(Modernitas: Menggusur Budaya Etnis Gayo)
Oleh: Hasan Basri, S.Ag
Suku Gayo (Urang Gayo) merupakan etnis minoritas di Provensi Aceh, yang mendiami wilayah Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, dan sebagian dari Aceh Tenggara serta Aceh Tamiang (Lukup Serbejadi). Ketut Wiradnyana (Arkeolog) membagi etnis gayo berdasarkan wilayah tempat tinggalnya menjadi empat wilayah, yakni wilayah Lut Tawar, Wilayah Deret, Wilayah Gayo Lues dan Wilayah Serbejadi. “Adanya empat wilayah tradisional tersebut sangat mungkin menjadikan Tanah Gayo terbagi menjadi empat kelompok besar, namun masih satu bahasa, yaitu bahasa Gayo, dengan dialek yang sedikit bervariasi antara wilayah tersebut”. (Ketut Wiradnyana dan Taufikurrahman Setiawan: Merangkai Identitas Gayo, 2011).
Walaupun sebagai etnis minoritas, namun berdasarkan kajian Arkeologis, etnis gayo memiliki rentang sejarah kebudayaan yang relative panjang. Sebagai etnis yang memiliki akar historis “tersendiri” dipastikan bahwa etnis gayo memiliki bahasa, kultur, tradisi dan budaya yang berbeda dengan suku lainnya di Aceh, berupa budaya yang telah diwariskan secara turun temurun dari generasi ke genarasi (leluhur/nenek moyang). Perbedaan tradisi etnis gayo dengan etnis lainnya di Aceh terlihat dengan jelas hampir pada seluruh perilaku kehidupan mereka, perbedaan inilah yang menjadi karakteristik, identitas serta eksistensi yang dimiliki oleh etnis (urang) gayo.
Tulisan ini merupakan suatu ikhtiyar dari penulis untuk menelusuri dan mengungkap beberapa tradisi serta budaya gayo (Khususnya Gayo Lut) berkaitan dengan rangkaian pelaksanaan pernikahan (pra ijab qabul dan pasca ijab qabul) yang menurut penulis telah hilang serta tergusur karena faktor modernitas, terabaikan karena faktor akulturasi, ditinggalkan karena dianggap tidak relevan dengan konteks (suasana) kekinian. Diantara tradisi etnis gayo yang hilang dalam rangkaian pernikahan, baik yang dilakukan sebelum ijab qabul maupun setelahnya, meliputi:
Yang dilakukan Sebelum Ijab Qabul
1.Tradisi Mendere (Komunikasi antara remaja)
Mendere/murojok, merupakan komunikasi antara bebujang dan beberu Gayo, yakni ketika seorang bebujang (pemuda) “jatuh hati” atau menyukai seorang beberu (pemudi), dan berkehendak melakukan perkenalan. Dalam kesepatan inilah seorang bebujang dengan segenap kemampuan dan kemahiranya dalam berkomunikasi berusaha memikat hati dari beberu impiannya. “Dengan berbagai rayuan yang mempesona kalimat sanjunganlah lebih dahulu membuka tabir perbincangan”.(A.R Hakim Aman Pinan: Daur Hidup Gayo, 1998). Komunikasi dengan menggunakan bahasa metaforis yang terjadi antara bebujang dan beberu dalam tradisi ini laksana berbalas pantun, dan biasanya terjadi pada moment-moment tertentu, seperti pada sa’at munomang, munoling dan munejik, karena pada moment inilah terjadinya pertemuan antara bebujang dengan beberu. Cotoh sebagian kalimat yang digunakan dalam tradisi ini
(Ungkapan Bebujang)…… Patut le beta bung ni aka Aku ni asal umpamani ampung-ampung pulo Iperin murip uyette cimo Iperin mate ulunge ijo Len lagu ni aka Umah atu jendela kaca Anakni reje biasa empuwe Aku hine lagipun papa Gere mureta sana paralme (Jawaban Beberu)…… |
Terjemahan:(Pernyataan seorang pemuda)… Wajarlah anda bertindak acuh tak acuh Saya ini layaknya seperti kiambang Dikatakan hidup akarnya mengambang Dikatakan mati namun daunnya masih hijau Tidak seperti anda Rumah batu berjendalakan kaca Anak raja biasa empunya Saya ini hina juga papa Tidak memiliki harta, apa yang anda harapkan (Jawaban pemudi)… |
Tradisi mendere ini telah “hilang” dan ditinggalkan bahkan tidak dikenal lagi di kalangan bebujang dan beberu gayo sekarang. Bebujang dan beberu Gayo sekarang lebih memilih model komunikasi yang praktis serta simple ketika hendak berkomunikasi antara sesama mereka. Waktu yang sering digunakan bebujang dan beberu sekarang untuk berkenalan biasanya ketika di sekolah, ketika di perkuliahan, di angkutan umum, di waktu kerja kelompok, ketika studi banding, ketika di kantor, serta pada event-even tertentu yang memungkinkan kehadiran bebujang dan beberu disana. Bahasa metofora dan bernuansa puitis hampir tidak digunakan ketika mereka berkomunikasi. Kehadiran handphone, facebook, twitter serta media lainnya telah dimanfaatkan oleh bebujang dan beberu Gayo sebagai media komunikasi antara sesama mereka.
