Urgensinya Memahami Perbedaan Laki-Laki dan Perempuan

oleh

(Harmonisasi dan Toleransi Dalam Kehidupan Keluarga)

Hasan BasriOleh: Hasan Basri, S.Ag*

Laki-laki dengan perempuan “ditakdirkan” berbeda dalam beberapa hal, diantara perbedaan tersebut terlihat pada bentuk fisik, perbedaan pada “konteks” pelaksanaan hak dan kewajiban dalam kehidupan rumah tangga serta perbedaan “perlakuan” yang dilegimitasi oleh tradisi dan budaya. Salah satu perbedaan antara laki-laki dengan perempuan yang sering “dikritik” seta digugat oleh feminimisme serta dianggap suatu bentuk diskriminasi terhadap perempuan adalah perbedaan dalam hal penerimaan warisan. “Allah mensyari’atkan kepadamu tentang (pembagian harta warisan untuk) anak-anakmu (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….” (Q.S. An Nisa’: 11). Feminimisme menyebut bahwa hak warisan sebagaimana disebutkan dalam teks Al-Qur’an tersebut adalah suatu “bentuk dikriminasi” terhadap kaum perempuan.

Al Qur’an menyinggung tentang perbedaan anak laki-laki dengan anak perempuan, dengan suatu ungkapan ”dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan…” (QS. Ali Imran: 36) Teks Al Qur’an ini janganlah dimaknai secara tekstual sebagai formalitas legalisasi atas diskriminasi, marginalisasi dan   pendiskreditan terhadap perempuan, walaupun harus diakui bahwa pendiskreditan dan upaya merginalisasi terhadap kaum perempuan sering terjadi dalam “rentang sejarah” kehidupan manusia.  Subtansi teks ini harus dimaknai sebagai informasi wahyu tentang adanya perbedaan dari sisi yang tidak menjurus pada pendeskriditan dan marginalisasi atas pihak perempuan.

Aspek psikologis laki-laki dengan perempuan juga berbeda, sebagai contoh gerak intuisi seorang perempuan lebih tinggi daripada seorang laki-laki,  tabiat seorang perempuan untuk memperkuat serta meningkatkan hubungan dengan orang lain lebih besar bila dibandingkan dengan laki-laki, sikap perempuan ketika menghadapi kelelahan dan kesukaran, berbeda dengan laki-laki. Sampai pada kebiasaan mengeluh dan menggerutu ketika terjadi intraksi antara laki-laki dan perempuan, keduanya juga berbeda, kebiasan mengeluh seorang perempuan akan berbeda dengan laki-laki. Kaitannya dengan keharusan memahami perbedaan psikologis antara laki-laki dengan perempuan. Imam Al Ghazali mendeskripsikan wanita laksana cermin yang dilapisi dengan debu. “Seorang wanita laksana cermin yang dilapisi dengan debu, bila terlalu lembut dalam membersihkannya, maka resikonya cermin tidak akan bersih, tetapi bila terlalu kasar dalam membersihkannya, maka cermin akan retak dan pecah”.

Secara filoshofis perbedaan merupakan sunnatullah, perbedaan adalah bagian dari perjalanan panjang kehidupan yang harus dijalani, oleh setiap manusia. Perbedaan adalah pusaran “takdir” yang mungkin tidak dapat dihindari oleh siapapun. Perbedaan adalah pasangan dari persamaan yang harus dimaknai dan dipenuhi dengan adanya sikap saling mengisi, saling melengkapi dan saling berbagi. Perbedaan jangan justru melahirkan diskriminasi, ekploitasi dan monopoli dari satu pihak atas pihak yang lainnya. Perbedaan adalah keragaman yang berujung pada kebersamaan. Perbedaan adalah penyebab munculnya “motivasi” untuk saling berkompetesi secara sehat, yang berujung pada unifikasi.

