Oleh : Mihar Harahap*
Judul Buku : Antologi Puisi Secangkir Kopi Penyair 6 Negara.
Editor : Fikar W Eda, Salman Yoga S.
Penerbit : The Gayo Institute (TGI) Takengon.
Tahun Terbit : 2013.
Kita terima antologi puisi bersama “Secangkir Kopi” dari Syaiful Hadi JL, penyair antar waktu (sewaktu-waktu di Medan sewaktu-waktu di Aceh). Antologi dengan kurator Fikar W. Eda dan Salman Yoga S ini cukup menarik. Disamping kulit buku persis warna kopi, juga puisinya diisi penyair dari Indonesia, Malaysia, Thailand, Taiwan, Denmark dan Rusia. Tetapi tetap memakai bahasa Indonesia atau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, kecuali satu puisi manis dari Denmark.
Lebih menariknya, penyair Indonesia tidak hanya dari Aceh yang memang dominan. Melainkan dari Kabupaten/Kota lainnya seperti Medan, Padang, Riau, Lampung, Jakarta, Semarang, Bandung, Malang, Kudus, Purwakarta, Yogyakarta dan Madura. Walau disana-sini ada saja kekurangan buku, namun dapat dimaklumi dan bisa diperbaiki. Hanya pertimbangan aktualisasi cita rasa tidaklah sekaligus mengurangi pengucapannya, sebab nikmatnya puisi terletak pada kopi dan cita rasanya itu.
Memang menciptakan puisi tertentu, tentang kopi misalnya, terkesan membuat puisi pesanan. Sebab kalau tidak bersengaja (sebagaimana menciptakan puisi secara bebas/tanpa pesanan) niscaya akan mempengaruhi kualitas puisi. Namun puisi memang dapat membicarakan apa saja, termasuk soal kopi. Malah kopi sebagai komoditi eksport akan memiliki nilai estetik bila digarap kedalam puisi. Hanya tergantung bagaimana mengungkapkannya. Sebab, jika tidak, akan terasa puisi pesanan itu.
Baiklah, kita apresiasi buku antologi puisi bersama ini dengan melihat sejauhmana gejala pikir dan rasa pernyair terhadap kopi Aceh dalam satu rangkaian. Hanya kopi Gayo (Arabika) dan Ulee Kareeng (Robusta) yang terdapat di dataran tinggi Gayo, Aceh Tenggara, Gayo Lues serta kabupaten Pidie dan Aceh Barat. Di daerah ini kopi tumbuh subur di 81 hektar dengan panen 70.000 ton/tahun. Jadi, tidak dengan kopi lain, apapun jenisnya untuk menandai makna kopi, kedai kopi dan rindu kopi.
Istimewa Aceh, eksploitasi kopi terekspresi dalam puisi, walau terkadang isinya sama. Diantaranya dari Fikar W.Eda. “Di Gayo/Kopi adalah nafas kehidupan/Dituang dalam cangkir harapan” (petikan Kopi Pagi). Sebagaimana petikan, konon sekitar 70.000 kepala keluarga menyeruput hidupnya pada kopi. Meski Syaiful Hadi JL dalam Secangkir Kopi Pahit mengeluh, harapan itu jauh bak pupus ditelan bumi.
Mengapa? Apakah karena kebun kopi terbakar? Wiratmadinata menyapa: ”Ibu, apa yang akan kau jual pagi ini/di pasar ketika musim bunga kopi tiba?/Sedangkan ladangmu hanya tinggal arang/dibakar oleh perang yang tak berjiwa” (petikan Sebuku Kebun Kopi). Huh, konflik fisik/senjata (entah apa dengan siapa) korbankan kebun kopinya. Terbakar bersama harapan. Tetapi tampaknya bukan hal itu. Musnahnya harapan para petani kopi bukan lantaran terbakarnya ladang kopi tersebut.
Iskandar Norman memberi tanda. “Kopi kita bukanlah kopi kita/sekarang/mung- mungkin juga besok dan lusa” (petikan Kopi Kita Bukan Lagi Kopi Kita). Setidaknya, milik pengusaha yang menguasai pasar. Petani hanya menjual pada tengkulak. Betapa ironis, bak puisi LK.Ara:”…/Masih tersaruk-saruk di antara batang kopi/Terbungkuk-bung-kuk di bawah riap daun kopi/Lelah memetik kopi/Dan tak memetik hasil/Dengan harga yang terpuji” (petikan Mereguk Kopi di Puncak Gedung DBP).
