[Cerpen] Karya; Eni Penalamni

SUARA tawa khas ahooy wiw para ibu-ibu yang sedang mengupas buah nangka, memeras santan, mencuci piring dan ada yang mengiris daging, memotong buah labu jipang serta ada yang hanya menyaksikan kesibukan itu. Aku tersenyum saat salah satu dari mereka menyapa. Aku tak mau mengabaikan tujuanku datang ke rumah bik Ros ini hanya untuk memanggil ibu yang juga sedang membantu mengolah menu masakan di sana.
“Bik ada lihat Ine?”, aku bertanya kepada seorang kerabat karena setelah mengelilingi rumah bik Ros aku belum menemukan sosok ibuku.
“Di rumah Nek Inah coba lihat La !”, kata bik Ros.
Akupun berlalu meninggalkan dapur dadakan yang hanya dibuat ketika dan untuk pesta perkawinan saja. Besok anak bungsu bik Ros tetanggaku itu akan melangsungkan pernikahan.
Aku berjalan ke rumah nek Inah yang berada di samping rumah bik Ros, dua selang dari rumahku. Berjalan sambil memegang hp membalas pesan singkat teman yang menanyakan daftar pelajaran untuk besok. Aku melihat ke bawah ada sebuah hp yang terjatuh dan aku melihat di depanku ada laki-laki yang baru pertama kali kulihat.
Mungkin tingkahku persis seperti yang ada disinetron, aku hanya termangu menatapnya, diam. Aku melihat bibirnya membentuk senyuman indah yang langsung memberi energi untuk membalas senyumnya. Aku merasa seperti ada di taman yang bunganya sedang mekar. Dia mengambil hpnya yang terjatuh karena benturan tadi, aku masih berdiri di tempat yang sama tak bergerak, tak ada yang kulakukan hanya diam memikirkan apa yang harus kulakukan setelah ia kembali bangkit untuk berdiri.
“Maaf, aku ngak sengaja”, katanya.
Akhirnya aku mendapatkan ide apa yang harus ku lakukan.
“Iya, ngak apa-apa kok”, jawabku gugup.
Suara serak basahnya terdengar berlalu bersama senyumannya yang kembali menggetarkan jiwaku, aku berharap dia hanya kerabat Bik Ros dari pihak suami tetanggaku ini.
Saat aku masih sibuk menduga-duga dia siapa, aku melihat ibuku yang sedang bercerita dengan seorang wanita yang lebih muda darinya secepatnya aku menghampir. Tamu yang ada di rumah pasti sudah lama menunggu karena perjalananku memanggil ibu terhalang dengan pertemuanku dengan dia yang aku belum tau siapa.
“Ne !”, aku menyentuh bahu ibu memastikan apakah dia masih bercerita dengan wanita yang tak pernah kulihat itu.
“Layla, ini Bik Inah anak nek Inah, inilah Inah-nya”, jelas Ine. Aku menyalami wanita berkerudung biru itu dan membalas senyum ramah yang tersimpul di bibirnya yang mirip dengan senyuman lelaki yang kira-kira lima tahun lebih tua dariku yang kutemui di depan tadi.
Aku berbisik ke telinga ibuku memberi tau ada cik Mus adik kandung ayah yang sedang menunggu di rumah. Ibuku berpamitan pada bik Inah, begitupun aku berpamitan pada anak tunggal dari nek Inah. Nek Inah sudah seperti nenekku sendiri, ia sering menceritakan dongeng waktu aku kecil. Aku tak pernah melihat cucu nenek ini selain dari cucu-cucu bik Ros yang juga sering mengambil tebu di halaman rumah nek Inah.
Diperjalanan menuju rumah ibu bercerita bahwa bik Inah nikah dengan orang Jawa. Setelah menikah bik Inah dibawa suaminya ke Jawa, sudah hampir dua puluh lima tahun ia tidak mengunjungi kota kelahirannya ini. Ibu juga bercerita bahwa bik Inah sekarang juga sudah memiliki tiga orang anak, yang pertama baru saja menyelesaikan sarjananya di universitas yang ada di Jawa, yang kedua masih duduk di bangku SMA dan yang bungsu masih berseragam SMP. Sekarang suami bik Inah sudah pensiun, karena itu mereka bisa pulang ke kota dingin ini untuk berkumpul diacara pesta pernikahan keponakannya Nia.