2. Tradisi Amal Tidur Nipi Jege Ketika Meminang.
Beberapa bahan yang dipersiapkan sebagai bekal munginte: Beras satu bambu dimasukkan kedalam sumpit bergampit, sejumlah uang dibungkus dengan kain putih dan dimasukkan juga kedalam sumpit, pinang tiga atau lima buah, sirih dua ikat (masing-masing tujuh lembar), telur ayam satu butir, jarum jahit satu buah yang telah dibubuhi benang serta ditusukkan pada sepotong ibu kunyit, satu buah sisip untuk menyisip tikar (A.R Hakim Aman Pinan: 1998).
Dalam peminangan biasanya digunakan bahasa khusus yang bernada puitis serta kiasan. Setelah terjadi dialog antara delegasi dari pihak keluarga peminang (bebujang) dengan pihak keluarga yang dipinang (beberu), bahan peminangan yang telah dipersiapkan diserahkan kepada keluarga yang dipinang. Beberapa hari kemudian delegasi peminang hadir kembali untuk menerima jawaban, apakah pinangannya diterima atau ditolak, (amal tidur nipi jege).
Tradisi amal tidur nipi jege, adalah tenggang waktu beberapa hari bagi keluarga beberu yang dipinang untuk berpikir, beristikharah, sebelum memberikan jawaban apakah menerima dan menolak pinangan dari delegasi keluarga bebujang. Berhamal tidur nipi jege merupakan waktu yang disediakan dalam tradisi Gayo, bagi keluarga beberu yang dipinang untuk menyelidiki akhlaq atau perilaku, serta keadaan keluarga si bebujang yang meminang. “maksudnya meneliti akhlaq dan keadaan calon mempelai laki-laki dan keluarganya” (Mahmud Ibrahim: Syari’at dan Adat Isti’adat, 2010). Tradisi amal tidur nipi jege ini dilakukan pada waktu munginte, Tradisi munginte (meminang) bagi etnis gayo memiliki karaktristik dan nilai estetika tersendiri, dan merupakan warisan budaya yang telah diwariskan secara turun temurun.
Tradisi amal tidur nipi jege (waktu istikharah dan berpikir beberapa hari), dalam kegiatan peminangan etnis gayo sekarang ini, karena alasan efesiensi dan epektifitas waktu telah “diabaikan”, dan “hilang”, proses peminangan sekarang dapat dikatakan serba cepat dan kilat. Pada umumnya sekarang beberu dan keluarganya, telah “mengenal” dan mengetahui keadaan si bebujang serta keluarganya sebelum proses peminangan dilaksanakan, sehingga mereka langsung dapat memberikan jawaban antara menerima dan menolak pinangan dari pihak keluarga bebujang tanpa berhamal tidur nipi jege terlebih dahulu. Setelah pinangan diterima, biasanya kedua belah pihak langsung memusyawarahkan hal-hal yang berhubungan dengan teniron, serta waktu turun caram (mujule mas).
*Kepala KUA Celala