Keabsahan Jiwa

oleh
jamhuri

Oleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA[*]

Dalam kajian ushul fiqh kita kenal adanya pembahasan tentang maqashid al-syar’iyah yang mencakup hal yang dharururi (suatu yang harus ada dan kalau tidak ada kehidupan akan menjadi kacau), hajjiyah (suatu yang juga harus ada namun bila tidak ada maka tidak akan membuat kehidupan menjadi kacau) dan tahsiniyah (sesuatu yang menjadi kebutuhan pelengkap). Hal-hal yang dimasukkan kedalam pembahasan dharuriyah adalah memelihara agama (hifz ad-din), memelihara jiwa (hifz an-nafs), memelihara akal (hifz al-aql), memelihara keturunan (hifz an-nasl) dan memelihara harta (hifz al-mal).

Pemeliharaan terhadap jiwa dan pemeliharaan terhadap keturunan merupakan dua hal penting  dan sulit untuk dipisahkan. Ulama ushul fiqh memasukkan kasus tentang pembunuhan kedalam contoh memelihara jiwa dan perkawinan kedalam contoh menjaga keturunan. Ulama belum membahas tentang keberadaan jiwa dalam hubungannya dengan perkawinan dan keberadaan jiwa di luar perkawinan, karena lahirnya seseorang kedunia ini sama dengan lahirnya jiwa dan lahirnya jiwa yang absah sangat ditentukan oleh keabsahan perkawinan dan bila tidak ada perkawinan berarti tidak adanya jiwa dan kalau pun ada maka secara hukum tidak diakui keberadaannya.

Kendati tidak diakui keberadaannya sebagai jiwa yang sah anak di luar nikah itu ada dan agama mengatakannya sebagai jiwa yang suci, alasan yang mengatakan semua anak yang lahir itu suci sangat logis karena anak tersebut belum mempunyai kemampuan untuk berbuat dan juga belum mempunyai kemampuan untuk memilih antara salah dan benar dan juga tidak mempunyai kemampuan untuk memilih lahir dalam lingkup hukum yang benar atau dalam lingkup hukum yang salah. Ketidak mampuan memilih tersebutlah diantaranya dijadikan alasan oleh Nabi mengatakan bahwa semua anak yang dilahirkan itu dalam keadaan fithrah (suci atau punya potensi).

Anak yang lahir dari pekawinan yang sah dipahami dari makna zhahir nash di nasabkan kepada ayah, ayah yang menjadi wali dan juga bertanggung jawab terhadap nafkahnya. Sedangkan anak yang lahir disebabkan oleh penikahan yang tidak sah atau lahir tanpa ada perkawinan di nisbahkan kepada ibu, ini didasarkan kepada hadis Nabi “al waladu lil firasy” anak itu dinisbahkan kepada pemilik tempat tidur atau ibu bukan kepada bapak. Penulis masih memahami ini sebagai pendapat ulama terhadap hadis yang digolongkan kepada zhanni,artinya masih mempunyai alternatif makna lain walau mempunyai peluang yang lebih kecil dari apa yang telah dipahami ulama selama ini. Karena itu tidak salah bila ada pendapat atau pemahaman lebih lanjut yang mengatakan bahwa ayah biologis mempunyai kewajiban terhadap anak biologi selain dari nasab, yaitu kewajiban nafkah, pendidikan dan jaminan nama baik.

Pengakuan terhadap eksistensi semua anak ini diperlukan karena sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi bahwa semua anak yang dilahirkan itu fithrah, jangan sampai akibat dari ulah ayah dan di ibu biologis membuat anak yang lahir menjadi fitnah untuk diri anak dan juga sampai kesalahan yang dilakukan oleh ayah dan ibu biologis hanya memjadi beban bagi ibu saja. Pernyataan pemikiran ini bukan berarti menghendaki legalisasi perbuatan zina di dalam kehidupan manusia tetapi lebih kepada pertimbangan memelihara jiwa yang tidak ada dosa yaitu anak yang dilahirkan, sedangka aturan akibat hukum dari perbuatan ayah dan ibu biologis telah disebutkan secara tegas di dalam al-qur’an.



[*] Dosen Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry Bada Aceh

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.