Oleh: Ahmad Dardiri
AKU tidak tahu persis, apakah ia dulu sekolah atau tidak, jika sekolah ia sampai tamat atau hanya sampai kelas berapa, Aku tidak tahu, bahkan tidak pernah bertanya kepadanya. Yang pasti Aku ketahui saat ini adalah tidak ada selembar ijazah atau STTB yang ia miliki sebagai bukti bahwa telah tamat sekolah. Selain itu yang Aku ketahui, ia bisa menulis, tulisannya cukup bagus, saat baru masuk sekolah di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Aku diajari menulis dan membaca Arab dan latin, dengan ketekunannya usai salat maghrib aku dibimbing mengaji, kemudian belajar membaca. Aku senang belajar dengannya, ia mengajarinya dengan lemah lembut, jika masih banyak yang salah dalam membaca atau mengaji, ia cukup bertanya.
“Sudah berapa lama kamu mengaji, kok tidak bisa-bisa, perhatikan dengan baik,” ujarnya. Aku hanya diam, merasa malu. Apalagi tatkala ia membandingkan dengan teman-teman seusiaku yang telah lancar membaca atau mengaji. Ternyata, ia memperhatikan perkembangan belajarku dengan melihat atau mencari tahu teman-teman sebayaku, lalu dibandingkan dengan Aku, Aku menikmatinya sebagai motivasi, ya Aku harus bisa.
Tidak hanya itu, beberapa doa harian pun Aku diajarinya. Cara mengajari doa-doa harian sangat unik, karena diajarkannya bersamaan dengan kegiatan yang akan dilakukan. Umpamanya saat akan makan, ia mengajari doa makan, sambil memberi nasihat adab ketika makan seperti menggunakan tangan kanan, mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, tidak tamak, dan lain-lain. Ketika akan tidur, diajari doa akan tidur dan adabnya biasanya ditambah dengan bacaan-bacaan surat-surat pendek seperti Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Nas. Demikian juga ketika akan bepergian atau keluar rumah, Aku diajari dengan doa “La haula wala quwwata ila billah.” Disamping itu, dinasihati adab-adab ketika nanti bertamu ke tempat saudara atau orang lain.
Belajar salat pun demikian, diajaknya berwudhu terlebih dahulu, mula-mula ia berwudhu, Aku disuruh memperhatikan, lalu Aku berwudhu, jika ada yang salah ditegurnya dan disuruh memperbaikinya dengan memberi contoh. Dilanjutkan dengan salat, Aku belajar salat sekaligus, antara praktik dan doa-doanya, dari mulai takbiratul ihram sampai salam. Yang sangat terkenang dalam belajar salat, sepertinya Aku dipaksa. Akibat Aku terlalu capek bermain di siang hari, malamnya cepat mengantuk, tapi Aku tidak boleh tidur sebelum salat Maghrib atau Isya. Alasan mengantuk dipatahkan dengan kata-kata nanti kalau sudah kena air wudhu tidak mengantuk lagi, alasan takut, dibalas dengan kata-kata, “Ayo, aku temanin.” Ya, akhirnya salat itu pun dikerjakan, tentu dengan lebih nyaring ia melafalkan bacaannya dibanding Aku. Pagi hari, Aku dibangunkan untuk salat Subuh. Salat Dhuhur dan Asyar sepertinya ia tidak memantauku, Aku merasa lega. Jadi salat Dzuhur dan Asyar tidak dikerjakan, tapi ternyata saat Aku kelas IV MI, ada sesuatu yang lain.
Saat asyik bermain, tiba-tiba sosok laki-laki berseragam baju SMP ada dibelakangku menegur, “Sudah salat dzuhur belum,” ujarnya dengan wajar cukup menyeramkan dan ditangannya ada sebilah kayu. Ya, terpaksa Aku salat. Aku tidak tahu, apa ia menyuruh abangku untuk mengingatkan salat dzuhur? Dan itu dikerjakan rutin setiap pulang sekolah saat Aku asyik bermain.
Ia juga suka bercerita, biasanya ia bercerita menjelang tidur atau saat-saat senggang, dengan wajah yang berbinar-binar, ia bercerita. Beberapa kisah-kisah Aku tahu darinya, diantaranya kisah masa kecil Nabi Muhammad saw, perjalanan dakwahnya, musuh dakwahnya yaitu pamanya sendiri Abu Jahal. Juga dongeng-dongeng lainnya. Aku sebelumnya tidak tahu, dari mana ia bisa menceritakan itu semunya. Dan baru tahu, saat ayah pulang membawa majalah “Rindang”, sebuah majalah bulanan bagi pegawai tempat ayah bekerja. Rupanya ia membacanya, kemudian menceritakannya kepadaku. Mulailah saat itu Aku membaca sendiri majalah itu.
Dua belas tahun ia bersamaku, torehan-torehan berharga telah menghiasi nurani dan fikiranku, dan yang terekam dalam memoriku, adalah saat usiaku masuk sekolah kelas I MI tahun 1977 hingga 1982, terlalu singkat rasanya, tetapi semuanya adalah takdir. Kenangan itu terlalu indah, tak ada kata-kata yang sanggup Aku tuliskan dan ucapkan untuk menceritakan betapa berharganya masa-masa itu. Pada hari Ibu, 22 Desember malam Aku buka surat yang ia tulis untuk abangku, “Aku di sini, tetap memikirkanmu dan adik-adikmu, semoga menjadi orang yang berharga bagi nusa, bangsa dan agama, supaya selamat dunia dan akhirat.” Allahuma firlaha, warhamha, wa’afiha, wa’fu anha.[]
*Warga Jagong Jeget Aceh Tengah