Oleh. Drs, Jamhuri Ungel, MA[*]

Televisi mulai masuk ke Gayo di tahun 1980-an, pada awalnya tidak banyak masyarakat yang memilikinya paling dalam satu kampung hanya ada satu buah tv, siaran yang ada pada saat itu adalah siaran TVRI belum ada chanel lain. Masyarakat yang melihat media tv pada saat iru hanya menyenal dua warna yaitu hitam dan putih sama dengan foto-foto keluarga atau sendiri yang dipajang di rumah-rumah. Masyarakat pada saat itu menonton kerumah yang ada TV secara beramai-ramai dan mereka tidak memilih acara apa yang ditonton, karena dalam benak mereka adalah menonton TV bukan acara apa yang ditonton.
Masyarakat yang sebelum tahun 1980-an yang menumpukan hidup mereka bersawah tetap tetap turun kesawah sawah pada musimnya, karena kebutuhan utama masyarakat adalah beras, kalau mereka memiliki beras di rumah pikiran mereka sudah tenang seolah tanpa beban, kebutuhan lain seperti ikan, garam, gula mereka anggap hanya sebagai pelengkap yang tidak dianggap perlu.
Pada tahun 1980-an kopi sudah mulai menjadi andalan perekonomian masyarakat sehingga kecenderungan masyarakat menanam kopi sudah mulai tumbuh, banyak masyarakat Gayo yang sebelumnya menanam tebu dan menghasilkan gula merah mengganti tanamannya dengan tanaman kopi, tanaman-tanaman seperti ubi (khususnya ubi jalar) ditanam diantara batang-batang kopi, demikian juga dengan cabe dan sayuran-sayuran lain. Tanaman tumpang sari yang ditanam tersebut berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup sebelum kopi berbuah untuk dijual. Penggantian tanaman dari tebu menjadi kebun kopi dilakukan oleh mereka yang memiliki tanah sendiri yang didapatkan dari warisan orang tua mereka.
Bagi mereka yang tidak memiliki lahan untuk menanam kopi utamanya anak-anak muda atau yang baru menikah, mereka mencari lahan untuk berkebun jauh dari kampung sampai sejauh sehari atau duahari berjalan kaki (bahasa Gayo muger). Pada awalnya mereka pergi ketempat ladang baru mereka paling lama satu minggu dalam batasan persediaan perbekalan yang sanggup mereka, tetapi setelah hutan ditebang dan pekerjaan yang sangat berat telah selesai mereka membawa keluarga juga dalam waktu yang tidak lama. Setelah itu mereka yang hidup sebahai peladang ini, untuk memenuhi kebutuhannya mereka biasa menanam tembakau sehingga pada tahun 1980-an tembakau Gayo sangat dikenal diluar Gayo. Dan inilah awal orang Gayo menjadi pedagang di daerah pesisir.
Bertambah besarnya pohon kopi masyarakat peladang, maka tanaman tembakau perlahan hilang, karena tunpuan hidup masyarakat sudah beralih dari tembakau kepada kopi, kendati pada awal 1980-an kehidupan petani kopi belum juga menjanjikan karena itu mereka yang mempunyai kebun kopi tetap sebagai petani sawah.
Pendidikan anak dalam bidang agama yang sebelumnya diajarkan dirumah-rumah tengku sudah mulai berkurang, ini disebabkan beralihnya generasi yang mengajar anak-anak dari tengku yang mempunyai pengetahuan adat, budaya, sejarah dan agama secara menyeluruh kepada tengku yang mengajar anak-anak dengan memfokuskan diri pada mempelajari ilmu agama dengan mengurangi pengetahuan adat, budaya dan sejarah atau juga bisa kita katakan sebagai peralihan dari metode pembelajaran yang tidak mengandalkan kitab kepada pembelajaran yang mengandalkan kitab.
Kendati pernah terjadi perdebatan antara Tengku Silang yang menganut paham kaum tua dengan Tengku Abdul Djalil (Tengku Djali) yang menganut paham kaum muda di tahun 1960-an tampaknya tidak banyak berpengaruh kepada amal ibadah masyarakat, seperti kita lihat banyak mushalla (mersah) yang shalat tarawihnya 11 (sebelas) rakaat tetapi mulai malam 16 (enam belas) mereka pakai kunut, ini artinya masyarakat ketika tidak terikat sangat menghargai kebebasan dalam melaksakan ibadah, tetapi ketika suda mulai terikat dengan kitab dalam masyarakat banyak terjadi diskusi pelaksanaan ibadah yang terkadang berakhir dengan perpecahan bahkan sampai kepada menkafirkan.
