Nyarut

oleh
ilustrasi (internet)

Oleh : Inen Ridho*

ilustrasi (internet)
ilustrasi (internet)

DALAM kehidupan sehari-hari di tanoh Gayo tercinta ini, terlalu sering kita mendengar kata-kata kasar, umpatan, bahkan kata-kata kotor dipakai dalam percakapan sehari-hari. Munyarut, Nyarut istilahnya, saking terlalu seringnya sampai menjadi hal yang biasa dan tidak aneh lagi ditelinga. Malah kesannya membudaya. Semakin kasar, semakin kotor, semakin menyakitkan, maka semakin luculah kedengarannya.

Gaya bahasa ini lazim kita dengar diseluruh sisi kehidupan kita, dirumah, dipasar, dilingkungan bahkan dalam film-film komedi yang umumnya laris terjual, munyarut layaknya telah menjadi “ciri khas” yang wajib ada dalam hampir setiap dialog pemainnya. Saya mencoba menghitung berapa kali actor munyarut dalam satu episode, hasilnya cukup fantastis, lebih dari 10 kata carutan hanya dalam 15 menit tayangan awal saja. Tidak jauh berbeda dengan seni budaya Didong Jalu yang cenderung menjatuhkan lawan dengan kalimat mempermalukan, membongkar aib dan kalimat merendahkan lainnya.

Memprihatinkan, hanya bisa berharap kedepan yang membuat film, didong dan hiburan di tanoh Gayo, agar mempertimbangkan gaya bahasa pemain yang notabene ditonton masyarakat luas, dari anak-anak sampai orang tua. Sejatinya tontonan harus jadi tuntunan, memberi contoh positif bagi siapapun yang melihatnya.

Kembali ke carut munyarut. Hasil penelitian dr John Cacioppo dari Universitas Chicago menemukan bahwa, “kalimat negatif memberikan efek besar terhadap otak. Dampak ini disebut negative bias. Karena itu, kritikan akan lebih membekas di ingatan dibanding pujian”. Apa jadinya generasi kedepan jika kesehariannya diisi dengan kata-kata kasar dan kotor. Og*h, J*nt*r, ud*l, pek*k, dong*ng, benat*ang, wo as*, kap*r, gere mut*k, dan kata tidak bermutu lainnya memenuhi telinga dan fikiran sepanjang hidup?.

Lalu dapatkah kita berharap generasi Gayo kedepan bisa lebih baik dari sekarang? Seharusnya mereka mendengar kata-kata yang baik, motivasi, kalimat positif yang disampaikan dengan sopan santun dan lemah lembut dari kita: orang tua, guru, pemimpinnya. Perkataan adalah doa, begitu tuntunan agama kita.

Dalam Islam kita diutus seorang tauladan yang menjadi panutan dalam setiap sisi hidupnya. Puluhan hadits dapat kita jadikan acuan bagaimana lemah lembut Rasulullah berperilaku dan bertutur kata. Sejatinya kita mencontoh Nabi kita, karena Muhammad diutus untuk memperbaiki akhlak manusia, bukan hanya sekedar disebut namanya dalam shalawat diawal pidato dan kata sambutan saja.

Sebenarnya seni gayo terkenal dengan halusnya bahasa istilah yang bermakna dalam dan sarat nilai. Salah satunya budaya Melengkan, kaya dengan perumpamaan yang memerlukan kreatifitas tingkat tinggi dalam menyusun kata. Sayangnya budaya seni ini sekarang hanya terdengar dalam acara Serah terime rempele, ejer marah dan acara adat semata.

Untuk orang tua, guru, pemimpin yang berkenan membaca tulisan ini, sadarilah bahwa munyarut tidak akan membuat anda terlihat kuat, hebat, cerdas, layak disegani apalagi bahagia. Munyarut hanya merendahkan martabat didepan orang lain. Tidak ada orang yang senang disebut bodoh biarpun orang bodoh sekalipun.

Munyarut hanya untuk merendahkan orang yang bisa jadi memang lebih rendah dari kita, status, intelektual, keadaan fisiknya. Dan yang paling berbahaya, munyarut membuat ketagihan dan sangat sulit dihentikan. Seperti ada kepuasan tersendiri melihat orang jatuh terdiam akibat carutan kita. Astaghfirullah.

Sebagai solusi bagi anda yang terlanjur terkena penyakit “ahlul carut” stadium awal, lanjut sampai akut, cobalah mencari kata-kata alternatif yang lebih “berkelas”. Kalaulah terpaksa harus menggunakan nama binatang, carilah binatang yang lucu, banyak manfaat dan tidak berbahaya. Contohnya mengganti anjing dengan lebah, kupu-kupu, semut, kutu, atau binatang kesayangan lainnya. Walaupun sama-sama binatang minimal lebih bermanfaat.

Contoh kalimat “dasar anakni uniiik..” Nah, lebih bersahabat kedengarannya. Atau nama binatang diganti dengan buah-buahan seperti apel, anggur, jeruk dan buah bergizi lainnya. Bila terkait dengan intelektual, coba ganti dengan menyebut benda-benda langit misalnya matahari, bulan, komet, Jupiter dan benda lainnya.

Contoh kasus ada orang yang sudah berkali-kali diajari tapi tidak mengerti juga, daripada mengatakan “ino dasar og*h, ud*l, pek*k !!!!”, lebih bijaksana mengatakan, “Ya Allah ya Rabbi ya Tuhenkuuuu, memang Saturnus kamu ya?”. Atau diganti dengan nama-nama bunga “inooo, betul lagu sakura kam ni ge?”. Dijamin anda terlihat lebih intelek dimata anak, murid dan bawahan anda. Bukan bermaksud membolehkan munyarut, namun setidaknya kita lebih selektif dalam memilih kata sebelum mengucapkannya.

Dan level paling sempurna adalah ketika ingin munyarut maka yang keluar adalah doa. Renungkanlah sebuah kisah. Seorang bocah mungil sedang asyik bermain-main tanah. Sementara sang ibu sedang menyiapkan jamuan makan yang diadakan sang ayah. Belum lagi datang para tamu menyantap makanan, tiba-tiba kedua tangan bocah yang mungil itu menggenggam debu. Ia masuk ke dalam rumah dan menaburkan debu itu diatas makanan yang tersaji. Tatkala sang ibu masuk dan melihatnya, sontak beliau marah dan berkata “idzhab ja’alakallahu imaaman lilharamain,” yang artinya “Pergi kamu…! Biar kamu jadi imam di Haramain…!”.

Dan SubhanAllah, kini anak itu telah dewasa dan telah menjadi imam di masjidil Haram…!! Tahukah anda, siapa anak kecil yang dido’akan ibunya saat marah itu…?? Beliau adalah Syeikh Abdurrahman as-Sudais, Imam Masjidil Haram yang nada tartilnya menjadi favorit kebanyakan kaum muslimin di seluruh dunia.

Mudah-mudahan kita bisa mempraktekkannya. Sesungguhnya teko/cerek hanya mengeluarkan isi yang dimasukkan kedalamnya.

*Seorang ibu, tinggal di Takengon

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.