SaLuT, No Action Talk Only?

oleh

Save-Lut-Tawar

Catatan Kha A Zaghlul

SENANG sekaligus malu hati menerima paket kiriman berupa stiker dan pin bertuliskan “Save Lut Tawar” dari seorang rekan warga Jawa Tengah, Hanief yang sempat berada di Takengon Kabupaten Aceh Tengah beberapa tahun lalu, berbarengan dengan kedatangan 2 grup musik ternama di Indonesia, Tim Lo dan Kangen Band.

Rasa senang menerima kiriman itu karena ternyata dia masih ingat selama berada di Takengon, dia terkesan dan jalinan silaturrahmi tidak terputus begitu saja.

Sementara malu hati, karena saat membaca tulisan Save Lut Tawar yang saya beri singkatan SaLuT, kegelisahan menyeruak. Mengagumi Danau Lut Tawar, memilikinya, begitu berharga. Namun belum bisa berbuat banyak, ekosistem Danau Lut Tawar kian rusak. Serakan sampah, air limbah, tegakan pohon kian banyak yang rebah.

Dalam suratnya, Hanief menyatakan sangat terkesan terhadap Tanoh Gayo. “Warganya ramah-ramah, budayanya luhur dan alamnya sangat indah telah meninggalkan kesan yang mendalam untuk saya,” tulis Hanief.

Hanief mengirimkan sedikit kenang-kenangan. Dia berharap bisa menjadi pengingat agar menjaga kelestarian danau Lut Tawar. “Hingga jika suatu hari Allah SWT mengijinkan saya mengunjungi Takengon lagi, keindahannya tetap terjaga dan lestari, Amin,” tulis Hanief.

Risih terhadap Hanief. Dia pengagum Gayo dari segala sisinya, termasuk Danau Lut Tawar.  Tersirat harapan agar kelestarian Danau Lut Tawar tetap terjaga.

Miris mendengar informasi Danau Lut Tawar mulai tercemar, rasanya tidak butuh ilmu terlalu tinggi untuk memahaminya karena nyata-nyata danau yang katanya sebagai salah satu andalan tujuan wisata bagi warga Aceh sudah kasat mata rusak, setidaknya dari serakan sampah dan mengalirnya air limbah alias comberan ke dalamnya yang berasal dari pemukiman penduduk sekitar serta hutan yang kian gundul.

Menyelamatkannya juga tidak terlalu sulit, hanya butuh militansi kuat. Sudah beberapa kali penggalangan kekuatan setidaknya sejak tahun 2009 ternyata tidak membuahkan hasil berupa aturan baku yang benar-benar diterapkan oleh pihak terkait serta perubahan perilaku masyarakat. Ya, kesadaran masyarakat memang nyaris tidak ada sama sekali. Kampanye penyelamatan yang dilakukan elemen sipil dan pemerintah selama ini juga belum menampakkan hasil sesuai harapan. Masih berkutat pada retorika-retorika.

Bukan pekerjaan mudah, dan sejauh ini pewarisnya, termasuk saya belum bisa melakukan upaya apapun selain berkoar-koar di media sosial (medsos) dan obrolan di warung kopi semata.

Sebagai gambaran, saat berkesempatan memantau kegiatan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) se-Kecamatan Bintang beberapa waktu lalu, terbesit kekecewaan mendengarkan satu persatu usulan dari kepala desa di kawasan paling timur Danau Lut Tawar tersebut. Tak ada suara kerisauan terhadap kelestarian ekosistem danau Lut Tawar. Usulan pembangunan mengandalkan APBK masih berkutat seputar pembukaan jalan ke kebun dan persawahan, irigasi dan lain sebagainya. Tidak ada yang mengusul pengadaan tong sampah atau penerapan aturan menjaga kelestarian Danau Lut Tawar. Mereka tidak salah, kesejahteraan hidup mungkin masih dibawah standar layak.

Mirisnya, pihak pemerintah terkait termasuk legislator yang hadir juga tidak mencoba mengarahkan usulan masyarakat tersebut ke urusan penyelamatan danau Lut Tawar.

Dalam kesempatan lain, pernah seorang rekan dari Bogor nyatakan kekesalan menyaksikan joroknya beberapa tempat di danau Lut Tawar. “Orang-orang kok pada jahat ya sama danau ini. Masak plastik kemasan makanan dan minuman sampai pempes dibuang ke danau” katanya. Pernyataan ini tidak saya tanggapi, apalagi membela diri karena benar adanya.

Elemen sipil yang katanya pemerhati ekosistem Danau Lut Tawar di Aceh Tengah seperti kehabisan bahan bakar menyuarakan nasib Lut Tawar. Berbeda sekali dengan apa yang mereka lakukan 2-4 tahun silam, suara begitu lantang, malah sudah menjurus ke gagasan dibentuknya Badan Pengelola Ekosistem Danau Lut Tawar.

Entah mengapa, orang-orang yang katanya cinta danau Lut Tawar lebih suka menikmati dan mempromosikan “sisa” keindahan melalui saluran media yang ada, lebih banyak yang membuat status dan memajang foto di medsos ketimbang upaya sosialisasi untuk peningkatan kesadaran masyarakat termasuk upaya kontrol sosial terhadap pemangku kepentingan.

Sebagian lagi yang 2-4 tahun lalu berteriak lantang “Selamatkan Lut Tawar!”, ada yang sudah apatis, kepedulian sudah hilang dan sudah sibuk ngurusi diri sendiri.

Sebagian mereka, akhir-akhir ini ada yang disibukkan dengan berkomentar dukungan pemekaran wilayah, Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA). Ya, ujung-ujungnya, bisa diduga yang bersangkutan turut maju atau mengusung seseorang di Pemilihan Umum, Legislatif atau Kepala Daerah. Herannya, perjuangan pemekaran Provinsi ALA juga belum ada titik terang kapan terwujudnya alias hanya sebatas “mimpi manis” aja. Entah kenapa, setelah kenduri rebutan kursi usai, koar-koar ALA mulai senyap dan akan berkobar kembali saat ada cokehan, ibarat Peri Mestika Gayo “i jontok baro megut“.

Sial benar nasibmu Depik, Kawan dan Eyas. Orang-orang yang pertama menghuni lembah Takengon 7525 tahun lalu ternyata mempunyai keturunan yang mungkin layak digolongkan sebagai kaum kufur nikmat. Tak pandai bersyukur atas keberadaan Danau Lut Tawar. Hanya segelintir yang mau action, selebihnya No-Action Talk Only.

Syukurlah, tahun 2015 gerakan SaLuT kembali muncul. Bukan memuji tapi layaklah diapresiasi upaya pemungutan sampah dari bawah air dan sekitar danau Lut Tawar oleh para penyelam Gayo Diving Club (GDC) dengan dukungan beberapa elemen sipil lainnya serta donasi pembaca LintasGayo.co. Salute atas upaya kecil namun nyata ini. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.