(Modernitas: Menggusur Budaya Etnis Gayo)
Oleh: Hasan Basri, S.Ag
6. Tradisi Memakai Gelang Kiding (Memakai gelang di kaki)
Tradisi dan kebiasan memakai gelang di kaki, khususnya bagi calon mempelai wanita dilakukan pada acara malam beguru. Pada acara beguru calon mempelai wanita (calon inen mayak) sudah dibenarkan memakai perhiasan-perhiasan yang tidak terlalu mencolok, namun yang paling menonjol dari perhiasan yang dipakai oleh calon mempelai wanita adalah gelang di kaki. “yang amat menonjol biasanya adalah gelang kiding (gelang kaki yang terbuat dari perak, suasa dan ada pula diantaranya dicampur dengan emas). (AR Hakim Aman Pinan, 1988).
Zaman dahulu setiap wanita yang akan menikah, hususnya pada acara malam beguru sudah dibenarkan untuk memakai perhiasan, salah satu perhiasan yang sering digunakan adalah gelang yang dipakaikan di kaki (gelang kiding). Tradisi ini sekarang telah hilang dan ditinggalkan oleh calon mempelai wanita (calon inen mayak). Mayoritas calon mempelai wanita sekarang lebih memilih memakai henna (inai) baik di tangan maupun kaki, ketika acara malam beguru, daripada memakai gelang di kaki.
Sudah menjadi tabi’at calon mempelai wanita (calon inen mayak) sekarang untuk cenderung tampil menarik dan kelihatan cantik. Salah satu upaya yang mereka lakukan adalah dengan memakai henna atau inai pada tangan dan kaki menjelang acara beguru. Mereka mempersiapkan waktu khusus untuk mamakai inai pada kedua tangan dan kakinya, sehingga pada malam beguru kedua tangan dan kaki mereka telah dihiasi dengan keindahan ukiran inai atau henna. Keindahan dan kerumitan ukiran henna (inai) calon mempelai wanita hususnya sampai pergelangan, baik pada tangan maupun pada kaki menjadi ukuran “kreativitas” seorang calon mempelai.
7. Melengkan Beguru
Pada acara malam beguru lazim dilakukan penyerahan dan penerimaan calon mempelai wanita, penyerahan calon mempelai wanita dilakukan dari pihak wali, serta penerimaan dari pengetua adat. Tradisi penyerahan calon mempelai wanita dari pihak wali kepada pengetua adat pada acara beguru ini sarat dengan bahasa-bahasa adat, kata-kata yang lazim diucapkan dengan bahasa metapora atau disebut dengan melengkan beguru. Penyerahan calon mempelai wanita kepada pengetua adat pada tradisi beguru ini dimaknai sebagai permintaan dari pihak keluarga terhadap reje atau pengetua adat untuk memberikan nasehat atau petuah-petuah husus terhadap calon memepelai wanita. Nasehat yang berkaitan dengan kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat.
“Yang menyerahkan dara ini dipergunakan bahasa melengkan yaitu pidato adat. Dalam penampilannya akan terdengar kata adat, terbawa didalamnya pepatah dan petitih yang metaporis (AR Hakim Aman Pinan: Daur Hidup Gayo, 1988). Pidato melengkan beguru dari pengetua adat merupakan petuah-petuah atau nasehat dari pengetua adat sebagai orang yang dituakan berkaitan dengan kehidupan berumah tangga, berinteraksi bersosial terhadap calon pengantin.
Contoh penggalan pidato penyerahan dari wali kepada pengetua adat, yang dikutip dari bukunya AR Hakim Aman Pinan.
…….Reje ….kite manat petenah mulo ipakni, iejer marahi, keti enti kase we remalan begerdak, mujurah enti munyintak, becerak enti sergak urum bubuk, boh gelah lagu santan mulimak ibibire tikel berbunge idelahe. Oyawe singuk kunahen ku Sarak Opat, Reje si musuket sipet, imem muperlu sunet, petue musidik sasat, rakyat genap mupakat, reje mubanta, imem mulebe, petue musekolat, rakyat muulu, lebih urum kurang kutiro ma’af. Wabillahi taufiq wal hidayah wassalamu’alaikum wr. wb.
Jawaban dari pengetua adat,
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Sedere-sedere rawan banan kul kucak tue mude, ton rintah bebewente sisienni, kubelesen bang pora keranante,. Perang mupangkal kerje musukut, sinte opat warus berwajib ringen berberet, nge sawah hat rum hinge, bade kuyu remalan gere tersilun, uren topan wih mugemboyah gere terampong, ike buette ni turahwa mujadi, edetni reje torahwalalu.
…..murip ikanung edet anakku, mate ikanung bumi murip torah benar mate torah suci, lingmu anakku king mutentu ike narue gere tertpempang, ike kulle gere lepas terdokopi, ike luesse gere lepas tersipeti. Lingni kami nipe gelah jeroh ipejamuriko ari kemokotne kase makin ibetihiko sana de hakiket urum hakikie. ….dst….
Karena alasan minimnya yang ahli dalam pidato melengkan beguru pada suatu kampung, ditambah dengan kurangnya “pewarisan” keahlian berpidato melengkan ini dari generasi tua kepada generasi muda, diperparah lagi dengan keengganan generasi muda untuk mempelajari tradisi ni, maka sekarang tradisi melengkan beguru ini mulai “ditinggalkan” bahkan sebagian masyarakat tidak melakukannya lagi, kalaupun melakukannya namun terdapat perbedaan yang signifikan dalam bahasa melengkan yang diucapkan.
