[Cerpen] Surya Apra, Sp*
HAMPIR seharian penuh aku menyisiri jalanan sudut kota berjalan dengan menenteng air mineral sambil mengatur nafas yang engos-ngosan, rasanya kaki ini sudah lagi tak dikendalikan otak, begitulah lelahnya. Sialan, berat badan ini membebani langkahku
Sebuah pohon rindang di pinggir taman jalanan kota akhirnya menjadi tempat peristirahatan sementara sambil duduk dengan meluruskan kaki yang sudah sulit untuk diajak kompromi, tegukkan air ditenggorokkan seolah-olah memberikan nuansa lega dari dahaga. Tanpa sadar ditelingaku terdengar
‘’nak, bolehkah dirimu membagi minuman itu padaku’’, tegukkan kedua yang akan kulanjutkan akhirnya kuhentikan tat kala aku menoleh kekiri sembari menjulurkan tangan dan memegang tangan seorang tua renta yang terduduk sila diantara rindangnya beringin tua. Kuraih tangannya dan memegangkan air itu untuk dapat diteguknya. Sambil membuka tutup botol, sejenak perhatianku terpusat pada wajahnya yang begitu memberikan gambaran sebuah pengharapan, setidaknya prasangkaku hanya karna ia kelelahan saja.
Ternyata benar dugaanku, bapak tua renta tersebut sedang menunggu anaknya yang masih dalam perjalanan untuk menjemputnya.
“Hendak kemana Bapak”, itulah pertanyaan ku, sambil melebarkan senyumku.
“Pulang nak, ke mesidah” jawabnya
“Dengan siapa bapak akan pulang”, tanyaku lanjut
“Dengan anak bapak yang sedang berbelanja untuk perbekalan kami berkebun nak, maklumlah kami hidup menggantungkan pengharapan hanya pada cangkul dan parang”, jawabnya.
Senyumku mulai mengendur sembari pikiranpun mulai hendak bertanya namun takut ketersinggungan percakapan akan terjadi, sudah begitu tua bapak ini masih saja bekerja dengan anaknya, seharusnya beliau lebih beristirahat dan meningkatkan ibadahnya, akhirnya tanyaku tak kulanjutkan.
Dengan memegang pundakku sang bapak tertawa lucu padaku sambil melihat sekeliling pandangan matanya.
”Nak tak ada bedanya ya dulu hingga sekarang”, dengan cepat aku meresfon jawab
“Kenapa bapak berkata demilikian”
“Iya nak coba kamu lihat dan perhatikan, yang dibangun itu-itu saja, yang dikerjakan itu-itu saja, yang dipermasalahkan juga itu-itu saja”.
Dengan bodohku aku coba membenarkan situasi meskipun berat.
“Mungkin itulah yang menjadi penting dalam pekerjaan mereka pak”, jawabku sambil menatap malu kenapa orang tua ini dapat berkata demikian.
“Tidak nak, ada beberapa hal yang seharusnya mereka dan kita pikirkan bersama-sama, kami rakyat kecil ini hanya memikirkan bagaimana mudahnya kami dalam menyekolahkan anak kami, kami mudah memeriksa dan membeli obat batuk demam, kami mudah dan nyaman ibadah di masjid, mudah menjual buah kopi dan cabai kami, juga mudah mencari pekerjaan untuk anak-anak kami”, tutur bapak itu sambil menatapku seolah ia menggambarkan betapa sulitnya kehidupannya.
Sambil mengembalikan botol mineral tersebut padaku lalu aku bertanya
“Bukankah itu semua sudah dilakukan pak, semua sudah dipenuhi bahkan segala kebutuhan masyarakat sudah mereka kerjakan”
”Benar jawabmu nak, tapi apakah pernah kau berpikir kenapa hingga saat ini aku yang tua renta ini masih bekerja, masih tua begini kami masih mencoba mencarikan pekerjaan untuk anak kami, masih tua begini masih harus berjalan jauh untuk diobati, masih tua begini untuk membeli minyak saja kami harus tunggu toke datang. Di tengah kota ini mungkin saja semua itu mudah nak, namun bagi kami yang tinggal di ujung batas menjadi sulit nak’’, tutur pak tua sambil bergumam.
Udara yang terik itu membuat kami betah berlama-lama dibawah rindangnya beringin tua.
“Ini namanya terbutakan nak”, lontar celetukan sang bapak sambil menoleh ke kanan sembari menunggu cepat kembali anaknya untuk menjemputnya.
“Saya kaget melihat beberapa tahun lalu di sebuah kedai kopi di Pondok Baru sebuah koran menulis besar-besar bahwa BPS 2014 mengatakan kita merupakan daerah termiskin dan tertinggal di Aceh nak, saya khawatir 2022 setelah masa OTSUS kita belum lagi bisa menata diri untuk membangun”.
“Apakah kau rasakan begitu sulitnya mencari pekerjaan dengan gaji yang layak untuk saat ini”
“Iya pak”, jawabku
“Memang sulit akhir-akhir ini bagi pemuda seusiaku untuk mendapatkan pekerjaan”
“Itulah tandanya nak bahwa kita belum berdaya”, jawab pak tua sambil menoreh pada ku.
“Jangan kau pikirkan dalam-dalam nak, bisa rontok rambut kepalamu sepertiku nanti”, tuturnya sambil tertawa lepas ha ha ha ha….
“Ini lah potret kita, kita terbutakan dengan melihat namun tidak terlihat, tahu namum tidak tahu-menahu dan sengaja menutup mata dalam membangun, mendengar namun tak kedengaran, membiarkan diri sengaja menahan tertusuk duri meskipun sakit, dan membiarkan kematian pertanda akan diobati, setelah terjepit kaki dengan lemari barulah mulut teriak kesakitan”, kepulan asap dari gudang garam merah memecah kesunyian pada saat itu, tak lama kemudian klakson dari kejauhan mulai terdengar.
“Nah itu anak bapak, terima kasih nak atas air mu semoga dilain waktu Allah SWT masih menyempatkan kita melihat adanya perubahan untuk kita”
“Hati-hatilah pak semoga sampai dalam perjalanan tanpa hal dan aral melintang”, jawabku
Klakson terakhir dari sang anak menunjukkan perpisahan kami di antara beringin itu, entah kapan lagi bisa mendengar gumam pak tua itu yang memakai topi berlambang Bener Meriah hingga tak sempat kutanyakan namanya.[SY]
– *Surya Apra, Sp adalah pengurus LSM GEMA-BM
– Dikurasi dari judul semula “Terbutakan”.