Hikayat Haramnya Babi

oleh
ilustrasi foto panjimas.com

Oleh: Ali Abubakar

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (QS al-A`raf: 179)

Ali AbubakarMENGAPA babi haram bagi umat Islam? Ini kelihatannya penting karena umat Islam, walaupun ia  seorang pendosa, begitu peduli dengan larangan ini, sehingga babi cenderung amat dibenci. Allah sendiri menyebutnya sampai 3 kali di dalam Al-Qur’an (2:173; 5:3; 16:115). Banyak ulama modern mencoba mencari jawabannya dengan meneliti kandungan bahan tertentu di dalam daging babi itu  yang kemungkinan ada hubungannya dengan efek negatif pada kesehatan manusia. Salah satu jawabannya adalah karena di dalam daging babi terdapat benih cacing pita yang berbahaya, sehingga kalau ia dimakan dikhawatirkan akan mencelakai manusia. Tetapi ini tetap saja tidak dapat menjawab persoalan keharaman babi, karena dalam logika metodologi hukum Islam (usul fikih), babi diharamkan secara mutlak; bukan karena sebab tertentu. Jadi kalaupun babi diproses dengan cara tertentu atau disucihamakan sebaik apapun sehingga bersih dari bahan berbahaya, tetap saja haram. Dalam hukum Islam, kasus seperti ini termasuk bagian ajaran yang tidak rasional (ghayr ma`qulil ma`na), sebagai lawan dari ajaran Islam yang rasional (ma`qulul ma`na). Kurang lebih sama dengan kasus tidak terlogiskan shalat subuh 2 rakaat sementara zuhur 4 rakaat; sunat subuh 2 rakaat sementara total sunat zuhur adalah 8 rakaat. Padahal saat kita segar adalah pagi hari, sementara siang hari kita kacapaian. Tidak ada jawaban mengapa subuh 2 dan zuhur 4 rakaat. Tidak juga dapat diganti; 4 rakaat untuk subuh dan 2 rakaat untuk zuhur. Keharaman babi masuk kategori tidak rasional ini. Tapi ini tentu saja alasan akademik-ilmiah yang hanya berusaha dipahami kalangan akademisi.

Lalu bagaimana menjelaskan penyebab babi haram kepada masyarakat awam? Ulama Melayu klasik menyelesaikannya dengan hikayat “asal mula babi haram”. Alkisah, di sebuah desa hiduplah seorang ulama yang dikenal alim oleh masyarakatnya. Semua urusan agama masyarakat ia tangani sendiri; mulai dari akikah, khitan, ritual perkawinan, mengimami shalat, memungut zakat dan segudang urusan agama lainnya.  Ia bertindak sebagai pengetok palu sah tidaknya ibadah seorang pengamal ajaran agama, sehingga ia benar-benar menjadi rujukan. Ironisnya, semua zakat dan sedekah umat dibayarkan melalui dia dan ia gunakan sendiri untuk kebutuhannya.

Pada suatu sore, ia didatangi oleh seorang janda miskin yang membawa sebungkus keladi rebus. Ia ingin bersedekah kepada ulama itu seperti orang lain karena ulama itu selalu mengingatkan bahwa bersedekah dapat mendekatkan diri kepada Allah. Namun janda tua itu harus  kecewa karena sedekah keladinya ditolak oleh ulama itu karena,  katanya, sedekah keladi tidak diterima oleh Allah. Bahkan ulama itu memarahinya karena dianggap menghina ulama dengan keladinya. Keladi itu dilemparkannya ke atap rumah di depan mata si janda, sementara wanita itu harus pulang sambil menangis sedih. Merasa ia tidak akan dapat dekat dengan Allah karena tidak mampu bersedekah lebih baik dari keladi rebus. Kemiskinan ternyata juga menjauhkan orang dari Allah, pikirnya.

