
Bongkahan batu mulia jenis Giok yang dikenal masyarakat Gayo belum lama ini ternyata memiliki sisi lain yang berbeda. Jika dilihat dari sisi ekonomi masyarakatnya, sudah dapat dipastikan banyak orang kaya baru disetiap kampung dimana giok di jumpai. Seperti di Kecamatan Linge, Jagong dan Atu Lintang, masyarakat disana umumnya saat ini memiliki sumber mata pencaharian baru, mencari kemudian menjual bongkahan batu giok yang dicari dari alam ciptaan Allah SWT ini.
Sisi lain dari hasil penjualan batu giok, ternyata ada da’wah dibalik bongkahannya. Seperti yang dilakoni Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Linge, Mahbub Fauzie. Dirinya menjalankan da’wah dari sisi pengeluaran zakat, infak dan sadaqah dari penghasilan jual beli yang dilakoni masyarakat.
Menjalankan misi da’wah selaku Kepala KUA yang salah satu tugasnya sebagai koordinator pembina, pengawas Baitul Mal Kampung, dalam upaya membenahi pemberdayaan zakat di Kampung berserta manajemen zakatnya, tidak lah mudah dilakukan.
Mahbub sapaan akrab ayah tiga anak ini, dimana awal-awal hangatnya giok Gayo diperbincangkan, tidak terlalu bersemangat mengikuti detik demi detik perkembangan batu giok. “Awalnya saya cuek-cuek saja menanggapi perkembangan batu giok ini,” kata Mahbub kepada LintasGayo.co, Senin 29 Desember 2014.
Namun karena misi da’wah yang diembannya, Mahbub akhirnya bergeming mengikuti perkembangan jual-beli dari bongkahan batu Giok. Dia pun harus melakukan jual-beli giok dalam menjalankan misi da’wah itu. Apa saja misi da’wah yang terdapat didalam bongkahan batu giok?, Mahbub menjelaskan bahwa setiap transaksi jual beli dalam bentuk apapun termasuk giok, maka setiap harta atau uang yang dihasilkan harus dikeluarkan zakatnya (zakat tijarah = zakat dari hasil jual beli).
Pun begitu, proses pengeluaran zakat ijarah tentu harus melalui mekanisme benar yang diatur oleh agama, setiap zakat ijarah dikeluarkan haruslah sampai haul (jangka masa setahun) dan nisab nya. “Karena giok Gayo proses jual belinya belum sampai setahun, makan haul zakatnya juga belum wajib, jika sudah sampai haul nya, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 persen,” kata Mahbub.
Ketika ditanya bagaimana menghitung nisab zakat dari bongkahan batu giok yang sudah sampai jangka waktu setahun, Mahbub menjawab jika penjualan giok sudah sampai nisab (konversi dalam harga emas senilai 94 gram emas) dan haul juga nya telah sampai maka zakatnya wajib dikeluarkan.
“Pertanyaan lain yang muncul, berapa nilai uang dari penjualan batu giok yang wajib dikeluarkan zakatnya, tinggal di konversikan harga emas sekarang per gram nya berapa. Contoh, dalam setahun saya memperoleh penghasilan dari penjualan batu giok senilai 50 juta Rupiah, maka saya sudah wajib mengeluarkan zakat tijarah sebesar 2,5 persen. Mengapa demikian?, karena nisab nya sudah sampai, cara menghitungnya 94 gram emas dikalikan dengan harga saat ini, minsalnya 500 ribu rupiah per gram dikalikan 94 gram maka jumlah penghasilan mencapai 47 juta Rupiah. Nah penghasilan saya tadi kan 50 juta, maka diibaratkan saya sudah memiliki emas senilai 94 gram, dan sudah wajib mengeluarkan zakat,” terang kandidat Magister Ilmu Komunikasi Islam di UIN Ar-Raniry ini.

