Konser ‘Siar Smong’; Refleksi 10 Tahun Tsunami

oleh

Oleh : Win Wan Nur

PicsArt_1419585384138Hari ini 10 tahun yang lalu, pada hari Minggu, 26 Desember 2004 . Dunia dikejutkan oleh sebuah peristiwa maha dahsyat, Tsunami yang dipicu oleh gempa dengan kekuatan 8,9 skala richter dengan episentrum di lepas pesisir barat Pulau Sumatera.

Sebuah bencana yang menelan korban jiwa terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia. Ketika Tsunami menyapu kota-kota dan pemukiman yang terletak di pesisir laut Andaman dan Samudra Hindia, mulai dari Nias sampai Somalia.

Saat itu alam menunjukkan betapa kecilnya manusia. Betapa tidak berdayanya manusia dalam melawan kekuatan alam yang sedahsyat itu. Di hadapan kekuatan dahsyat seperti itu, tak ada namanya bangsa Teuleubeh tak ada ras rendahan, semua sama tak berdayanya.

Aceh, negeri yang paling parah terdampak bencana ini. Hancur porak poranda. Bagi kita yang tinggal atau berasal dari provinsi paling barat Indonesia ini. Tak seorang pun dari kita yang tidak mengalami kehilangan kerabat, sahabat atau sanak saudara.

Tapi, selalu ada hikmah dari setiap peristiwa. Peristiwa dahsyat yang menyentakkan dunia ini menyadarkan umat manusia yang hidup di planet bumi yang sama ini. Bahwa kita, semua manusia adalah satu, kita semua bersaudara.

Belum pernah ada dalam sejarah peradaban manusia, pertunjukan solidaritas atas sesama, yang sedemikian besarnya.

Orang-orang dari berbagai negara berbondong-bondong memberikan bantuan. Tidak ada yang memikirkan sekat-sekat yang selama ini membuat umat manusia terkotak-kotak. Tak ada sekat suku, negara, ideologi bahkan agama. Barat, Timur, Utara, Selatan entah itu beragama Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Agnostik sampai Atheis sekalipun ikut berpartisipasi memberi bantuan atas sebuah dasar yang sama KEMANUSIAAN.

Hikmah lain dari peristiwa ini adalah pelajaran kepada kita semua. Bahwa, alam mustahil untuk dilawan. Alam ada untuk dimengerti dan dipahami, bukan untuk ditaklukkan.

Pada peristiwa yang begitu dahsyat ini. Warga pulau Simeulue, wilayah yang posisinya paling dekat episentrum gempa, mengajarkan kepada kita semua bagaimana alam itu dipahami.

Leluhur penduduk Simeulue, telah mengajarkan melalui kesenian bernama ‘Nandong’. Dalam lengkingnya yang seolah mewakili kekuatan alam, bahwa manusia adalah makhluk ciptaan dari Yang Mahakuat yang harus selalu siap menghadapi tantangan.

PicsArt_1419585409808Dalam salah satu liriknya, Syair ‘Nandong’ mengajarkan pada masyarakat Simeulue bahwa kalau terjadi gempa besar, dan air laut mulai surut, segeralah mencari tempat yang tinggi. Karena itu adalah pertanda akan terjadi apa yang mereka sebut SMONG, peristiwa alam yang sekarang lebih dikenal dengan nama Jepang-nya “TSUNAMI’.

Magis syair ini tanpa terasa, ternyata telah menyatu dengan kesadaran warga Simeulue sehingga berhasil menjadi sistem peringatan dini ketika tsunami pada tahun 2004 menyapu seluruh pesisir pulau.

Melihat kehancuran yang menimpa belahan Aceh yang lain, Meulaboh, Jeuram, Lamno, Lhoong, Leupung, Lhoknga, Lam Puuk sampai Banda Aceh yang menelan korban sampai lebih dari 200 ribu jiwa, bahkan Somalia yang terletak 4500 kilometer jauhnya kehilangan lebih dari 300 warganya. Simeulue pulau berpenduduk 72.000 Jiwa yang hampir seluruhnya tinggal di pesisir yang terletak hanya 41 mil saja dari pusat gempa, ‘hanya’ kehilangan 7 orang warganya. Itupun empat di antaranya, menghembuskan nafas terakhir di pengungsian. Nyaris sulit dipercaya.

