Edet Mupikir, Hukum Mutekebir

oleh

Oleh: Ali Abubakar (Aman Nabila)-aliamannabila.71@gmail.com

BAGAIMANA hubungan “hukum” atau “ukum” dengan “edet” atau adat Gayo? Jawaban pertanyaan itulah yang menjadi inti tulisan ini. Pertanyaan ini memang masih terlalu luas. Karena itu, akan dibatasi dalam ruang lingkup yang kecil saja. Tulisan ini tidak bermaksud menguraikan teori yang demikian luas tentang hubungan hukum Islam dan hukum adat seperti yang dikemukakan  Salomon Keyzer (1823-1868) dan Lodewijk Willem Christian van den Berg (1845-1927) dengan teori Reception in Complexu,  Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) dengan teori  Receptie, Hazairin (1906-1975) dengan teori Receptie  Exit, atau Sajuti Thalib (1929-1990) dengan teori Receptio in Contrario. Tulisan sederhana ini hanya melacak keberadaanya dalam peri mestike (pepatah) Gayo.

Peri mestike  tentang hal ini ada 3 buah. Pertama, dan ini yang sangat populer, yaitu  edet mungenal ukum mubeza (adat mencari/dinamis, sedangkan hukum Islam membedakan hak dan batil). Kedua, yang menjadi judul tulisan ini, edet mupikir, ukum mutekebir (adat dari buah pikiran, hukum Islam dari Allah).  Ketiga, ukum munukum bersipet kalam, edet munukum berminsel berteleden (hukum Islam berdasarkan teks ajaran Islam, sedangkan adat harus didasarkan pada contoh-contoh yang berlaku). Tiga peri mestike ini menunjukkan dengan jelas hubungan adat dan hukum Islam dan fungsi masing-masing.

Edet mungenal ukum mubeza menunjukkan karakter adat atau hukum adat yang amat berbeda. Mungenal  secara umum bermakna “mencari”. Di sini dapat dimaknai bahwa adat (dalam bentuk yang lebih luas disebut dengan tradisi; termasuk tradisi berpikir dan peradaban) selalu bergerak sesuai dengan perkembangan waktu, tempat, kondisi, dan motivasi para mujtahid. Muhammad Iqbal (1877 1938), dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam   menyebut bahwa gerak atau dinamika adalah ciri alam semesta, termasuk manusia. Karena itu, berpikir dan produk pikiran, antara lain adat istiadat, juga akan selalu bergerak dan berkembang. Ini dikuatkan oleh  peri mestike kedua  yaitu edet mupikir; yang menguatkan bahwa adat adalah hasil pemikiran bijak para ahli adat masa lalu untuk kehidupan masyarakat Gayo.

Ini berbeda dengan karakter hukum Islam yaitu ukum mutekebir (secara harfiah berarti hukum bertakbir). Maksudnya, hukum Islam didasarkan teks suci yaitu al-Qur’an (dan hadis Nabi), bukan hasil pikiran manusia. Ini dikuatkan oleh pepatah ukum munukum bersipet kalam. Kalam yang dimaksud di ini tentu saja adalah kalamullah (Al-Qur’an). Al-Qur’an  berisi nilai-nilai universal yang diantara intinya adalah pembedaan antara nilai kebenaran dan kebatilan (ukum mubeza). Ini juga bermakna bahwa Kitab Suci umat Islam ini membedakan dengan jelas dan tegas haq dengan batil, tanpa ada kompromi antara keduanya. Jangalah kalian mencampurkan yang kebenaran dengan kebatilan; dan menyembunyikan kebenaran sementara kalian mengetahuinya (QS 2: 42).

Bahasa teks-teks al-Qur’an yang demikian tegas tidak berarti bahwa dalam implementasinya juga seluruhnya harus tegas. Ada banyak hal yang menjadi pertimbangan ketika sudah memasuki wilayah tathbiq (pelaksanaan), antara lain adalah kearifan lokal masyarakat. Al-Qur’an sendiri menyebutnya sebagai “dakwah dengan hikmat dan maw`idhah hasanah-nasehat terbaik, atau dengan jadl (diskus dan debat  ilmiah) (QS 16: 125). Inilah tampaknya yang dimaksud dengan edet munukum berminsel berteleden; mengikuti bahasa al-Qur’an yang sering menggunakan permisalan.

Uraian di atas membuktikan fungsi masing-masing yang saling melengkapi. Di satu sisi “ukum” Islam harus didasarkan pada teks-teks suci, namun_di sisi lain, pelaksanaan dan pengembanganya harus menggunakan tradisi berpikir yang demikian kuat, bersifat filosofis, dan selalu bergerak mengikut gerak semesta. Karena itu,  Muhammad Thahir Azhar dalam Negara Hukum menyatakan bahwa hukum Islam bersifat bidimensional; artinya dua dimensi yaitu ilahiah dan insaniah. Unsur ilahiah tidak akan berkembang banyak, sedangkan unsur insaniah, dalam hal ini adalah adat Gayo dalam bentuk tradisi berpikir filosofis mestinya terus berkembang. Mempertahankan adat Gayo dalam bentuk ritual dan teknis tertentu, tanpa pemahaman dan pencapaian nilai-nilai luhur seperti rancangan para ahli adat masa lalu, menunjukkan kita sudah berhenti berpikir—ciri kemanusiaan. Inilah sekelumit tulisan tentang hubungan hukum dengan adat Gayo. Masih diperlukan kajian yang lebih luas dan terus menerus. Sekali lagi, diperlukan pikiran yang terus bergerak. Cogito ergosum, aku berpikir maka aku ada (Descartes, 1596–1650). []

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.