Nah, bagaimana dengan masyarakat Gayo yang menjual bongkahan atau barang jadi dari giok saat ini. Setelah berkonsultasi dengan beberapa ulama, sekarang ini penghasilan masyarakat Gayo dari giok belum masuk waktu setahun, maka haul nya juga belum sampai. Jika ada orang yang menyisihkan harta atau uangnya dari hasil jual beli giok masih dikategorikan sebagai infak atau sadaqah. “Masyarakat Gayo kan belum sampai setahun melakukan jual beli giok, jadi haul nya belum sampai, kategorinya masih infak atau sadaqah,” ujarnya.
Misi da’wah zakat, infak dan sadaqah dari penjualan batu giok inilah yang selalu diingatkan kepada warga Kecamatan Linge, tidak jarang saat bertemu imem atau reje kampung disana, Mahbub selalu mengingatkan agar masyarakat dibawah pimpinan reje dan imem kampung setempat agar menyisihkan sebagian rejeki yang diperoleh dari hasil penjualan giok.
“Melalui imem dan reje kampung kalau ketemu di jalan pun selalu saya ingatkan pentingnya mengeluarkan zakat, infak dan sadaqah, karena ini merupakan rejeki yang datangnya tidak kita duga dari bumi Gayo yang diberikan oleh Allah SWT, maka sisihkanlah sebagian rejeki dari penghasilan penjualan giok itu, begitu saya katakan kepada imem maupun reje di Kecamatan Linge, mereka juga mengapresiasi,” terang Mahbub.
Dalam menjalankan misi da’wah tersebut, Mahbub yang awalnya tak berminat dengan bisnis giok, akhirnya juga terjun menggeluti jual-beli ini. Hal tersebut dilakukannya untuk menepis anggapan masyarakat sekitar tentang da’wah yang dijalaninya terkait pentingnya zakat, infaq dan sadaqah dari hasil penjualan bongkahan giok.
“Kalau saya hanya sebagai penonton (tidak membeli giok dari mereka) kemudian berbicara da’wah, pasti orang mengira KUA ini asal ngomong. Selain itu, ketika saya menyampaikan pesan da’wah tidak ada kesan hanya bicara saja. Sisi lainnya adalah menghindari pemberian, tanpa terlibat langsung didalamnya,” kata Mahbub.
Setelah terjun langsung dalam jual-beli giok, dirinya bisa langsung ber da’wah kepada penjual batu giok. “Pernah saya mengatakan kepada seorang penjual giok saat saya membeli darinya, saat bertransaksi saya mengatakan, barang sudah sama saya dan uang sudah sama anda, tolonglah sisihkan sebagian dari rejeki itu untuk infak atau zakatnya, begitu saya selesai ngomong, dia langsung apresiasi dan senang diingatkan,” ujarnya.
Berbekal kampanye dalam berda’wah tersebut, kesadaran masyarakat Linge untuk mengeluarkan zakat, infaq dan sadaqah sudah mulai terlihat. Bahkan ada sebagian masyarakat yang telah mengeluarkan zakat dari penjualan batu mulia ini meski haul zakatnya belum sampai setahun.
“Jum’at lalu waktu menjadi khatib di kampung Gemboyah, imemnya mengumumkan zakat di kampung itu. Yang terkesan ada ucapan yang mengatakan zakat warga yang berasal dari giok, hal tersebut sah-sah saja walaupun haul nya belum sampai, tinggal menghitung 2,5 persen dari hasil penjualannya, agar begitu haul nya sampai jumlahnya tidak terlalu menumpuk, sehingga terasa berat mengeluarkan karena jumlahnya begitu dihitung sangat banyak, akhirnya zakat batal dikeluarkan,” tuturnya.
Selain, misi da’wah tersebut, dia juga merasakan silaturahmi yang sangat luar biasa dibalik bongkahan batu giok ini. “Selain da’wah, silaturahmi nya juga sangat luar biasa,”, demikian Mahbub Fauzie.
(Darmawan Masri)