Oleh Drs. Jamhuri Ungel, MA[*]
Hampir tidak terdengar lagi kata-kata ada orang yang tidak sekolah, karena pemerintah telah mewajibkan masa belajar dari enam tahun menjadi sembilan tahun bahkan sekarang ijazah (yang dijadikan sebagai tanda tamat) bagi mereka yang tamatan dari SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA tidak ada arti lagi, buktinya mereka yang lulus atau belum lulus dari sekolah tersebut boleh melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi atau melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Sebagai bukti bahwa mereka bisa melanjutkan hanya dengan raport atau nilai yang dilakukan ketikan tengah semester atau naik kelas.
Dari fenomena ini bisa dipahami bahwa pendidikan belum dianggap punya makna sebelum seseorang menamatkan pendidikan dari Perguruan Tinggi, apakah seseorang tersebut tamatan dalam strata D-3, D-4 atau S-1. Setelah jenjang inilah mereka bisa dikatakan tamat, malah mereka yang alumni D-3 yang sudah mendapat kerja dengan pemerintah dianjurkan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu S-1.
Dengan menjamurnya Perguruan Tinggi, baik Negeri atau Swasta di daerah Tingkat Dua atau Kabupaten/Kota maka yang namanya gelar sarjana bukan lagi menjadi gelar kebanggaan bagi penyandangnya dan tidak juga menjadi idaman bagi masyarakat banyak. Hal ini tentu menjadi permasalahan tersendiri dalam dunia akademik. Tidak hanya tamatan S-1 yang tidak mendapat lapangan pekerjaan tetapi juga tamatan S-2 bahkan S-3, malah yang lebih naif lagi mereka semua kembali menjadi masyarakat biasa yang seolah kosong dari ilmu dan pengetahuan yang didapat selama duduk di Perguruan Tunggi.
Padahal Tuhan sudah menjanjikan kepada manusia kalau mereka yang memiliki ilmu pengetahuan derajatnya lebih tinggi dari mereka yang tidak memiliki ilmu pengetahuan, dan juga banyak memberi petunjuk tegas dan berupa isyarat di dalam al-Qur’an kepada mereka yang mempunyai ilmu untuk belajar tidak hanya dari buku-buku atau kitab-kitab tetapi belajar dari alam, karena pada akhirnya alam bisa memberi kehidupan yang baik bagi mereka yang memiliki pengetahuan.
Senada dengan apa yang dikehendaki Tuhan bagi manusia sebagaimana disebutkan, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga sudah berpuya berubah pola kehidupan manusia yang pada awalnya mengandalkan kekuata otot atau fisik menjadi kekuatan yang berbasis pemikiran dengan lahirnya teknologi, sehingga manusia tidak perlu lagi capek-capek menggunakan ototnya dalam mengolah dan mengelola alam. Bahkan kalau kita ingin belajar lebih jauh dari itu kemajuan ilmu pengetahuan yang disesuaikan dengan kemajuan zaman tidak lagi memadai dengan sebuah karya limu pengetahuan tetapi lebih dai itu telah beranjak kepada indahnya sebuah karya ilmu.
Lalu permasalahan apa yang terjadi saat ini sehingga banyaknya sarjana yang notabene di anggap sebagai ilmuan bisa kembali kemasyarakat menjadi orang yang kosong dari ilmu pengetahuan dan kalaupun tidak kosong dari ilmu pengetahuan tetapi tidak pernah memberi manfaat bagi masyarakat sekitarnya, sedangkan agama kita juga mengajarkan “orang yang paling baik diantara kamu adalah orang yang bermanfaat untuk orang lain”. Ungkapan ini juga dikuatkan lagi dengan pernyataan Nabi yang berbunyi “bahwa pahala dari amalan manusia yang tidak pernah putus walaupun manusianya meninggal adalah pahala dari ilmu yang bermanfaat”.
Kendati hal ini telah kita ketahui, tentu saja tidak pernah bisa merubah hidup masyarakat kalau kalau semua kita berniat mencari ilmu untuk mendapatkan pekerjaan yang disediakan oleh manusia, tetapi kita harus merubah niat secara bersama kalau kita mencari ilmu adalah untuk mencari pekerjaan yang disediakan aleh Allah dan menjadikan ilmu dan mencari ilmu itu sebagai ibadah. Dan dalam rangka merobah hidup masyarakat tentu saja kita tidak bisa diam dengan tidak berbuat, karena potensi diri sebagai seorang sarjana sangat luar biasa. Diantara potensi yang kita miliki adalah menyampaikan apa yang kita ketahui dengan lisan, dengan sikap bahkan juga dengan jari yang kita miliki untuk menulis apa yang kita ketahui.