Oleh : Win Wan Nur
“Jauh di tengah hutan pegunungan di hulu sungai Peusangan diamlah satu bangsa yang cerdas yang mana dengan tingkat peradabannya. Mereka kiranya tidak akan mengalami kesulitan untuk berbaur ke dalam peradaban Eropa”
TEKS di atas adalah pernyataan dari seorang sarjana Belanda kalau tidak salah Hazeu yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mr. Chalidin Abu Bakar. Catatan yang disimpan oleh almarhum kakek saya ini adalah Pandangan bangsa Eropa terhadap Gayo yang pertama kali saya ketahui.
Pada awalnya saya menduga kalau sang sarjana Belanda ini berkata seperti itu karena rasa kaget. Karena ketika dia sampai di tengah hutan pedalaman Sumatra pada penghujung abad ke-19. Sang sarjana tentu berpikir akan bertemu dengan sebuah masyarakat sederhana dengan pakaian sederhana dan bertahan hidup dengan mempergunakan alat-alat sederhana, dengan pola pikir sederhana yang motivasi hidupnya hanya sekedar bisa bertahan hidup dan melanjutkan keturunan.
Tapi saat tiba di Gayo, yang dia temui adalah masyarakat yang sudah berpakaian sama baiknya dengan daerah berperadaban maju manapun di dunia. Masyarakatnya sudah mengenal baca tulis, sudah memahami luasnyadunia, tahu kisah kerajaan-kerajaan besar dunia sebagaimana juga diketahui orang Eropa. Dan dalam kesehariannya juga sudah mengenal fragmen-fragmen filsafat Yunani yang telah disintesa menjadi bernafaskan Islam oleh para filsuf muslim di masa kegemilangan peradaban Islam.
Tapi sepertinya, yang menjadi landasan dari pernyataan itu tidaklah sesederhana yang saya bayangkan. Saya baru mendapat gambaran yang lebih jelas , kenapa sang sarjana Belanda tersebut berkomentar seperti itu terhadap Gayo. Setelah saya membaca kembali Tetralogi Pulau Buru karya Sastrawan terbesar yang pernah dilahirkan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Yang dibagi dalam empat buah judul. “Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa”, “Jejak Langkah” dan “Rumah Kaca”.
Beberapa belas tahun yang lalu, sebenarnya sudah membaca Tetralogi karya Pramoedya ini. Tapi dengan segala keterbatasan pengetahuan saya saat itu. Ketika itu saya belum bisa menangkap kaitannya dengan Gayo dan pernyataan sarjana Belanda yang saya sampaikan di atas.
Sekian belas tahun kemudian, selain usia koleksi bacaan juga bertambah. Dalam kurun waktu sekian belas tahun itu saya beruntung mendapat kesempatan membaca dan memahami karya filsafat Immanuel Kant, Ibnu Rushd, Foucoult, Henri Bergson sampai Merleau Ponty dan terutama sekali karya antropologi John Bowen.
Dengan pengetahuan yang saya dapat dari buku-buku karya para filsuf besar dan antropolog hebat ini. Ketika saya membaca ulang Tetralogi yang dia tulis dalam masa pembuangannya di pulau buru. Sayapun mendapatkan pemahaman yang jauh lebih baik tentang berbagai tema yang diangkat oleh Pramoedya, pengarang yang sangat kuat referensi sejarah dan pemahaman antropologinya ini.
Pada halaman 175 “Rumah Kaca” yang merupakan bagian terakhir Tetralogi, Pramoedya menggambarkan Minke (Tokoh utama di 3 buku sebelumnya) menyesali keberadaannya di Hindia yang membuatnya mendapat hukuman buang ke Ambon hanya karena mengeritik pemerintah. Sementara saat itu di Eropa orang bebas mengeritik pemerintah tanpa mendapat hukuman apa-apa. Bahkan dengan kritik itu mereka saling berbalas, saling memperbaiki diri dan semakin maju.
Keluhan ini dijawab oleh Pangemanann yang merupakan tokoh antagonis dalam cerita ini dengan mengatakan “rupa-rupanya kau telah melupakan alam pikiran nenek moyangmu. Cobalah kecam raja-rajamu. Belum habis kata-katamu menggelegar kau sudah akan roboh terkena mata pedang. Jangan coba terapkan Eropa pada Hindia. Bahkan orang Eropa sendiri meniru nenek moyangmu dalam mengurus keadilan”.
Dialog ini menggambarkan situasi masyarakat pribumi Hindia yang memang telah dibentuk oleh budayanya untuk tunduk sepenuhnya pada penguasa dan menerima segala penindasan sebagai takdir. Dalam pikiran mereka sama sekali tidak ada terlintas untuk menentang raja atas ketidak adilan yang mereka terima. Mengecam penguasa sama sekali tidak pernah terpikirkan.
Tapi Gayo, sebagaimana kita baca dalam ulasan-ulasan Bowen dan kita rasakan sendiri dalam keseharian. Ternyata tidak demikian.
Gayo jangankan bicara sejarah. Bahkan dalam ‘Kekeberen-nya’ (dongeng) pun tidak pernah kita temui kisah tentang raja yang bisa berbuat semaunya terhadap rakyatnya. Raja yang dengan semena-mena bisa menghukum siapapun yang tidak disenanginya tanpa ampun. Sebagaimana cerita-cerita yang banyak kita temukan dalam berbagai dongeng dan kisah di Nusantara.
Gayo bahkan tidak punya ‘kekeberen’ yang berkisah tentang sebuah kerajaan besar dengan satu organisasi yang teratur dengan raja yang didampingi perdana menteri dan angkatan perang yang mumpuni yang siap menaklukkan segala bangsa.
Kekeberen di Gayo justru menunjukkan bahwa posisi antara masyarakat benar-benar sejajar. Ketika ada yang merasa diperlakukan tidak adil. Itu disuarakan dan pelakunya kalau pun tidak mendapat hukuman maka mereka akan malu dan pergi diam-diam (ingat kisah Datu Merah Mege).
Dari sinilah saya paham. Ketika sang sarjana dari Eropa itu menyaksikan Gayo, inilah yang dia lihat. Bangsa yang tinggal di tengah hutan di pegunungan di hulu sungai Peusangan ini berbeda dengan bangsa-bangsa Hindia berperadaban tinggi lainnya yang pernah ditemui Belanda.
Gayo bukan bangsa yang bisa ditindas. Gayo adalah bangsa yang dibentuk oleh kulturnya untuk menyuarakan ketidak adilan yang dirasakan. Suasana seperti ini persis seperti suasana di Eropa pada penghujung abadke-19 waktu itu. Suasana yang pada saat itu belum ditemukan oleh Belanda ada dalam kultur bangsa manapun di Hindia.
Maka saya pun jadi paham ketika sang sarjana itu mengatakan “ Mereka kiranya tidak akan mengalami kesulitan untuk berbaur ke dalam peradaban Eropa” saat dia mengomentari peradaban muyang datu kita.[]
*Pemerhati sosial budaya, tinggal di Bali