Waspadai penyerangan Islam, membuka pintu pemurtadan

oleh

Oleh : Endang Sutiah Pane,MSi*

ISLAM adalah agama yang diturunkan Allah Swt kepada Rasul-Nya Muhammad Saw yang mengatur hubungan manusia dengan penciptanya (Allah), dengan dirinya sendiri dan dengan sesamanya. Islam diturunkan Allah dalam rangka menyelesaikan permasalahan seluruh manusia, bukan hanya permasalahan kaum muslimin saja. Namun pada saat ini, ketika tidak ada institusi (negara Khilafah) yang menerapkannya dan yang menjadi penjaganya, maka permasalahan yang dihadapi manusia khususnya kaum muslimin tidak terselesaikan dengan benar. Kalaupun ada solusi, solusinya salah dan justru menambah masalah. Tidak hanya itu saja, banyak terjadi upaya-upaya untuk merusak Syariat Islam yang dilakukan oleh orang-orang yang membenci Islam juga sulit untuk dicegah. Karena penjaga Syariat Islam (negara Khilafah) itu tidak ada. Selain itu, kaum muslimin sering tidak menyadari kalau Syariat-Nya sedang dirusak (karena pemahaman Islamnya yang lemah dan kurangnya kepedulian mereka terhadap agamanya).

Untuk yang kesekian kalinya, Syariat Islam kembali diserang. Seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Anbar Jayadi bersama empat orang temannya menggugat UU Pernikahan ke MK. Menurut dia, Pasal 2 ayat 1 UU No 1/1974 yang berisi “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamnya dan kepercayaan itu” telah menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama di Indonesia (kompas.com, 4/9).

Jika pernikahan beda agama dilegalkan MK, maka ini bisa memicu munculnya pihak lain yang menginginkan ragam pernikahan yang dilarang Islam itu dilegalkan dengan alasan HAM dan sebagainya. Pernikahan sedarah, pernikahan sejenis dan praktik-praktik perzinahan yang lain akan diminta dilegalkan. Selain itu, selama ini pernikahan beda agama menjadi jalan bagi upaya pemurtadan. Apalagi jika dilegalkan, upaya permutadan akan semakin gencar.

Padahal jelas didalam Islam penikahan beda agama diharamkan. Seorang wanita mukmin diharamkan menikah dengan pria kafir. Sedangkan pria mukmin diharamkan menikahi wanita musyrik (selain yahudi dan nasrani) baik Budha, Hindu, Konghucu, aliran kepercayaan dan lainnya. Adapun pernikahan pria mukmin dengan wanita ahlul kitab (yahudi atau nasrani) adalah halal/boleh, namun dibatasi hanya dengan wanita ahlul kitab yang muhshanat yaitu ‘afifat (yang senantiasa menjaga kesuian dan kehormatannya).

Dimasa sekarang yang penuh dengan kebebasan berprilaku tentu sulit ditemukan wanita yang memiliki sifat  ‘afifat itu. Walaupun dibolehkan pernikahan pria muslim dengan wanita ahlul kitab yang muhshanat tetap bisa mendatangkan banyak masalah dikemudian hari.

Kebebasan berperilaku masyarakat dunia saat ini menjadi alasan munculnya gugatan penikahan beda agama. Setiap orang bebas menentukan sikapnya termasuk dalam memilih pasangan hidup. Karena itu memang hak setiap orang. Agama tidak boleh membatasi setiap orang dalam menentukan keinginan-keinginannya. Masyarakat dunia saat ini adalah masyarakat sekuler. Agama dibatasi hanya mengatur urusan individu dengan Tuhannya, diluar itu agama tidak boleh lagi berperan dalam mengatur kehidupan masyarakat. Agama hanya berlaku dirumah ibadah, tapi ditempat-tempat umum agama diabaikan.

pernikahan beda agama dan pernikahan yang dilakukan dengan akad yang menyalahi Syariah Islam seperti di catatan sipil, secara syar’i adalah batil. Walaupun secara administrasi sah dan dilegalkan negara, dalam pandangan Islam pernikahan itu tetap batil, tidak sah. Ada beberapa konsekuensi dari penikahan batil semacam ini. Pertama, hubungan suami istri menjadi tidak sah dan dianggap layaknya berzina. Kedua, pertalian nasab bapak biologis dengan anaknya terputus. Bapak biologisnya tidak diakui sebagai walinya karena nasabnya terputus. Ketiga, hukum nafkah bagi bapak biologisnya juga tidak ada. Keempat, antara bapak biologis dan anak biologisnya tidak ada hubungan waris. Kelima, jika bapak biologis itu menjadi wali anaknya yang merupakan hasil nikah beda agama, maka status kewaliannya juga tidak sah. Dampaknya, akad pernikahan anak itu juga tidak sah, dan hubungan suami istrinya pun tidak sah.

Akar masalah dari semua itu karena Islam tidak lagi dijadikan sebagai pedoman hidup. Islam tidak lagi menjadi penentu benar dan salah. Islam tidak lagi dijadikan dasar dalam mengambil setiap keputusan. Akibatnya, lahir individu-individu yang tidak mau terikat dengan Islam. Bahkan mereka menuntut supaya pelanggaran mereka dilegalkan. Selain itu, dikarenakan negara tidak menjadikan Islam sebagai sumber, pedoman dan hukum positif, maka penistaan dan perusakan terhadap kehidupan beragama umat Islam dan terhadap Islam sendiri akan terus terjadi. Solusi untuk menyelesaikan pemasalahan ini, tidak lain kita harus kembali menegakkan negara Khilafah yang akan menerapkan Islam secara kaffah dan yang menjadi penjaga Syariat Islam.

* Aktifis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.