Qurban dan Pembentukan Moral

oleh

Oleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA*

Dua hari raya dalam kehidupan muslim, yaitu hari raya idul fithri dan idul adha. Idhul adha dalam riwayat disebutkan adalah hari raya yang lebih besari dinanding dengan hari raya idhul fithri. Sejarah panjang terbentang di dalam al-Qur’an yang mengisahkan bagaimana kehidupan keluarga Ibrahim bersama isteri Siti Sarah dan anaknya Ismail, merka hidup dalam kerukunan sebagaimana layaknya keluarga yang lain, namun karena keluarga Ibrahim adalah keluarga Nabi tentu sangat sarat dengan cobaan dan perjuangan yang selanjutnya akan dijadikan panduan dalam kehidupan umat manusia.

Sebagai manusia yang bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Pencipta yang telah membiasakan diri menyembelih hewan untuk dibagikan kepada orang-orang yang berkeinginan dan membutuhkan terhadap pemberian Ibrahim, satu waktu beliau diuji oleh Tuhan tentang ketaqwaan yang dimilikinya, Tuhan memerintahkan beliau untuk menjadikan anak satu-satunya yang ia miliki sebagai Qurban dan harus beliau sembelih sendiri. Tetapi dengan ketaqwaan yang dimiliki beliau siap melakukannya dengan keyakinan itulah jalan terbaik untuk menuju kesempurnaan ketaqwaan, dengan menghilangkan sifat egois sebagai manusia beliau tidak melaksanakan perintah dengan tidak meminta pendapat anaknya yang akan disembelih, setelah melihat waktu dan keadaan yang tepat Ibrahim berbicara kepada anaknya bahwa beliau mendapat perintah dari Tuhan untuk menyembelih dirinya untuk dijadikan qurban sebagai bukti ketaqwaanya kepada Tuhan.

Ismail yang juga seorang Nabi memahami arti dari sebuah ketaqwaan sehingga dengan ketaqwaan yang ia miliki ia rela disembelih dijadikan sebagai qurban dan memberikan keyakinan kepada Ibrahim kalau memang itu perintah Tuhan silakan untuk dikerjakan niscaya Ibrahim akan mendapatkan nilai yang lebih baik dari qurban yang dilakukan. Demikian juga dengan Siti Sarah tidak pernah menganggap apa yang dilakukan Ibrahim sebagai perbuatan yang didasari oleh kebodohan karena Siti Sarah juga yakin bahwa perbuatan Ibrahim yang disetujui Ismail merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Mencermati riwayat tersebut kita bisa menemukan sebuah pemahaman kalau kelarga Ibrahim adalah orang-orang yang sangat dekat denga Tuhan, mereka kenal betul dengan Tuhan, mereka memposisikan Tuhan sebagai pemilik diri mereka, sehingga untuk melahirkan kepatuhan terhadap perintah Tuhan tidak begitu sulit ditemukan. Kepasrahan akan takdir Tuhan tercermin dari kerelaan yang mereka miliki, kepatuhan Ibrahim kepada Tuhan tidak serta merta mengabaikan posisi Ismail sebagai orang yang harus dihormati akan haknya, demikian juga dengan isteri Ibrahim yang mempunyai kewajiban dalam membesarkan Ismail, untuk ini juga Ibrahim tidak pernah mengabaikan untuk meminta pemdapatnya. Tapi akhirnya semua menyadari bahwa Hak Tuhan untuk disembah mengalahkan hak-hak yang lain, mentaati diperintah Tuhan lebih utama dari semua perintah.

*Redaktur rubrik Tafakkur media LintasGAYO

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.