Mengenal Ulama dari Pengajarannya

oleh

 

Oleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA[*]

Ulama_ilustrasi_almuflihundotcomKATA ulama berasal dari kata ilmu, dengan isim fail (pelaku) ‘Alim artinya ilmuan. Jadi Ulama adalah para ilmuan, namun dalam perkembangan  maknanya dibatasi kepada orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan khusus yaitu ilmu pengetahuan “agama”. Mereka yang memiliki ilmu pengetahuan yang bukan ilmu pengetahuan “agama” dikelompokkan kepada bukan ulama, sehingga muncul keritikan terhadap pengertian di atas, sebagian melihatnya akan lebih bijak bila definisi ulama dilihat dari sisi keilmuan seseorang, artinya mereka yang muslim apabila memiliki ilmu yang banyak tidak hanya ilmu agama dapat  dikatakan dengan ulama, dan sebaliknya mereka yang muslim yang tidak memiliki ilmu yang banyak tidak dikelompokkan sebagai ulama, dan orang non muslim kendati sebagai ilmuan maka tidaklah dapat dikatakan dengan ulama karena mereka bukan seorang muslim. Jadi tidak ada pembatasan untuk mengartikan seseorang menjadi ulama sesuai denga makna dasarnya adalah ilmuan. Namun dalam perjalanannya tidak bisa dihndari kalau makna ulama itu hanya diberikan kepada mereka yang hanya memiliki makna agama dan mereka yang memiliki ilmu yang bukan agama dikatakan dengan ilmuan.

Dikotomi antara ilmu umum (non agama) dan ilmu agama ini sudah lama berkembang dalam peta keilmuan manusia dan tidak hanya dikalangan muslim tetapi juga diluar Islam. Upaya untuk menghilangkan dikotomi telah terjadi sejak lama tetapi sampai saat ini belum terjadi perubahan dan wacana ini belum bisa diterima oleh semua orang, terlebih dikalangan orang-orang yang memiliki kepanatikan yang sangat kuat terhadap pengetahuan keagamaan, ditambah lagi dengan anggapan bahwa hal-hal yang berhubungan dengan agama identik dengan kebenaran dan hal-hal selain  agama identik dengan kejahatan. Apalagi apabila dihubungkan dengan adanya dua alam dunia dan akhirat, ilmu agama lebih dikaitkan dengan masalah ukhrawi dan ilmu umum dihubungkan  dengan masalah duniawi.

Ulama klasik (ulama mazhab) membagi ilmu yang berhubungan dengan perbuatan muslim kepada empat (rubu’), yaitu ibadah, mu’amalah, munakahat dan jinayah. Pembagian seperti ini dilakukan oleh mazhab Syafi’I dengan alasan (logika) “pentingnya”. Artinya menurut mazhab Syafi’I masalah ibadah lebih penting daripada mu’amalah dan mu’amalah lebih penting dari munakahat karena mu’amalah lebih mendukung terhadap sempurnanya ibadah dan kalau mu’amalah sudah baik maka dianjurkan melakukan pernikahan sehingga bab nikah diletakkan pada bagian sesudah mu’amalah dan selanjutnya setelah munakahat diletakkan bab jinayah.

Pengelompokan bab-bab kitab fiqh sebagaimana dikelompokkan mazhab Syafi’I berbeda dengan mazhab Maliki, kalau mazhab Syafi’I menjadikan “penting” sebagai pertimbangan maka mazhab Maliki menjadikan nilai “taqarrub” sebagai dasar pengurutan. Maka urutannya adalah: ibadah, munakahat, mu’amalah dan jinayah. Peletakan ibadah sebagai urutan nomor satu merupakan kesepakatan dikalangan ulama, karena bila dari sudut apapun maka ibadah tetap lebih penting dari bab-bab lain dan ibadah juga sebagai sarana taqarrub kepada Allah melebihi dari sarana-sarana lain, malah bab-bab lain mesti dijadikan sebagai perbuatan ibadah dengan cara niat atau dengan cara penggalian hukum dari al-Qur’an dan hadis untuk selanjutnya hukum tersebut diletakkan kepada perbuatan yang akan dilakukan, setelah itu baru perbuatan tersebut menjadi perbuatan hukum yang bernilai ibadah. Karena mazhab Maliki menjadikan taqarrub sebagai dasar pengutamaan pengurutan maka setelah babibadah diletakkan bab munakahat dan sesudah itu baru mu’amalah dan jinayah.