Merujuk kepada konsep “Yin” dan “Yang” dalam theoshofi Cina, perbedaan merupakan suatu harmoni, yang kalau dihadirkan dalam pentas kehidupan akan melahirkan sikap harmonisasi. Perbedaan adalah bagian dari “keindahan” kosmos dalam wujud mikro kosmos dan makro kosmos. Perbedaan adalah bagian dari tangga dan jalan menuju unifikasi (penyatuan). Siang dan malam, matahari dan bulan, panas dan dingin, sedih dan gembira, kaya dan miskin, cerdas dan bodoh, laki-laki dan perempuan adalah berbeda, namun semuanya adalah harmoni dan kita tidak dapat membayangkan kalau salah satu diantara keduanya tidak diciptakan.

Harus dipahami justru perbedaan tersebutlah yang memunculkan kencenderungan serta kerinduan dari masing-masing (laki-laki dan perempuan) untuk senantiasa saling bersatu, bergabung serta bertemu, dalam suatu “ikatan” yang dipenuhi dengan rasa saling memiliki, mengasihi, menghargai serta mencintai. Sebagai agama yang paling memahami dan mengerti “kebutuhan” manusia, Islam merupakan satu-satunya agama yang memfasilitasi dan memberikan solusi atas kecenderungan laki-laki dan perempuan ini. Nikah adalah satu-satunya jalan serta solusi terbaik dari Islam atas pemenuhan “hasrat” dari manusia untuk senantiasa bersatu. Pernikahan atau perkawinan merupakan “ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa”.

Dalam konteks kehidupan suami istri, seorang laki-laki (suami) berkewajiban untuk “memenuhi” seluruh kebutuhan lahir dan bathin  seorang perempuan (istri), sedangkan perempuan tidak berkewajiban untuk hal tersebut. Pelanggaran atau kelalaian laki-laki dan perempuan atas pelaksanaan kewajiban serta pemenuhan atas hak tentu “dikecam” dan tidak dapat diterima dari sisi manapun. Perbedaan kewajiban dan hak antara laki-laki dengan perempuan dalam konteks kehidupan keluarga merupakan “harmonisasi” dan keseimbangan yang telah “ditetapkan” oleh agama dan harus dihiasai dengan sikap toleransi. Toleransi merupakan “harga mati” dalam menyikapi perbedaan kewajiban dan hak antara laki-laki dengan perempuan.

Perbedaan pisik serta fsikis antara laki-laki  dengan perempuan ini wajib dipahami oleh kedua belah pihak, agar masing-masing berada pada posisinya serta “pengertian antara keduanya” dapat terwujud, terutama bila dihubungkan dengan beban kerja. Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman, yang artinya: ”Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak  menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

Kaitannya dengan perwujudan keluarga bahagia dalam rumah tangga, maka pemahaman, pengetahuan dari masing-masing pasangan terhadap perbedaan yang dimiliki pasangannya merupakan suatu keniscayaan. Kemampuan seseorang memahami perbedaan yang dimiliki pasangannya dalam rumah tangga, tentu akan melahirkan pengertian, pengertian akan melahirkan rasa sayang dan cinta, rasa sayang dan cinta akan membuahkan ketenangan dan keteduhan. Pemahaman tentang perbedaan antara laki-laki dengan perempuan dalam kehidupan keluarga, dalam hal ini suami dan istri tentu akan melahirkan kesadaran diri, memperkecil ruang egosentristik, melemahkan sikap keakuan, memunculkan harmonisasi, berseminya sikap saling mengisi.

Ketidakmampuan dari masing-masing pasangan (suami/istri) untuk memahami perbedaan tersebut, dapat menjadi “ganjalan” dan sandungan bagi terciptanya keluarga atau rumah tangga bahagia sebagaimana yang dicita-citakan, juga berpotensi melahirkan anggapan tentang “kesamaan” (bukan persamaan) antara laki-laki dengan perempuan dari segala sisi. Ketidakmampuan seorang suami memahami perbedaannya dengan seorang perempuan sebagai istrinya, tidak jarang melahirkan sikap diskriminasi dan marginalisasi terhadap kaum perempuan. Marginalisasi yang “tidak manusiawi” yang berujung pada pengabaian hak asasi dan harga diri kaum perempaun di pentas dan panggung kehidupan. Wallahu a’lamu bishawab.

*Kepala KUA Kec. Celala Kab. Aceh Tengah

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.