada orang-orang yang ia sayangi.
****
Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat menengah atas ia tak mampu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, salah satu alasanya himpitan ekonomi yang melandakan keluarganya. Dia harus menguras tenaga dan pikirannya untuk membantu meringankan beban keluarganya. Hingga suatu hari ia memutuskan untuk meninggalkan kampung halamannya dan meninggalkan pekerjaan yang selama ini ia geluti, ia berharap ada pekerjaaan yang lebih layak dan upah yang besar. Sesampai di kota tak ada tempat untuk ia singgahi, ia pun menumpang pada tempat kawannya.
Setelah beberapa hari, ia mendapat pekerjaan namun pekerjaan ia jauh lebih buruk dari pekerjaan sebelumnya. Dimana ia bekerja pada dinas kebersihan dan pertamanan kota di bagian pengutipan sampah dengan gaji 1 juta rupiah. Setiap paginya ia bangun dikala ayam belum berkokok dikala azan belum berkumandang, namun ia sudah bergegas mengangkat tong-tong yang berisi sampah yang bau busuk membersihkan setiap sudat kota sebelum orang terjaga.
****
Persoalan sampah mejadi persoalan yang paling pelik di kota-kota besar dan selalu menjadi momok bagi pemerintah kota, dalam satu hari terkadang ia harus mengutip ribuan tong sampah yang berceceran di pinggir jalan di ruas kota. Di kota-kota besar seperti kota Banda Aceh penanganan sampah sangat diprioritaskan, karena jika kota bersih akan berdampak pada ekonomi yang baik. Banda Aceh yang diusung menjadi model kota madani menerjunkan ratusan pasukannya untuk menbersihkan setiap sudut dan menata rapi sampah-sampah yang berceceran.
Terlebih lagi Banda Aceh sedang mempromosikan diri menjadi Destinasi Kota Wisata Islami, tentu dengan selogan “Orang Bijak Tidak Buang Sampah Sembarangan”, terus menyadarkan masyarakatnya untuk menjaga kebersihan agar kebersihan tercipta. Namun tidak semua masyarakat sadar akan hal demikian sehingga pemerintah harus memiliki petugas dinas kebersihan.
Sebagai Ibu Kota Provinsi, Kota Banda Aceh harus mampu mencerminkan Aceh sebagai tanah rencong yang bergelar Serambi Mekah. Karena setiap provinsi akan dilihat dari wajah ibu kotanya bila baik kota itu maka baiklah provinsinya.
****
Kembali kecerita tadi, hari-hari ia merasakan nuansa merantau dan merasakan jauh dari keluarga membuat ia sedikit mengeluh, ditambah lagi pekerjaan yang ia lakukan belum menghasikan pendapatan sehingga ia harus menghemat berkali-kali lipat. Terkadang ia hanya menikmati sepiring makan 1 kali dalam waktu 24 jam. Berat namun itu harus dipertanggung jawabkan, ia ingin menunjukan kepada orang tua bahwa ia benar-benar mencari kesuksesan.
Pada awal mulanya ia tidak menyangka bahwa nasibnya akan seperti ini, hari-hari sebuah mobil yang terbuka belakangnya mengangkut berton-ton barang busuk menjadi kendaraannya menyusuri ruas kota. Dan saat-saat seperti ini dia seakan tak tertahankan melihar keadaan yang tak seperti ia harapkan, bau sampah yang menyengat waktu kerja yang terlalu awal, terkadang panasnya keadaan disaat siang, membuat ia jenuh dan merasa prustasi. Mau tidak mau harus ia jalani.
Terlihat dari kejauhan dengan pakaian yang seadanya dengan sapu di tangan kanan, sekop di tangan kirinya setapak demi setapak ia mulai membersihkan jalan-jalan diruas kota. Lelaki muda itu yang belakangan diketahui namanya Zakaria menjadi pahlawan kota Banda Aceh dengan tangannya setiap hari membersihkan sampah diruas kota.
Suatu ketika orang tuanya di kampung memintanya mengirim uang, namun keterbatasannya tidak mampu memenuhi mereka karena upah yang didapatkan hanya cukup untuk makan sehari-hari. Rasa kecewa membalut qalbunya merasa bersalah tidak mampu memenuhi keinginan orang tuanya.
****
Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan namun nasib belum berubah seperti yang diharapkan, hanya kesedihan siang dan malam menimpa. Pada akhirnya terselip dalam benaknya untuk kembali ke kampung halaman, namun sebelum ia memutuskan untuk bertahan beberapa saat sebelum memutuskan.
Entah darimana ia kembali bersemangat untuk melanjutkan pekerjaannya yang menguras keringat, pagi itu kembali bangun tidur yang lelap menuju kantor Dinas Kebersihan untuk naik ke mobil bak sebagai tumpangan setiap hari. Pagi itu terasa berbeda dari hari biasanya, jiwaku yang tegar kini terasa lemah, semangat pun menurun.
Bulan Ramadhan menjadi bulan terakhir baginya untuk mencurahkan tenaganya bagi kebersihan kota Banda Aceh dan tak ia sangka sekaligus itu menjadi Ramadhan terakhir baginya. Ketika hendak kembali ke kampung halamannya terlebih dahulu ia mampir di tempat ia bekerja selama ini, seakan ia merasakan bahwa Ramadhan terakhir baginya. Kala hari itu 27 Ramadhan ia memutuskan kembali ke kampung halamannya dengan rupiah pas-pasan.
Dalam perjalanan ia mengalami kecelakaan, kendaraan yang ia tumpangi mengalami kecelakaan dan malaikat maut pun datang menjemputnya. Ia tak dapat kembali lagi ke kampung halaman dengan membawa secuil kebahagiaan, namun justru kabar duka yang sampai. Sentak seluruh keluarga kaget dan tak percaya akan kejadian harus kehilangan Zakaria selama-lamanya.
Bagiku kehilangan teman yang penuh perjuangan ini sungguh mengiris hati, tak bisa kubayangkan bila ini menimpa padaku. Pelajaran sangat berharga dari kisah ini pergi meninggalkan orang tua demi mencari pundi-pundi rupiah, namun hanya jasad tak bernyawa kembali kehadapan orang tuanya.
Aku yang sedang merantau di kota madani, namun tujuanku berbeda dengan Zakaria, aku melanjutkan pendidikan. Takkan kusia-siakan waktu yang ada demi merajut asa demi memperoleh masa depan yang cerah. Kisah sahabatku tadi menjadi pelajaran penting bagiku dalam menjalankan roda kehidupan.[SY]
Bustanul Irvan, lahir di Lueng Putu, 19 juli 1993 desa Daboih, Kecaatan Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya. Menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry.
Tulisan di atas adalah tugas akhir semester mata kuliah “Penulisan Features” pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.