Oleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA[*]
Hadis Nabi : “Man shama ramadhana imanan wahtisaban, ghufira lahu ma taqaddama min zanbih”
Perintah yang dipahami dengan wajib melaksanakan puasa dari al-Qur’an dijelaskan lebih lanjut dengan hadis Nabi agar pelaksanaan puasa menjadi lebih sempurna, baik dari segi tata cara pelaksanaan atau juga hikmah-hikmah yang terdapat dalam puasa tersebut. Dalam hadis yang penulis sebutkan diatas Nabi menerangkan behwa orang-orang yang berpuasa pada bulan ramadhan harus dilandasi dengan keimanan. Arti keimanan di sini adalah bahwa orang yang berpuasa meyakini bahwa perintah puasa itu datangnya dari Allah yang ada dalam al-Qur’an melalui firman-Nya, yang artinya “ Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu mudah-mudahan kamu menjadi orang bertaqwa” (al-Baqarah. 183)
Untuk menambah keyakinan kita terhadap kewajiban puasa sehingga kita tidak boleh tidak melakukannya, bahwa kewajiban puasa itu diwajibkan oleh Allah kepada umat-umat sebelum nabi Muhammad, seperti agama Yahudi dan Nasrani. Namun juga kita melihat realitanya bukan hanya umat agama samawi yang melaksanakan puasa tetapi juga umat-umat agama Ardhi atau agama-agama yang berasal dari manusia, seperti Hindu, Budha dan lain-lain juga berpuasa, untuk itu kita bisa katakan kalau puasa itu di samping Allah mengatakan manusia perlu melaksanakannya, juga manusia secara naluri mengakui kalau puasa itu dibutuhkan oleh manusia. Sehingga bila kita tarik benang merah bahwa manusia yang mengikuti hati nuraninya tidak pernah mengatakan kalau puasa itu tidak perlu dan malah orang yang tidak berpuasa itulah sebenarnya yang bukan manusia yang hakiki.
Karena itu wajar bila Allah memanggil hanya orang-orang beriman yang berpuasa, karena mereka yang hanya bisa berpuasa sesuai dengan ketentuan Allah adalah orang-orang yang beriman, orang yang tidak beriman jugatetap bisa melaksanakan puasa tetapi puasa yang kerjakan hanya sekedar menahan maka dan minum dan menahan diri dari hal-hal yang dilarang namun mereka tidak akan pernah sampai kepada tingkatan orang yang bertaqwa. Berbeda dengan mereka yang berimana, dimana mereka ketika melaksanakan puasa bukan hanya karena waktunya bulan puasa tetapi dilandasi dengan keyakinan anak perintah Allah, mereka inilah yang diharapkan oleh Allah sampai pada tingkatan taqwa.
Banyak diantara orang muslim yang melakukan puasa pada saat ini mendengar ungkapan kata taqwa namun apa arti dari taqwa sendiri tidak mereka ketahui sehingga mereka tidak meresa apakah mereka telah masuk dalam lingkaran muttaqin atau mereka masih tetap dalam posisi muslim sebagaimana sebelum bulan puasa. Secara sederhana dapat kita sebutkan bahwa makana dari taqwa itu adalah “melaksanakan apa yang diperintah oleh Allah dan meninggalkan apa yang dilarang” Intinya adalah kepatuhan terhadap Allah, terbiasa mengerjakan apa yang perintah dan terbiasa juga meninggalkan apa yang dilakarang dan meyakini kebaikan yang dilakukan dan menghindari dari ketidak baikan dalam keseharian merupakan pengabdian kepada Allah. Ketika in telah terjadi dalam diri kita itulah artinya menjadi muttaqin yang berjadi harapan Allah dari pelaksanaan puasa.
Ketika puasa yang dilakukan dengan keyakinan terhadap perintah Allah dan dengan pertimbangan yang didasari pengetahuan dan memunculkan pemahaman maka insya Allah apa yang dikatakan oleh Rasulullah “ghufira lahu ma taqaddama min janbih” (semua dosa-dosa yang telah lalu diampuni akan tercapai.
Yang perlu dipahami juga bahwa puasa bukan hanya sampai pada tujuan terlaksananya kewajiban, tetapi lebih dari itu pelaksanaan kewajiban puasa ini merupakan proses menuju kepada ke tingkatan pengabdian dan kemuliaan yang lebih tinggi yaitu taqwa, sesuai dengan firman Allah “Inna akramakum ‘indallahi atqakum” orang yan paling mulia di sisi Allah adalah orang yang bertaqwa.