(Modernitas: Menggusur Budaya Etnis Gayo)
3. