Oleh : Drs. Jamhuri Ungel, MA*

Dalam tradisi atau adat Gayo tidak terbiasa orang tua bericara secara langsung kepada anak-anak mereka baik yang laki-laki atau yang perempuan, sehingga tidak banyak anak-anak mendapatkan ilmu pengetahuan dari orang tua mereka. Orang tua (utamanya ayah) adalah sebagai simbul yang ditakuti/disegani oleh anak-anak mereka bahkan juga oleh isteri. Ayah tidak boleh dinggap atau dijadikan teman atau kawan oleh anak-anak mereka, karenanya tidak jarang bila anak-anak yang tidak bersekolah tidak memiliki pengetahuan menulis, membaca dan mengaji.
Bulan ramadhan sebagai salah satu sarana untuk belajar dan menambah ilmu pengetahuan, orang tua mengajar anak-anak dan mereka yang sudah berusia remaja untuk membaca utananya al-Qur’an dan dalam bulan ramadhan juga mereka berupaya memperbaiki bacaan yang belum benar, ini semua dilakukan di Mersah. Setelah pelaksanaan tadarus (mengaji) sambil menunggu tibanya waktu bangun sahur, ada orang tua yang memepunyai kemampuan untuk bercerita secara verbal tentang sejarah Nabi, ketauhidan, hari qiamat, dongeng dan juga sejarah budaya masyarakat, semua cerita disampaikan dalam bentuk kekeberen (penuturan secara lisan). Cerita yang disampaikan sangat menarik dengan diselingi cerita-cerita yang lucu sehingga membuat pendengar meresa tertarik dengan cerita tersebut.
Orang tua ketika berada di rumah sebagai orang yang ditakuti, sebaliknya ketika berada di Mersah menjadi teman dan sahabat berbagi bercerita, Karena di Mersah tidah hanya ada satu orang tua dan juga tidak hanya ada anak-anak mereka yang di rumah, tetai semua orang tua dan semua anak-anak berkumpul di Mersah untuk saling berbagi cerita. Ibu-ibu dan anak perempuan berada di Mersah hanya sampai selesainya shalat tarawih dan mendengar ceramah, mereka pulang kerumah masing-masing dan beristirahat sambil menunggu sampainya waktu dibangunkan untuk mempersiapkan makan sahur. Kaum laki-laki yang menunggu sahur di Mersah dan membangunkan ibu-ibu d irumah untuk mempersiapkan makan sahur dalam hitungan waku yang lebih cepat, mereka dibangunkan pada jam 3 (tiga) WIB dengan perhitungan waktu memasak selama satu jam dan makan sahaur pada jam 4 WIB. Jeda antara makan sahur dan waktu untuk shalat subuh sangat panjang dan waktu jeda ini banyak yang menggunaknnya untuk tidur, sehingga banyak diantara anak muda yang tidak ikut shalat berjamaah di Mersah dan mereka shalat ketika hari sudah terang.
Anak perempuan berbeda dengan anak laki-laki dalam mendapatkan ilmu, mereka diajar oleh ibu mereka secara langsung dengan tanpa perantara, karena dalam keluarga ibu bukanlah orang yang ditakuti atau disegani sebagaimana halnya dengan bapak. Sehingga anak perempuan bisa lebih dekat dan bisa pergi kemanapun dengan ibu, dengan sendirinya ibu dapat mengajar anak perempuannya secara langsung terlebih ilmu tentang kehidupan sebagai perempuan dan anak perempuan juga bila melihat dan belajar dari ibunya tentang hal=hal yang dibutuhkan oleh perempuan dalam menuju masa depan mereka. Tidak ada anak perempuan dalam masyarakat Gayo yang tidak pandai memasak karena mereka selalu membantu ibu mereka memasak, tidak ada juga perempuan Gayo yang tidak bisa menganyam (nayu) tikar, karena semua mereka belajar dari ibu mereka. Demikian juga halnya dengan tata cara pelaksanaan ibadah seperti berwudhuk, bersuci dari hadas karena anak perempuan tidak ada halangan bila pergi bersama ibunya ketempat pemandian. Bahkan untuk anak laki-laki yang belum mumayyiz lebih banyak menggunakan tempat pemandian perempaun dari pada pemandian laki-laki, hal ini juga karena kedekatan anak laki-laki dan perempuan dengan ibunya.
Kedekatan masyarakat dengan mersah bukan hanya karena mersah itu sebagai tempat ibadah tetapi lebih dari itu mersah dimenjadikan pusat dan tempat segala kegiatan kemasyarakatan. Mersah sebagai pusat informasi, dimana semua informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat diumumkan melalui meresa, tentang gotong royong, kematian atau juga rapat-rapat desa dan apabila terjadi persengketaan tentang batasan tanah (peruluken), sengketa tentang air sawah, ternak yang masuk dan merusak tanaman seseorang, semua ini diselesaikan di mersah. Jadi dalam hal ini mersah pada dasarnya juga menjadi lembaga peradilan dengan susunan personil semua aparat kampong. Dan hasil penyelesaian peradilan mersah ini hampir seluruhnya berakhir dengan berdamainya para pihak.
Bagi anak-anak mersah bukan hanya tempat melatih diri atau berlajar untuk shalat tetapi juga sebagai tempat untuk bermain, banyak permainan yang bisa mereka mainkan di mersah karena mersah memiliki konstrusi yang menyiapkan tempat untuk bermainnya anak-anak. Seperti mersah mempunyai teras yang luas yang dipisahkan oleh pintu dengan tempat shalat dan mempunyai halaman yang luas yang bisa digunakan oleh masyarakat untuk berbagai macam permainan, seperti main bola volli untuk para remaja. Para orang tua tidak pernah melarang anak-anak untuk bermain di mersah asal jangan ditempat shalat, bahkan tidak jarang kita melihat dinding mersah dijadikan tempat belajar menulis oleh anak-anak, dengan alat tulis dari sisa kayu bakar (arang) yang berwarna hitam atau juga dengan tanah dan batu. []