TIDAK diakomodirnya kawasan ekosistem Leuser sebagai kawasan penting sebagai aset nasional serta tidak tertuangnya hutan sebagai bagian dari kekuasaan adat (kearifan lokal) masyarakat setempat dalam Rancangan Qanun Aceh tahun 2013-2033 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang kini telah ditetapkan menjadi Qanun Nomor 19 Tahun 2013 diundangkan pada tanggal 3 Maret 2014, para aktifis lingkungan di Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues yang tergabung dalam LSM Forum Penjaga Hutan dan Sungai Harimau Pining serta beberapa LSM lainnya yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Aceh Menggungat (Geram) akan menggungat Pemerintah Aceh terkait permasalahan tersebut.
Ketua Forum Penjaga Hutan dan Sungai Harimau Pining, Abu Kari Aman Jarum beberapa waktu lalu mengatakan pihaknya tidak setuju akan diterbitkannya Qanun tersebut yang mengabaikan kearifan lokal masyarakat setempat.
“Urang Gayo sudah mendiami pedalaman hutan Leuser sejak nenek moyangnya. Hutan bagi Urang Gayo sebagai bagian terpenting dalam hidup dan kehidupannya, tapi kenapa tidak ada dalam Qanun RTRW tersebut yang mengakomodir peran masyarakat setempat sebagai penjaga kearifan lokalnya?,” tanya Aman Jarum.
Padahal menurut Aman Jarum Konstitusi telah mengamanatkan bahwa kekuasaan adat sebagai pemegang kearifan lokal masyarakat setempat sudah tertera jelas. “Namun Pemerintah Aceh dalam hal ini mengabaikannya, atas dasar itulah kami akan menggungat,” tegas Aman Jarum.
Dilanjutkan lagi, Pemerintah Aceh sudah pernah mendapat teguran dan koreksi dari Kementerian Dalam Negeri yang tertuang pada surat Nomor : 050/1162/VI/Banda pada tanggal 20 Februari tahun 2014 silam yang ditujukan kepada Gubernur Aceh. “Namun, mereka (Pemerintah Aceh tidak mengindahkannya,” jelas Aman Jarum.

Sebelumnya juga ada dari beberapa aktifis lingkungan seperti Walhi dan komunitas pecinta lingkungan yang pergabung dalam Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) yang telah melakukan gugatan, namun Pemerintah Aceh tidak ada niat untuk mengubah tatanan yang tertuang dalam RTRW tersebut. Timpal Aman Jarum.
Pihaknya berharap, Pemerintah Aceh sebagai penguasa dapat membuat kebijakan mengenai hutan di Aceh atas dasar pertimbangan keberlangsungan hidup generasinya.
“Hilangnya hutan sebagai kekuasaan adat istiadat masyarakat setempat yang sudah menjadi penghuni secara turun temurun akan merusak tatanan kebudayaaannya, tak terkecuali tatanan kebudayaan Gayo yang sudah melekat pada hutan. Kearifan lokal masyarakat Gayo akan hutan merupakan suatu kebiasaan yang lahir dalam membentuk suatu peradaban suku Gayo, seperti berburu, berladang, beternak dan lain sebagainya,” kata Abu Kari Aman Jarum.
Ditegaskan, jika aspirasi ini tidak diindahkan, jelas mencederai tatanan adat Gayo. “Saya menilai kewenangan Pemerintah Aceh yang mempunyai otonomi khusus di Republik ini sudah dimanfaatkan dengan kesalahan-kesalahan yang jelas merusak tatanan hidup urang Gayo, dengan tidak mempertimbangkan kehidupan generasi Gayo dimasa mendatang,” demikian Abu Kari Aman Jarum.
(JW_Ila Namsu | Kh)