Seperti kebiasaan adat yang masih kuat di kampung kami, sebelum hari pernikahan malamnya akan ada kegiatan para pemuda dan pemudi untuk mendekor di tempat resepsi, teman-temanku meminta gunting lem dan lain sebagainya. Ya, karena rumah yang paling dekat dengan rumah kak Nia adalah rumahku, jadi aku sedikit lebih banyak kegiatan dari mereka yang hanya duduk menulis di atas karton dan membuka kertas origami.
Aku sibuk kesana dan kesini mencari yang kurang yang dibutuhkan para pemuda ini, di atas kursi dekat pelaminan aku melihat laki-laki yang memiliki senyum indah itu sedang duduk bersama anak dan menantu bik Ros, tentu semuanya kukenal. Ada keinginan untuk terus menampakkan diri di depan dia, mungkin naluri seorang yang mulai memiliki rasa, seperti seorang yang sedang jatuh cinta. Begitupun dia yang terus mencuri pandang melihatku, sekali-kali aku pun meliriknya yang ternyata sedang memperhatikanku. Aku menjadi kaku dan seperti sedang menebar pesona agar dia melihatku.
Hari ini hari pernikahan kak Nia, aku tak sabar ingin segera kembali ke rumah memakai lipstik merah, bedak yang merona, maskara yang melentikkan bulu mata dan baju yang membalutku pun harus mendukung penamilan agar sempurna. Bahkan saat aku melihat gambar SBY yang ada di depan kelas, aku seperti melihat dia yang senyum kemarin siang dan memandangku tadi malam. Hari ini apa? Apa dia akan meminta nomor hpku? Menyatakan suka padaku? Ah, aku tak lagi sabar menanti kejadian apa hari ini.
Aku keluar dari rumah dengan memakai gaun merah muda bermotif bunga-bunga seperti menggambarkan keadaan hatiku yang sedang jatuh cinta kepada seorang pemuda, yang sampai saat ini aku belum tau namanya siapa.
Aku mencari dimana dia. Aku tak melihatnya. Aku melirik seluruh sudut ruangan, namun hidungya saja tak nampak di pandangank. Aku berhenti mencari, mungkin dia telah pulang ke rumahnya. Atau mungkin sedang jalan dengan pacarnya, atau mungkin ya saatnya aku beragumen sesuai pemikiranku.
Terhitung lima menit dari kejelian mataku mencarinya ada seorang lelaki berbaju kemeja warna maron keluar dari sebuah pintu, akhirnya aku menemukan yang kutunggu.
“Rio, Rio !!. Ini tolong antarin ke tempat yang cuci piring sana !”, kak Nita menyerahkan tumpukkan piring kepada laki-laki itu.
Kebetulan aku juga ingin mengantarkan nasi kepada mereka yang sedang mencuci piring. Kupercepat langkah, berharap dia mengajakku mengobrol, walau hanya untuk bertanya nama. Padahal aku sudah tau namanya Rio, karena kak Nita baru saja memanggilnya dengan nama itu. Namun dia hanya berlalu dengan menebar senyum kepadaku, ternyata semua tak seperti yang kuharapkan.
Malam setelah seharian resepsi, ada sebuah adat lagi yang disebut muda-mudi. Sesuai sebutannya, hanya mereka yang merasa muda-mudi saja yang mengikuti kegiatan ini. Istilahnya salam pertemuan atau ucapan “selamat datang” kepada kedua mempelai sebelum memulai hari menjadi bagian dari masyrakaat kampung ini. Layaknya seperti ospek bagi siswa baru disekolahan. Sama seperti malam sebelumnya, aku sedikit lebih sibuk dari yang lain, karena harus mempersiapkan yang dibutuhkan para pemuda-pemudi di kampungku.[] Bersambung.
Eni Penalamni adalah nama yang diberikan ketika gadis manis ini di aqiqahkan pada bulan April 1996. Anak bungsu dari tiga bersaudara buah cinta dari Ine (ibu) Busyira dan Ama (ayah) Enam. Masa kanak hingga Sekolah Menengah Atas-nya ia lalui di bawah gugusan bukit dekat aliran sungai Pesangen, hilir Danau Lut Tawar. Dalam dunia kepenulisan Eni Penalamni mengaku dibimbing oleh seorang Gayo, serta terinspirasi dari karya-karya Terelie. Gadis yang bercita-cita menjadi penulis dan peneliti Islam ini sedang menimba ilmu di Fakultas MIPA Unsyiah Banda Aceh.