Oleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA*

Dua kata, Ramadhan dan Mersah (menasah. Ind.) dalam masyarakat Gayo tidak dapat dipisahkan karena pada bulan Ramadahan (bulan puasa) semua kegiatan tertumpu di Mersah terlebih pada malam hari. Pada siang hari sebagai masyarakat yang menggantungkan hidup mereka kepada bertani tetap melakukan aktivitasnya sebagaimana di luar bulan ramadhan, sebagai petani di bulan ramadhan mereka mendapat kelonggaran dalam bekerja untuk jumlah jam kerja yang biasa dilakukan dari pagi hingga sore hari menguranginya menjadi setengah hari dan bentuk pekerjaan juga dibatasi pada kegiatan-kegiatan yang lebih ringan. Alasan mengurangi jam kerja karena di bulan ramadhan semua orang muslim harus berpuasa (menahan makan dan minum) tentu tenaga yang dimiliki juga berbeda dengan di bulan lain. Sedang perkerjaan yang berat-berat biasanya disiapkan sebelum menjelang bulan puasa, ditambah lagi dengan pemaksimalan amal di malam hari pada bulan ramadhan.
Pada malam hari utamanya kaum laki-laki lebih banyak menghabiskan waktunya di Mersah dengan berbagai kegiatan ibadah baik ibadah mahdah ataupup ibadah ghairu mahdah, ibadah mahdah dimulai dari shalat maghrib, isya, dan subuh berjamaah, di samping itu juga ditambah dengan shalat sunat tarawih dan witir serta sunat rawatib. Itu ibadah mahdah yang dilakukan kaum muslimin pada malam hari di bulan ramadhan, kendati sebenarnya ibadah shalat maghrib, isya, dan subuh sering dilakukan berjamaah serta sunat rawati juga sering dilakukan, namun pada bulan ramadhan volumenya ditungkatkan. Pelaksanaan ibadah mahdah ini tidak hanya dilakukan oleh mereka yang digolongkan dalam usia yang sudah matang tetapi juga dilakukan oleh mereka yang setengah baya yang pada bulan lain sangat jarang melakukan shalat berjamaah.
Untuk anak-anak yang belum baligh menjadikan mersah pada bulan ramadhan sebagai tempat bermain sambil mencontoh orang-orang tua mereka shalat, maka tidak jarang kita dengar ketika shalat sedang berlangsung suara anak-anak tertawa dan bermain sambil shalat. Hal ini dipahami oleh orang tua mereka kalau anak-anak belum diwaibkan untuk shalat sehingga kalaupun mereka dilarang untuk bermain maka larangan yang diberikan hanya sebatas memberi pemahaman kepada anak-anak bahwa bermain ketika sedang shalat itu tidak baik. Tidak jarang juga orang tua yang memarahi anak-anak dengan keras yang bermain ketika sedang shalat karena menurut mereka bermainnya anak-anak ketika sedang shalat sangat mengganggu kekhusu’an shalat mereka.
Pada tahun 1970 dan 1980-an keseragaman jumlah rakaat dalam sebuah Kampung atau mersah dianggap sangat penting, baik shalat tarawihnya 11 (sebelas) rakaat atau juga 23 (dua puluh tiga) rakaat. Tidak ada perbedaan dan perdebatan tentang jumlah rakaat pada saat itu, karena mereka hanya melakukan yang sebelas atau yang dua pulh tiga dan kita tidak pernah mendengar kalau dalam satu Kampung atau satu mersah boleh atau pernah melakukan shalat tarawih sebelas dan juga boleh atau pernah dua puluh tiga. Bukan mereka tidak tau kalau jumlah shalat tarawih itu boleh sebelas atau boleh dua puluh tiga, tetapi mereka hanya mengamalkan satu yaitu sebelas atau dua puluh tiga. Dengan pengamalan yang seperti itu pelaksanaan ibadah mereka sangat tertib, mereka memulai shalat bersama dan mengakhirinya juga bersama, mereka beshalawat dan membaca do’a bersama. Tidak ada diantara jamaah yang duduk menunggu jamaah lain sampai nanti akhirnya melakukan witir bersama.
Setelah selesai shalat tarawih secara bersama-sama, jamaah membaca do’a dan bershalawat secara bersama juga. Ketika ada seorang Tengku (pada masa ini tidak ada panggilan lain untuk Tengku, seperti Ustaz dll.) kata berceramah dan mengulas tentang puasa secara rinci dan detil semua jamaah mendengarkan, tidak ada jamaah yang pulang karena merela mengakhiri shalat mereka secara bersama-sama dan kalaupun ada yang pulang biasanya dikarekan ada alasan yang sangat penting, dan kalau yang pulang tanpa alasan mereka akan menjadi pembicaraan dan itu menjadi aib pribadi dalam masyarakat. Jamaah sangat antusias mendengarkan ceramah yang disampaikan oleh Tengku, mereka menganggap semua yang disampaikan oleh Tengku semuanya mermanfaat untuk hidup mereka di akhirat kelak, semua isi ceramah selalu berkaitan dengan kehidupan akhirat baik berupa kesenangan sebagai balasan dari semua kebaikan dalam hidup atau juga kesengsaraan sebagai balasan dari ketidak baikan ketika hidup di dunia.
Hampir tidak ada ceramah yang disampaikan oleh Tengku berkaitan dengan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan politik. Tengku lebih banyak berbicara tentang kebaikan yang harus dilakukan dan kejahatan yang yang harus ditinggalkan oleh semua orang Islam. Ketika Tengku berbicara tentang kebaikan biasanya langsung dikaitkan dengan indahnya balasa surga dan ketika berbicara tentang kejahatan terhadap diri sendiri dan orang lain sealu dikaitkan dengan pedihnya siksaan alam kubur sampai kepada siksaan api neraka. Kesenangan kehidupan di surga kelak menjadi hayalan dan harapan semua kaum muslimin, itulah kemampuan para Tengku memberi gambaran kepada jamaah pada saat itu, tidak banyak bahkan tidak ada pertanyaan dari jamaah kepada Tengku karena mereka sangat percaya dan yakin dengan kebenaran yang disampaikan, mereka juga sangat takut dengan gambaran ancaman yang dijelaskan Tengku sehingga mereka tidak berani melakukan kesalahan sekecil apapun, dan sangat membenci orang lain yang melakukan kesalahan apalagi kejahatan.
Tidak ada kesenangan yang bisa masyarakat bayangkan selain dari kesenangan yang digambarkan Tengku, juga tidak ada kesengsaraang yang bisa dibayangkan oleh jamaah selain dari kesengsaraan yang digambarkan oleh Tengku, karena tidak ada informasi lain yang bisa menandingi apa yang mereka dapat dari Tengku, pada saat itu mereka tidak pernah melihat aanya kemewahan selain dari yang mereka rasakan dan tidak ada kesengsaraan yang lebih selain dari kesengsaraan yang mereka rasakan. Itulah yang membuat mereka sangat mantap dalam mendapatkan ilmu ketika mereka berada di Mersah pada bulan ramadhan, dan itu juga yang memotivasi mereka untuk selalu berbuat baik dalam kehidupan pada bulan ramadhan dan juga setelah itu.
*Dosen Pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh