[Resensi Buku] Pengantin Langit

oleh

[Resensi Buku]

Buku-Antologi-Puisi-Anti-Teroris
Antalogi Puisi Menolak Terorisme:
Sastra Bisa Menjadi ‘Amunisi’
Oleh Usman D.Ganggang*

Judul Buku : PENGANTIN LANGIT
Editor  : Bambang Widiatmoko & Soffa Ihsan
Penerbit : Kerja Sama BNPT; Lembaga Daulat Rakyat dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI)
Tahun Terbit : 2014.

Antalogi puisi berjudul “Pengantin Langit’ ini, hadir di tengah pembaca, bertolak dari pergulatan nurani sastrawan terhadap fakta riil di lapangan, dalam hal ini, mereka menyaksikan sendiri, betapa keji dan ganasnya kekerasan , dan terorisme. Bagaimana tidak? Tanpa harus menggelandang imajinasi ke sana ke mari , penyair tokh saksikan sendiri, di mana-mana mayat bergelentangan. “Tubuh- tubuh terkoyak, jiwa-jiwa meratap disambar bom yang menyalak”, ujar Ketua Komunitas Sastra Indonesia , Bambang Widiatmoko, dalam catatannya sebagai editor. Lalu Mayjen TNI Agus SB Deputi I Bidang Pencegahan, Perlindungan , dan Deradikalisasi BNPT dalam Kata Pengantar Buku ini mengakui hal di atas. Itu sebabnya beliau mengakui, “Peran Budayawan dan Seniman dalamMencegah Terorisme”,sangat penting artinya, sebab diakui bahwa karya sastrawan dalam buku ini, dapat memberi kontribusi terhadap penguatan upaya pencegahan terorisme kini, dan masa yang akan datang.

Badan Nasional Penanggulangan Teroriseme (BNPT) dan Lembaga Daulat Bangsa serta Komunitas Sastra Indonesia, tidak keliru kalau pada akhirnya, mengundang sastrawan untuk menyumbang karya puisi dan setelah terkumpul , proeses seleksi yang ketat pun akhirnya dilakukan terhadap karya yang beragam itu. Disadari, para penyair, mempunyai kekuatan dalam meredam kekerasan seperti terungkap di atas. Sastrawan mempunyai solusi, atau langkah praktis mengantisipasi masalah kekejian, kekejaman, kekerasan dan terorisme, adalah melalui penanya. Maka karya penyair pun diterbitkan dalam bentuk buku antalogi bertajuk “Pengantin Langit”. Tercatat 50 penyair Nasional, dalam buku ini. Mereka hadir dari Aceh sampai NTT, dari Menado sampai Hongkong.

Bermodal dari tema “Tolak Terorisme”, yang disodor panitia, para penyair pun mengaum , lalu bertanya, “Mengapa tidak ada penyesalan dalam diri teroris? Mengapa malah berbangga telah menaburkan ‘pesan langit’?” Iya, mengapa bangga dengan itu semua? Jawabannya, karena ia berlanggam ideologis dan keagamaan sempit yang nyaris dilumerkan. Tidak salah kalau Ketua Komunitas sastra Indonesia, Bambang Widiyatmoko, mengutip Rene Girand, betapa hubungan yang suci dan kekerasan mengungkapkan suatu “hasrat mimetic” manusia.

Para penyair, ternyata, mereka mengaum benaran dalam Buku “Pengantin Langit” ini. Sastra melesak dari jiwa-jiwa kepedulian yang bermata air dari kegalauan, keperihatinan dan kepedihan. Ia menjadi pengembaraan kata-kata yang melampaui realitas baku, kaku, dan segala rupa verbalitas. Para penyair hadirkan energy yang merupakan hasil dari ‘intuisi kreatif-nya’. Hasilnya? Kebekuan dicairkan, kenyataan diwartakan, misteri disingkapkan dan energy makna menghablur selaras dengan kedalaman jiwa yang terus bertafakur. Alhasil, terbitlah pencerahan yang akan terus menyinari cita kedamaian, cinta kasih dan persaudaraan. Seperti terungkap dalam salah satu penggalan puisi berikut ini: “Saudaraku, aku ingin jihad dengan caraku sendiri”, ungkap Jack Efendi, penyair dari Mojokerto.