Masuknya TV kerumah sebagian orang di Gayo yang ditonton secara beramai-ramai banyak memberi perubahak kepada masyarakat dalam segala segi kehidupan, yang sebelumnya masyarakat tidak sering mendengar bahasa Indonesia menjadi lebih sering, sebelumnya mereka hanya mendengar nama dan suara tokoh melalui radio menjadi melihat gambar bagaimana tokoh tersebut berbicara, sebelumnya mereka mereka hanya berpakaian sederhana dan tradisional menjadi melihat dan berkeinginan memakai pakaian sebagaimana layaknya orang hidup di kota. Demikian juga dengan pergaulan yang sebelumnya menjadikan semua orang satu kampung sebagai saudara yang tidak boleh menikah kemudian menjadikan agama sebagai alasan bahwa agama telah menentukan orang-orang yang boleh dan tidak boleh dinikahi sedangkan pada dasarnya adat Gayo telah menentukan batas kalau satu kampung (sara urang) menikah maka hukuman yang diberikan adalah faraq (jeret naru).
Kekhawatiran terhadap rusaknya moral sebagai akibat dari masuknya TV ke Gayo membuat masyarakat secara keseluruhan menjadi resah, pakaian dan perilaku yang meniru adat dan budaya yang berbeda dengan adat dan budaya yang dimilki masyarakat tidak lagi sekedar menjadi pembicaraan tetapi sudah menjadi amalan. Pakaian perempuan yang berbentuk celana sudah mulai dipakai walaupun masih terbatas, pergaulan pemuda dan pemudi sudah mulai melanggar adat dan budaya masyarakat. Akibat dari kekhawatiran terhadap pergaulan dan perilaku yang mengarah pada pelanggaran norma adat, maka pembicaraan tentang jilbab untuk anak di lembaga pendidikan mulai diperketat yang sebelumnya untuk anak kelas 1 sampai kelas 3 boleh tidak berjilbab menjadi harus memakai jilbab.
Tidak kalah menariknya bila kita lihat pertarungan budaya yang masuk dari luar Gayo melalui media dengan budaya yang ada di dalam masyarakat Gayo, budaya yang masuk dari luar menjadikan rasionalitas dan teknologi sebagai bingkai berprilaku sedangkan masyarakat tradisional menggunakan mistis sebagai sugesti untuk menambah daya kepercayaan dan kekuatan diri. Media sudah mulai menampilkan keindahan fisik sebagai standar ketertarikan seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau juga sebaliknya menjadikan ketampanan seorang laki-laki sebagai daya tarik, sedangkan sebelumnya dalam masyarkat Gayo yang menjadi standar seseorang adalah kebaikan moral individu dan kejelasan asal usul keturunan. Sehingga pada awal tahun 1980 banyak orang-orang yang beraliran mistis menggunakan mantra untuk mempercantik diri (doa pemanis) dan banyak para pemuda dalam mencari jodoh juga menggunakan mistis (mantra) dan pada waktu itu tidak ada pemuda yang tidak menghapal atau mengetahui ilmu (mantra) untuk mendapatkan jodoh, kebenaran pila hidup dengan pola mistis ini terbukti di tahun 1988 lahirlah lagu yang diciptakan oleh Miga Gundala dari Group Singkite tentang mantra dalam mencari jodoh, yang dibakan dengan “user-user batang gelasih…”
Tahun 1980-an jarak tempuh perjalanan masyarakat masih sangat jauh, betapa tidak bila berbanding dengan sekarang (tahun 2000-an) jarak Takengon dengan Pondok Baru dapat ditempuh dengan masa 30 menit (setengah jam) dan para siswa bisa bolak balik pergi sekolah di tahun 1980 anak yang sekolah di Takengon sebulan sekali baru pulang ke kampung. Itulah perbandingan jauhnya antara Takengon dengan Pondok Baru antara tahun 1980-an dan tahun 2000. Transportasi yang digunakan pada tahun 1980-an adalah angkutan umum yang sangat jarang dan pemumpang selalu penuh sampai ke atas-atas mobil. Sedangkan untuk alat transportasi laut (Lut Tawar) masing menggunakan kapal bila ingin berbelanja dari Bintang dan sekitaran Laut Tawar ke kota Tekengon atau juga sebaliknya dari kota Takengon menuju Bintang.
Demikianlah sekilas gambaran budaya Gayo di tahun 1980-an