Pemahaman ulama tentang pengelompokan perbuatan manusia terlihat sangat sempurna, tanpa ada perbuatan yang tidak bisa dimasukkan kedalam kelompok tersebut. Bila ada perbuatan yang tidak bisa dimasukkan kedalam salah satu perbuatan atau harus dimasukkan kedalam semua kelompok yang telah disebutkan maka ulama tidak memasukkannya, seperti bab siyasah. Bab ini tidak ditemukan di dalam bab-bab kitab fiqh, karena mnurut hasil kajian ulam modern bahwa bab siyasah ini ada dalam semua bab. Untuk itu kita perlu mengerti terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan siyasah, menurut ulama definisi siyasah adalah keterlibatan pemerintah dalam semua kasus atau bab fiqh.

Kehidupan modern sekarang ini menyebabkan semua orang harus berada atau tidak mungkin hidup tidak di dalam lingkup siyasah, hampir tidak ada satu kegiatanpun yang dilakukan oleh manusia terlepas dari peran pemerintah, baik itu ibadah dalam segala pembagian dan aspeknya, mu’amalah dalam semua pembagian dan aspeknya, munakahat dalam semua pembagian dan aspeknya sampai kepada semua kejahatan yang dilakukan tidak bisa lepas dari peran pemerintah dalam menentukan seseorang itu berbuat kejahatan atau tidak.

Itulah materi-materi fiqh yang telah disusun oleh ulama mazhab di dalam kitab-kitab mereka masing-masing, mereka menyusus kitab-kitab mereka dengan susunan yang konsisten berdasarkan pola piker yang mereka letakkan dari awal, Safi’I menyusun berdasarkan pentingnya bagian-bagian fiqh sedangkan Maliki menyusunnya berdasarkan nilai ketaqarruban dari masing-masing bab, buku yang ditulis sangat tebal, berjilid-jilid dan berdalil sehingga memberi keyakinan kepada para pembaca akan kebenarannya. Dan itulah satu alasan yang membuat ulama sesudah mereka tidak berani berijtihad disamping juga dan munculnya priode taklid dalam perkembangan fiqh.

Apakah karena banyaknya materi fiqh yang dibahas dan ditulis di dalam kitab-kitab fiqh atau karena singkatnya waktu untuk mengajarkannya kepada murid-murid atau masyarakat sehingga pembelajaran tentang semua bab fiqh  tidak pernah selesai untuk diajarkan. Pada akhirnya muncullah pembatasan pengetahuan dan pembatasan pemahaman tentang ilmu fiqh (agama) hanya pada bab-bab tertentu sesuai dengan apa yang diajarkan oleh guru dan keterbatasan kitab yang mereka baca.

Keterbatasan ilmu yang dimiliki seseorang ulama (ilmuan) akan terlihat dari pendapat yang diberikan dan penjelasan dari jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan, demikian juga dengan hukum yang dilahirkan melalui pendapat mereka. Kebanyak dari pendapat yang diberikan akan melahirkan hukum taklifi (wajib, sunat, mubah, makruh dan haram) dan hampir tidak pernah melahirkan hukum wadh’iyah (sebab, syarat, mani’, azimah, rukhshah, shah, batal dan fasad) apalagi berbicara tentang hak dan kewajiban. Hukum taklifi lebih tegas dan jelas dipahami dalam bab ibadah dengan dalil hukum yang jelas dan juga dengan hukum pebuatan yang jelas, sehingga tidak begitu sulit dalam memahaminya dan juga tidak sulit juga memberi tahunya kepada mereka yang belajar dan masyarakat yang melaksanakannya. Sedangkan bidang mu’amalah dan munakahat lebih banyak berbicara tentang hukum wadh’i kendati tidak bisa menghindari adanya hukum taklifi, hukum yang lahir dari bab ini tidak begitu tegas dan lebih longgar.

Belum banyak ulama kita sekarang ini berbicara tentang hukum wadh’i dari sebuah dalil dan hukum wadh’i dari perbuatan didalam membahas hukum fiqh kasik dan hukum fiqh modern, sehingga sulit membuktikan akan pentingnya siyasah syar’iyah dalam kehidupan bernegara pada saat sekarang ini, karena hukum yang kita gambarkan hanya berhubungan dengan hukum taklifi bukan hukum wadh’i, sedang dalam fiqh siyasah lebih banyak berbicara tentang hak dan kewajiban yang belum banyak mendapat porsi dalam pembahasan fiqh.

Karena itu masih perlu banyak waktu untuk mengajar masyarakat tentang siyasah syar’iyah, kendati harus mengatakan bahwa siyasah syar’iyah sangat penting dalam kehidupan sekarang ini.



[*] Dosen Pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.