Iya,sekedar ambil contoh, Jack Efendi, mengaum:/ aku ingin menjadi syuhada seperti perintah agama/ bukan dengan anyir darah yang membasah/ akibat dentuman mesiu yang membahana / atau deretan luka yang tercipta di sebujur raga/aku ingin syuhada dengan jalanku sendiri/mati ketika jihadmencari nafkah demi anak istri/meregang nyawa kala bersimpuh mereguk ilmu dengan para santri//. Lalu Matroni Muserang berang dalam “Engkau”,:/ Engkau anggap dirimu benar pada Tuhan/Padahal manusia banyak ragam dalam dirinya dan kediriaannya. Sementara Agus Sri Danardana menyindir, “Teroris” :/ Seumpama kayu/Kau bukan perindu bagi api yang akan menjadikannya abu/ seumpama awan/ Kau bukan penunggu hujan yang akan membuatnya tiada//.

Ngauman-ngauman  para penyair seperti terdeskripsi di atas,rasanya cukup ekspresi f, terutama dalam hal mengatakan latar kehidupan. Di sana ada deskripsi ketidaksetujuan terhadap kekejian serta kekerasan, di sana pula terdeskripsi kesedihan terjadi keregangan nyawa serta deskripsi sindiran keras buat mereka yang selalu melakukan kekerasan. Iya, jika disimak betul, maka di sana ada komparasi kata-kata yang pada akhirnya dapat meninggalkan kesan pada makna. Meskipun tidak disinggung latar tempat, tetapi pembaca pasti paham, di mana peristiwa-peristiwa di atas terjadi. Dan di sini penyair berusaha membuka ruang buat pembaca untuk berpikir lebih jauh, bahkan menghadirkan tanya, baik terkait tema maupun terkait amanat yang terkandung di dalam puisi-puisi tersebut.

Puisi-puisi penyair lainnya, juga berusaha membuka ruang buat pembaca untuk bertanya. Apalagi, terkait tema yang diangkat, para penyair cukup matang dalam penyajian tema, pilihan kata (diksi) dan makna terkandung di dalamnya. Kokretnya, aspek intesifikasi dan asptek konsentrasi memang diperhatikan betul oleh penyairnya. Sehingga aspek imaji pun terasa mengambol tempat. Apalagi kalau kita berhadapan dengan karya penyair yang bait-baitnya cukup panjang, bercerita tentang tujuan yang menjadi bagian dalam puisinya.Konkretnya, konsentrasi para penyair di sana, tetap terjaga atau terikat sehingga makna-makna puisinya, baik yang tersurat maupun yang tersirat terasa mengambil tempat.

Mencermati isi karya sastra para penyair dalam buku yang bertema “”Menolak Terorisme”, akhirnya kita berkesimpulan, sastra ternyata bisa menjadi artikulasi dalam mewujudkan perdamaian dan seiring itu sastra bisa menjadi ‘amunisi’ untuk berperan aktif menanggulangi dan mencegah terorisme.

Nah, apakah karya sastra sastrawan yang terkumpul dalam buku Antalogi “Pengantin Langit” ini sudah menjawab bahwa sastra bisa menjadi ‘amunisi’? Silakan beli bukunya. Bahwa di sana ada kekurangan dan kelemahan, itu diakui. Bagaimanapun juga, para sastrawan Nusantara sudah hadirkan gelora ‘jihad sastrawan’. Ini terbukti, ada 84 judul yang ditampilkan dalam buku ini, ditulis 50 sastrawan Nasional.

Sumber: kompasiana.com,  27 September 2014

Usman-D.GanggangUsman D.Ganggang adalah penyair dari Nusa Tenggara Timur yang saat ini tinggal di Manggarai Nusa Tenggara Barat, dikalangan seniman Indonesia ia dikenal dengan nama Penyair Timur.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.