
Catatan Kha A Zaghlul
Salah satu makanan khas lebaran Idul Fitri di dataran tinggi Gayo adalah Cecah Reraya yang dibuat dari kulit, hati, otak, daging dan bagian tubuh lainnya yang bisa dikonsumsi dari kerbau atau sapi.
Cecah Reraya dibuat berbarengan dengan tradisi Mugelih Koro Morom (Menyembelih Kerbau/Sapi Bersama-sama) menjelang hari raya Idul Fitri 1 Syawal.
Mugelih Koro Murum menjadi unik karena siapapun yang terdaftar sebagai penerima hasil pemotongan kerbau/sapi yang dikenal dengan istilah “tumpuk” mendapat bagian tubuh ternak dengan merata walau jumlah sedikit selain daging dan tulang, termasuk kulit, hati dan organ tubuh hewan lainnya yang dapat dikonsumsi.
Cecah Reraya biasa disuguhkan sebagai menu utama saat berbuka puasa diakhir Ramadhan namun ada juga yang mengkonsumsinya saat pulang dari melaksanakan Shalat Ied.
Bagi masyarakat Gayo, Cecah Reraya merupakan menu selamat tinggal bulan Ramadhan dan selamat datang 1 Syawal, hari Kemenangan. Cecah ini dipercaya berkhasiat mencegah terjadinya gangguan organ pencernaan bagi orang yang berpuasa selama bulan Ramadhan.
Yang membuat Cecah Reraya menjadi khas adalah karena citarasa kelat dari bumbu khusus serutan pohon Uwing atau Tingkem yang diperas getahnya. Rasa kelat inilah yang diyakini membantu proses penyesuaian kondisi pekerjaan organ perut dari berpuasa ke kondisi yang tidak lagi berpuasa.
Meracik Cecah Reraya, bahan-bahan dirajang halus setelah direbus hingga lunak. Khusus untuk kulit setelah dipanggang terlebih dahulu hingga bulu-bulu gosong terbakar. Bagian yang gosong diserut dengan pisau dan direbus hingga kulit tersebut lunak.
Kulit Uwing atau Tingkem diserut halus lalu diperas airnya dan dicampur dengan bumbu lainnya diantaranya Bawang Putih, Bawang Merah, Merica, Lengkuas, Asam Sunti, Asam Jawa, Ketumbar, Kelapa Gonseng dan garam. seluruh bumbu yang telah digiling halus dicampurkan dengan bahan Cecah Reraya lainnya dan langsung bisa disajikan.
Karena jumlah bahannya (kulit, hati dan lain-lain) yang terbatas hasil pembagian Mugelih Koro Murum serta lazimnya tidak disediakan khusus, maka yang mendapat kesempatan menikmati Cecah Reraya sangat terbatas yakni orang-orang yang paling dihormati dalam keluarga saja, bersyukur jika dapat menikmati berulang.
Seiring dengan semakin berkurangnya orang-orang tua dalam keluarga di Gayo, Cecah Reraya semakin langka ditemukan. Kalangan muda semakin tidak mengenali bumbu khasnya Uwing dan Tingkem yang sebenarnya banyak disediakan oleh para pedagang di pasar pagi tradisional di Takengon.
Selain itu ada kesan malas direpotkan memproses Kulit Koro yang basah dipanggang hingga gosong dan diserut bagian gosongnya serta proses perebusan yang sedemikian lama.
Menurut kami, terciptanya makanan khas Cecah Reraya tentu tidak lepas dari kreatifitas nenek moyang Urang Gayo yang memanfaatkan sumber makanan hewani dan nabati agar tidak terbuang begitu saja Tentu saja saat munculnya kreatifitas ini makanan olahan seperti bakso, sosis, nugget, batagor dan lain-lain belum dikenal.[]