Ma’af teman-teman dan pembaca LintasGayo.co lainnya, rangkaian cerita perjalanan Qien Mattane Lao ke Eropa sempat terputus hingga bagian 6. Maklum, dia kan anak sekolahan, banyak tugas dan banyak lagi kesibukan lainnya termasuk hobinya saat liburan, ya jalan-jalan bahkan hingga sempat ke Jepang beberapa pekan lalu. Nah sekarang Qien Mattane Lao melanjutkan catatan perjalanannya selama 10 hari menjelajah Eropa.
[10 Hari Menjelajah Eropa (bag 7)]
Oleh : Qien Mattane Lao*
Dari Belgia, kami melanjutkan perjalanan ke negeri Belanda. Negara eropa yang memiliki kedekatan emosional paling erat dengan kita Indonesia. Sebab seperti yang kita pelajari dari sejarah, Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun.
Kedekatan ini masih terasa dengan banyaknya orang yang bisa berbahasa Indonesia. Beberapa papan nama dan peringatan di sana juga ditulis dalam bahasa Indonesia. Makanan juga begitu, dibanding negara Eropa lain. Di Belanda paling mudah menemukan masakan Indonesia.
Tapi berbeda dengan Indonesia, negeri Belanda sangat bersih, rapi dan teratur. Rumah-rumah mereka meskipun kecil, tapi dibangun sangat rapi dan teratur. Meskipun kecil, rumah-rumah di sini sangat bagus.

Terus, di Belanda juga banyak kanal-kanal dan bendungan. Maklumlah, negeri Belanda, letaknya memang di bawah permukaan laut. Karena itulah banyak kota di negeri Belanda memiliki akhiran DAM yang artinya pintu air.
Kota pertama yang kami kunjungi adalah Volendam. Kota ini ukurannya tidak lebih besar dari Kute Takengen dan juga terletak di tepi air. Bedanya, Takengen terletak di tepi danau Laut Tawar, Volendam terletak di tepi laut.

Tapi tidak seperti Takengen yang semrawut, Volendam sangat rapi dan teratur. Rumah-rumah di Volendam dibangun sangat teratur dan rapi, lingkungan juga sangat bersih. Pasar juga sangat bersih dan teratur, sangat berbeda dengan pasar pagi di Takengen yang letaknya tidak jauh dari pendopo bupati. Yang disamping semrawut juga menyebarkan aroma tidak sedap kemana-mana.
Pembeda lain, kalau di Takengen sangat banyak motor dan becak mesin. Di Volendam, pemandangan seperti itu sama sekali tidak kita temui. Warga di sana umumnya menggunakan sepeda untuk transportasi jarak dekat, bahkan mobil juga jarang. Sepertinya lebih banyak mobil di Takengen daripada di Volendam.
Berbeda dengan di Perancis, dimana anak-anak sekolah biasanya ke sekolah naik bis. Di sini anak-anak berangkat ke sekolah juga naik sepeda.

Untuk menempuh jarak yang lebih jauh, baru mereka menggunakan bis umum. Tapi bis umum di sini sangat bagus, tidak seperti labi-labi di Takengen. Bisnya lebih panjang daripada bis yang ada di Indonesia, juga lebih lebar. Warnanya kuning seperti bis di film-film kartun. Selain bis, untuk perjalanan jauh , mereka juga menggunakan trem.
Air di teluk yang menjadi cirri kota Volendam juga sangat bersih dan kapal-kapal yang ada di sana semua teratur. Sangat berbeda dengan Laut Tawar yang letaknya tepat di depan rumahku. Mulai dari Bale sampai ke One-one, semrawut dengan kolam terapung dimana-mana.
Volendam juga sejuk, tanaman ada di mana-mana. Seperti foto rumahku di Dedalu, dulu waktu aku belum lahir dan belum diubah menjadi Panti Asuhan. Penuh bunga dimana-mana. Apalagi sejuknya udara Volendam di musim semi seperti ini sangat mirip seperti sejuknya hawa di Takengen.
Keunikan lain Volendam adalah, banyaknya kincir angin khas Belanda seperti yang banyak kita lihat di foto-foto dan film yang bercerita tentang Belanda.

Demikian dulu ceritaku tentang Volendam, nanti akan aku lanjutkan dengan cerita di Amsterdam.
*Penulis adalah putri Gayo asal Kute Rayang, Isak. Kelahiran Desember 2004
Baca juga
– 10 Hari Menjelajah Eropa (bag 6)