Generasi muda Gayo sekarang disibukkan dengan mempelajari, menguasai beragam produk modernitas, karena dianggap lebih “menjanjikan” dan relevan dengan tuntutan kehidupan sekarang sehingga “kurang berminat” untuk mempelajari kata-kata melengkan, bahasa adat, petatah-petitih gayo. Generasi muda Gayo telah menghafal beragam lagu-lagu Pop, baik lagu Barat maupun lagu Indonesia.
8. Tradisi Mahbai (Mengantar Calon Mempelai Laki-laki)
a. Waktu Mahbai
Dahulu pada umumnya mahbai dilaksanakan pada malam hari. Pada siang harinya di tempat kediaman calon mempelai telah dilakukan persiapan-persiapan yang berkaitan dengan keberangkatan malam harinya. Hiruk pikuk dan sahutan suara gong, canang, memomg, gegedem telah menggema di tempat kediaman calon mempelai, sebagai pertanda malam harinya akan dilaksanakan acara mah bai (mengantar calon pengantin laki-laki) “Dari siang hari sudah tentu masing-masing pihak melaksanakan kegiatannya. Sejak siang itu seperangkat canang, yang terdiri dari canang, memong, gong, gegedem sudah berperan” (AR Hakim Aman Pinan: Daur Hidup Gayo, 1988)
Seiring dengan perkembangan waktu mayoritas masyarakat gayo sekarang, lebih memilih waktu pagi menjelang siang dan siang hari ketika malaksanakan acara mahbai, konsekuensinya tradisi mahbai pada malam hari sudah mulai hilang, kecuali sebagian kecil dari masyarakat gayo yang masih melaksanakannya. Suara canang, memong dan gegedem pun hampir tidak terdengar lagi di tempat kediaman calon mempelai laki-laki, karena telah diganti dengan hingar bingarnya suara music atau lagu yang diputar dengan menggunakan media VCD, DVD, MP4, baik music tradisional (Gayo, Minang, Aceh, Batak), maupun lagu-lagu atau music modern (dangdut, pop, dll).
Pada acara mahbai ini rombongan membawa tiga batang tebu yang diikat menjadi satu berkas, pada bagian ujungnya diikat dengan tiga utas tali, masing-masing ujung dari tali ini ijangkiwi (berbentuk jaring). Di dalam jarring tersebut diisi dengan satu butir kelapa yang telah dikupas kulitnya, ditambah dengan tiga buah pinang namun tidak dikupas. Satu buah jaring lagi diperuntukkan buat diisi dengan sebutir telur ayam (AR Hakim Aman Pinan: Daur Hidup Gayo, 1988). Tradisi yang sarat dengan “makna” ini serta menjadi simbol dari kemeriahan tradisi mahbai sekarang telah “hilang”.
b. Petawaren Menalo
Munalo merupakan penyambutan terhadap calon mempelai laki-laki di tempat kediaman mempelai wanita. Acara munalo (menyambut) ini lazim dilakukan oleh orangtua yang dipercayakan untuk tugas ini. Calon mempelai laki-laki pada tradisi munalo ini juga itawari dengan bahan petawaren yang telah disiapkan sebelumnya. Disamping itawari calon beserta rombongan juga disambut dengan tarian-tarian yang diringi dengan beberapa lagu khas acara munalo. “Tari dibuka dengan lagu…selanjutnya guru didong diiringi tabuhan rebana secara res/rall ditempat yang dinilai tepat sepanjang berlangsungnya, (acara penyambutan). Guru didong mengikuti gerak-gerak penari”. (AR Hakim Aman Pinan, 1988)
Sekarang “ruh” dan semangat dari tradisi munalo yang diringi dengan tarian-tarian husus yang dipersiapkan oleh pihak keluarga calon mempelai wanita untuk menyambut kedatangan calon pengantin laki-laki berserta rombongannya, serta lagu-lagu husus munalo telah “hilang”. Munalo calon mempelai laki-laki dengan tradisi itawari dengan bahan-bahan petawaren yang telah disediakan “hampir” tidak dilakukan lagi di kalangan masyarakat gayo. Adapun bahan yang digunakan sebagai petawaren pada acara munalo ini, meliputi: Dedingin, Celala, Batang teguh, Sesampe, Pucuk ni kayu kul, Wih sejuk, Oros, Mas, Bebesi (AR Hakim Aman Pinan: Daur Hidup Gayo, 1988)
Berikut contoh lagu yang sering digunakan pada acara munalo, yang kami kutip dari buku Daur Hidup Gayo karangan AR Hakim Aman Pinan.
Salam mualaikum rejeni bumi
Tuen remabni isini rime
Tairmi tair nge gaeh kami
Pintu sentabi tene melie
Rejeni denie rembani alam
Nge kami paham sana kin tene
Buge mi buge entine telam
Sejarahni alam nenggeri Linge
c. Tradisi basuh kiding
Tradisi basuh kiding merupakan acara mencuci kaki calon mempelai laki-laki oleh dua gadis kecil dudukni tenge (depan papilion rumah / teras) rumah calon mempelai wanita. Tradisi basuh kiding dilakukan dalam tradisi pernikahan dan dianggap sebagai syimbol kesucian dan kebersihan ini, Namun sekarang tradisi basuh kiding idudukni tenge (mencuci kaki calon mempelai laki-laki) ini tidak dilakukan lagi oleh mayoritas Urang Gayo serta telah “hilang” dari rangkaian tradisi pernikahan etnis Gayo.
* Kepala KUA Celala
Tulisan Sebelumnya :
Rangkaian Tradisi Pernikahan Urang Gayo Yang “Hilang” (Bagian 2)
Rangkaian Tradisi Pernikahan Urang Gayo Yang “Hilang” (Bagian 1)