Oleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA[i]
Ketika masyarakat hidup dalam bertani, laki-laki dan perempuan selalu hidup bersama dalam mencari rizki, nafkah dan memenuhi kebutuhan hidup. Mereka tidak pernah berpisah siang dan malam, semua pekerjaan dikerjakan secara bersama dan saling membantu.
Gambaran ini mulai berubah ketika profesi mulai beragam dan teknologi sudah mulai masuk mempengaruhi pola hidup dasar masyarakat. Sebagian masyarakat sudah mulai menjadi Pegawai Negeri, TNI/Polisi, wiraswasta dan yang bekerja pada industri-industeri. Sampai ada juga diantara akan-anak muda mencari pekerjaan di industri sepatu atau industri lain di pulau Jawa. Pada masa ini pola pikir masyarakat sudah mulai berubah, kalau pekerjaan diluar rumah dan mencari nafkah menjadi tanggung jawab laki-laki dan pekerjaan di dalam rumah menjadi pekerjaan perempuan. Perubahan pola pikir seperti ini menjadi pola yang tidak hanya terjadi pada mereka beralih profesi dari bertani kepada pekerjaan lain, tetapi juga pada masyarakat yang masih hidup sebagai petani.
Tidak banyak menjadi perbincangan ketika perubahan pola pikir terjadi pada mereka yang berbeda profesi, karena pada masa awal pekerjaan sebagai PNS, TNI Polri dan kerja di industry dilakukan oleh laki-laki, dan perempuan kebanyakan menunggu di rumah yang menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah dan menjaga anak. Sedangkan laki-laki pergi bekerja mencari nafkah pada tempat kerja yang bukan lagi bertani, seperti disebutkan di atas. Pola ini merasuk kedalam kehidupan keluarga-keluarga yang hidup bertani, yang berupaya menerapkan kalau perempuan hanya bertugas menjaga dan mengatur rumah serta mendidik anak. Upaya ini tidak pernah berhasil, karena kebanyakan masyarakat masih terikat dengan pola bekerja bersama dan saling membantu.
Kendati pola hidup yang membagi pekerjaan antara laki-laki dan perempuan tidak banyak mempengaruhi masyarakat yang hidup bertani, tapi cemoohan dari orang lain mulai muncul ketika laki-laki menjaga anak, mencuci pakaian atau pekerjaan lain yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan, pada hal sebagaimana disebutkan pembagian itu dalam tradisi masyarakat bertani tidak ada.
Pola pikir dengan pola pembagian kerja ini juga disebabkan oleh pengaruh media yang selalu menayangkan bagaimana kehidupan masyarakat kota, kaum laki-laki bekerja dari pagi sampai sore dan kaum perempuan di rumah dengan pekerjaan rumahnya (mengurus rumah dan menjaga anak). Akibat dari perubahan pola yang dianggap baik oleh sebagian orang dan disetujui oleh masyarakat banyak, akhirnya merubah tatanan kehidupan masyarakat bertani yang sebelumnya laki-laki dan perempuan dipandang sama dan selalu bekerja sama dan saling menolong menjadi berbeda, utamanya dalam pembagian kerja. Egoisme laki-laki sebagai orang yang lebih mulai Nampak sebagai pengaruh dari perubahan budaya, sehingga yang berhak mendapatkan pasilitas dan sarana untuk bekerja di luar rumah adalah laki-laki. Untuk laki-laki dibuka peluang untuk memilih menjadi orang yang berpendidikan, dan untuk perempuan kesempatan tersebut dibatasi, ketika keduanya mempunyai peluang pendidikan maka yang laki-laki diberi kesempatan untuk melanjutkan kependidikan kejenjang lebih tinggi sementara yang perempuan dipadai dengan sekolah yang lebih cepat tamat.
Yang membuat pola ini berlanjut dalam kehidupan masyarakat sekarang, dikarenakan pola ini seolah mendapat legalisasi dari agama dan dianggap sakral. Artinya agama Islam seolah membenarkan kalau laki-laki mempunya derajat yang lebih tinggi dari perempuan, dan ketinggian yang dimilki laki-laki itu tidak boleh disamai oleh perempuan apalagi dikalahkan. Sehingga mereka yang yang tidak mau berubah dari pola perempaun adalah orang yang mengurus rumah tangga dan laki-laki adalah pencari nafkah di luar rumah dianggap melanggar ajaran agama, dan perempuan yang mempunyai kelebihan dinggap tabu oleh masyarakat sekeliling, orang-orang akan katakan kalau keluarga yang tidak patuh kepada tradisi tersebut, maka keluarganya disebutkan dengan keluarga seperti kapal yang tertukar nakhoda atau mobil yang berganti sopir atau juga dengan sebutan mesinnya di belakan (OH).
Pekerjaan yang dikerjakan secara bersama dan saling membantu yang telah hilang dari masyarakat dan digantikan dengan pola penguasaan laki-laki terhadap perempuan sudah menjadi pola, masyarakat mengamalkannya seolah sakral dengan didasarkan pada persetujuan teks-teks keagamaan, pada hal agama tidak menghendaki hal yang demikian, selanjutnya sistem dan pola hidup masyarakat dibentuk secara kaku seolah merupakan warisan adat yang benar.
Kita dapati prakteknya dalam masyarakat dimana laki-laki yang merasa lebih karena ke laki-lakiannya merasa enggan dengan pekerjaan yang seolah itu adalah pekerjaan perempuan pada hal pekerja itu juga boleh dan pantas dikerjakan oleh laki-laki, seperti memotong, membelah dan membawa kayu bakar, menggendong anak dan lain-lain. Dari situ sebenanya kita bisa katakan sebenarnya secara pisik perempaun lebih kuat dalam bekerja dibanding laki-laki dan perempuan lebih banyak mampu mengerjakan pekerjaan dari pada laki-laki.