Refleksi atas peristiwa inilah, 10 tahun yang lalu inilah yang kemudian dihadirkan kembali oleh “Komunitas Siar Smong” yang digawangi oleh putra Gayo, Fikar W. Eda, Yoppi Andri asal Simeulue, Yoyok Harness, Putra Jawa yang sangat mencintai Aceh dan Jassin Burhan, pemain Cello asal Sumbar serta Kamaruddin dan Ali Umar, dua orang seniman Nandong yang khusus didatangkan dari Pulau Simeulue. Dalam sebuah rangkaian konser mulai dari tanggal 21 sampai 24 Desember 2014, di Pulau Bali.

Pulau Bali, dipilih bukan tanpa alasan. Bali adalah gerbang dunia, Bali adalah miniatur Planet Bumi dalam konteks budaya. Segala budaya dari penjuru nusantara dan dunia bisa ditemukan di sini. Atas dasar inilah Bali dipilih sebagai tempat untuk menyiarkan kearifan ini. Sekaligus untuk mengucapkan terima kasih kepada Nusantara dan Dunia yang pada tahun 2004 telah bersama-sama membantu Aceh untuk bangkit kembali.

Melalui seni, Fikar W. Eda mengingatkan kembali kepada umat manusia, bahwa ketika sekat-sekat dibuang. Kita semua adalah saudara, kita hidup di bawah langit yang sama. Berbagi ruang di bumi yang sama.

Ini semua tercermin dengan sempurna pada setiap tahapan konser, bagaimana penghargaan begitu besar diterima dari warga Bali pada konser hari pertama di Mangsi Coffee. Kemudian apresiasi begitu tinggi diberikan warga dunia yang menetap di Bali, pada konser hari kedua di Ubud, suasana persaudaraan penuh keakraban yang ditunjukkan oleh para seniman Bali yang menghadiri konser hari ketiga di Penggak Men Mersi, Kesiman. Dan puncaknya, bagaimana para pengunjung dan seniman dari pelbagai negara menyatu, bergabung dan berpartisipasi dalam konser puncak pepohonan di Villa Como Shambhala.

Bagaimana John Dumas, pemain Didgeridoo asal Hawaii secara spontan bergabung menambah kesan dramatis saat Fikar meneriakkan puisi Tsunami. Dua pemain alat musik Afrika menambah ritme dan keharuan. Sarah asal Australia yang menangis haru, meneteskan air mata saat mendengarkan bait-bait puisi yang dihadirkan dengan iringan musik.

Tsunami mengajarkan kita tentang keikhlasan dan kearifan. Bagaimana mengikhlaskan kehilangan harta benda dan paling berat, kehilangan orang-orang yang dicinta.

Tentang ini, Raja Bali dari Puri Agung Kesiman: A.A. Ngr Gede Kusuma Wardhana, dalam sebuah bincang-bincang akrab ketika beliau sengaja mengundang Tim ‘Komunitas Siar Smong” ke Istananya. Dengan bijak mengatakan, bahwa lebih dari 200 ribu saudara kita yang berpulang pada 2004 silam bukanlah korban, mereka telah diambil oleh yang kuasa untuk mendapatkan kedamaian. Justru kita yang tersisa ini lah yang lebih pantas disebut korban, karena masih harus berjuang dan bertarung dengan kerasnya kehidupan dan melawan segala kemunafikan.

Saat kita terpecah belah karena pemilu 2014 yang efeknya masih terasa sampai sekarang, ketika kita masih larut dalam kebencian dan saling caci maki. Ketika kita atas nama Agama dengan begitu jumawa menghakimi dan melecehkan orang-orang yang berbeda pandangan, peristiwa 2004, mengingatkan kita kembali. Tsunami 2004, juga mengajarkan, bahwa ketika kita melupakan politik, ketika kita membuang segala keangkuhan. Kita semua adalah saudara.

Kita hidup di bawah langit yang sama, kita hidup di atas bumi yang sama. Di atas lempeng yang bergerak yang setiap saat bisa merengut hidup orang-orang yang kita cintai dan juga hidup kita sendiri. Karena itulah, alam harus kita mengerti dan kita akrabi. Sebagaimana yang diteriakkan oleh Kamaruddin dan Ali Umar dalam bait-bait Nandong ini

“Smong uweik rume rumemu, Linon awak awakmo. Elaik keudang keudangmo, Kilek suluh suluhmo. Smong adalah air mandimu, gempa ayunanmu, petir adalah gendangmu, halilintar adalah lampu-lampumu”. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.