Ketika malam tiba, ulama itu mengambil tangga dan memanjat atap rumahnya. Mengambil keladi itu dan memakannya dengan lahap. Ternyata nikmat, katanya. Laknat Allah datang. Sejak itu sang ulama berubah menjadi babi. Karena itulah babi haram dimakan; karena asalnya adalah seorang ulama yang dilaknat Allah. Karena itu juga, makanan favorit babi adalah semua jenis keladi. Tamat.

Kisah-kisah asal-usul binatang dalam versi beragam banyak ditemukan dalam sastra lisan (folklor) dan tulisan Melayu dan itu dijumpai hingga kini dalam masyarakat. Kisah umat yang menjadi hewan secara fisik karena keingkaran bukan cuma ada di dalam cerita rakyat saja. Alquran sendiri menyitirnya dalam beberapa ayat. Salah satu bentuk kutukan dan murka Allah atas orang-orang fasik adalah dijadikanNya mereka kera atau babi (Al Maidah 60). Orang-orang Yahudi yang melanggar larangan melaut pada hari Sabtu dijadikan kera (Al Baqarah (2):65 dan Al A`raf 166).

Tentu saja, inti kisah atau kasus “pembinatangan” manusia tidak dapat dimaknai  sebagai cerita asal muasal binatang saja. Alquran mengungkapkannya sebagai peringatan dan ancaman atas prilaku kefasikan, sementara hikayat Melayu mengungkapkan pesan moral yang amat berharga. Bahwa pada tiap generasi, selalu ada orang yang bersifat seperti hewan, tidak terkecuali orang itu mendapat sebutan ulama. Bahkan, eksisnya jiwa kebinatangan dalam fisik manusia juga disitir dengan jelas di dalam Alquran. Misalnya, para pembangkang agama disebut sebagai hewan ternak (7:179) atau, lebih spesifik, keledai (62:5). Karena itu, Al Ghazali mengungkapkan bahwa selain terdapat potensi  sifat ketuhanan (quwwah ilahiyah), pada manusia juga ada potensi sifat kebinatangan (quwwah bahimiyah).

Dalam literatur sufi diceritakan tentang Abu Yazid al Bustami (w. 874M).  Disebutkan bahwa sufi ini mengajak murid-muridnya melakukan tawaf. Kemudian ia bertanya kepada murid-muridnya tentang jumlah orang yang ikut tawaf bersama mereka. Sebagian besar muridnya menjawab bahwa jumlah mereka sangat banyak. Abu Yazid membantahnya; ia menyatakan jumlah mereka hanya beberapa orang saja. Kebanyakan orang yang tawaf itu hanya fisiknya saja yang manusia, sementara batinnya berbentuk binatang; ada yang berbentuk harimau (haus kekuasaan), ular (licik), babi (tamak) dan lain-lain. Karena itu, tawaf mereka tidak diterima oleh Allah. Untuk kasus ibadah yang tidak diterima Allah, dalam hadis juga dikemukakan sikap Nabi terhadap seorang muslim yang berdoa sambil menangis meraung-raung. Ketika sahabatnya bertanya apakah doa orang tersebut  diterima, Nabi menjawab “tidak, karena hatinya tidak suci; hatinya perutnya penuh dengan makanan haram.”  Kisah dan hadis ini mengungkapkan  bahwa banyak di antara orang yang beribadah, berfisik orang saleh, tapi  ternyata berjiwa bahimiyah. Karena itu penting melihat orang dari aspek kondisi hati (kalbu)nya yang tercermin dalam  prilakunya, bukan ibadah formal yang bisa jadi sarat dengan berbagai kontaminasi (Catatan: beberapa bagian dari tulisan ini pernah diterbitkan di Bengkulu Ekspress, Februari 2006).

Allah tidak melihat kepada penampilan dan harta kamu. Allah hanya melihat kepada hati dan amal kamu (HR Muslim)

— 

Ali Abubakar Aman Nabila adalah dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh. email: aliamannabila@yahoo.co.id

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.