Catatan: Muhammad Syukri
Hari itu, Jumat pagi 8 Februari 2008, saya dan sejumlah undangan hadir di depan kaki lima sebuah rumah toko [ruko], bangunan 4 x 12 meter yang terletak di Jalan Sengeda Takengon. Bangunan itu direncanakan sebagai kantor sebuah bank milik Pemda Aceh Tengah, yang diberi nama Bank Pembiayaan Rakyat Syariah [BPRS] Renggali. Bupati Aceh Tengah selaku pemilik saham mayoritas akan meresmikan operasional bank tersebut. Dalam sambutannya, Bupati Ir H Nasaruddin MM menghimbau kepada para undangan agar bersedia membuka rekening tabungan pada BPRS tersebut.
Setelah acara seremonial selesai, sejumlah lelaki muda mendatangi para undangan sambil menyerahkan selembar aplikasi pembukaan rekening. Menghormati himbauan tersebut, saya dan beberapa undangan yang duduk sederet segera mengisi aplikasi itu. Kurang dari lima belas menit, aplikasi itu sudah diisi dengan data yang dibutuhkan. Aplikasi itu segera saya serahkan kepada resepsionis dengan menyetor dana awal sebesar Rp 500 ribu. Dengan setoran uang sejumlah itu maka rekening pada BPRS Renggali bisa diaktifkan. Sayangnya, buku tabungan belum dapat dicetak pada hari itu. Sang resepsionis berjanji, hari Senin 11 Februari, mereka akan mengantar buku tabungan tersebut ke kantor saya.
Benar, pagi Senin, mereka sudah menunggu didepan ruang kerja saya. Lalu, diserahkan selembar kertas putih berlipat tiga. Ternyata, itulah buku tabungan sebagai salah satu produk bank tersebut. Saya lirik halaman dalamnya, disana tercetak angka Rp 500 ribu. Bagi saya, buku tabungan itu sebagai wujud dukungan kepada BPRS Renggali, sebuah bank kecil yang ditujukan untuk membantu membiayai para pedagang sayur dan rakyat kecil.
Lalu, kertas putih berlipat tiga itu saya simpan dalam bundel dokumen di rumah, sama sekali tidak pernah tersentuh. Lama kelamaan, saya melupakan keberadaan buku tabungan itu, tentu saja saldonya tidak pernah bertambah. Buku Tabungan Renggali dengan motto Fitrah Dalam Usaha Syariah tersebut terbenam dalam bundel dokumen selama 7 tahun. Sepengetahuan saya, apabila saldo sebesar Rp 500 ribu pada sebuah bank umum, biasanya akan dipotong untuk biaya administrasi. Saya yakin, saldo tabungan pada BPRS Renggali [kalaupun masih tersisa] tinggal setengahnya.
Sekitar bulan Juni 2014, saya ditugaskan untuk mengikuti sosialisasi Management of Sharia Rural Bank yang diselenggarakan SBC Consulting. Sebenarnya, saya kurang “sreg” mengikuti sosialisasi itu, tetapi karena sifatnya perintah, saya hadir tepat waktu. Begitu acara sosialisasi dimulai, saya terkesima dengan kalimat pertama yang diucapkan sang narasumber, DR H Saparuddin Siregar. Apa bunyi kalimat itu? “Laba Sama Dirasa, Buntung Sama Ditanggung.” Semua peserta saling pandang, berusaha mencerna makna disebalik kalimat itu. Selagi mencari jawaban,….. selanjutnya klik http://www.kompasiana.com/muhammadsyukri/laba-sama-dirasa-buntung-sama-ditanggung_57243127e122bdbf069fd9ed