Begitulah petani dan pengusaha, selalu berselisih soal harga. Namun Zainuddin Bin H. Sulaiman optimis. “Allah memberi curahan dari kepingan tanah syurga/moga hasilnya mencukupi biaya kuliah anakku/saling berbagi/naik haji/dan sedekah” (petikan Mumuger). Ternyata, di balik fluktuasi harga, penyair berharap. Semoga dapat menguliahkan anak-anak, naik haji dan bersedekah. Di sini, soal harga menjadi amat personal, selain tidak tertutup ke mungkinan permainan harga oleh pengusaha yang menguasai pasar.
Kemudian, Salman Yoga S, kurator yang toleran, meyakinkan siapapun yang berkunjung ke Gayo: “Kopi kuhidang/Sebagai penghormatan dan kemulyaan/Menu utama memanjakan raja” (petikan Batang Ruang). Hafney Maulana menguatkan: “ketika kudatang /kau hidangkan segelas kopi/ketika kupergi/kau bekali sebungkus kopi/ketika kurindu/ada senyummu di gelas kopi” (Kopi Sebagai Pengasihan). Jadi, kopi adalah minuman kebanggaan masyarakat yang patut dihidangkan kepada para tamu.
Tak hanya di Gayo, di kota Banda Aceh juga banyak kedai kopi. Catatan Faridah Roni ada: “Solong Ulee Kareeng, Daphu Kupi, 3 in 1 Coffe/Romens, Taufik Kopi, Black Jack Coffe/Banda Coffe, Tower Coffe, Rumoh Aceh Kupi dan lainnya/Siap melayani dari pagi hingga pagi/Sampai engkau puas menikmati” (petikan Kotaku dan Warung Kopi). Bayangkan, dari pagi ke pagi bisa nongkrong di situ. Sehingga kedai kopi merupakan tanda atau ciri khas sebuah kota pergaulan dan persahabatan.
Di kedai kopi itu, Anugrah Roby Syahputra melihat keangkuhan ide Che Guevara Afgani, Maududi, Al-Bana, Marx dan Lenin, bicara revolusi berujung das kapital. Puisi Revolusi Kopi itu berakhir dalam bait: “ah, soal ideologi kita boleh beda pendapat/tapi masalah kopi tetap sama hitam pekat.” Bukan tak relevan (beda pendapat dengan hitam kopi) tetapi inilah sinisme (bicara setinggi langit akhirnya turun ke bumi). Sehingga lebih tajam, apa yang dikemukakan Hermansyah Adnan dalam puisinya.
Katanya: ”aku terpana/warung kopi ternyata menyimpan ribuan perasaan, memendam jutaan kata hati/dari jiwa-jiwa yang disekap oleh hawa nafsu, yang tertindas oleh rutinitas/yang dijerat ambisi, yang dibuai mimpi dan angan-angan” (petikan Warung Kopi). Dia menyoroti para pejabat, pegawai negara, pialang politik, LSM, yang memindahkan kantornya ke warung kopi dengan penuh angan-angan. Akibatnya, kedai kopi, bukan lagi tanda kota, wadah pergaulan, melainkan keterasingan dalam keramaian.
Setengah bergurau, tetapi bermakna dalam dilukiskan D.Kemalawati. ”Di cangkir kopi ada lalat/berenang bahagia. Dia mengamuk menggebrak meja/kopinya tumpah. Lalat berkata/sayapku basah. Di sudut dapur si koki tertegun/menyaksikan langit runtuh di atas meja/di sayap lalat yang masih melata” (petikan Di Cangkir Kopi Ada Lalat). Ibarat kedai kopi adalah sebuah kerajaan, maka terjadi penguasa (dia) menindas yang melata (lalat). Padahal yang melata sama impinya (minum kopi) dengan sang penguasa.
Akhir apresiasi, kita catat betapa rindu penyair perantau Ansar Salihin, Iranda Novandi dan Sulaiman Juned pada kopi dan kampung halaman. Kata Sulaiman: ”subuh/sunyi berkabut/secangkir/kopi antar rindu ke awan/melewati gigil/ah!” (petikan Gigil Kopi). Kerinduan yang begitu membatin, tak hanya pada kopi dan kampung halaman, tetapi juga pada Tuhan. Demikianlah perjuangan anak manusia, sebagaimana kata Aldy Istanzia Wiguna, seperti pahit-manisnya secangkir kopi Aceh seruput kehidupan.
* Mihar Harahap adalah Kritikus Sastra, MPR-OOS, Ketua FOSAD, Pengawas dan Dosen Universitas Islam Sumatera Utara (UISU).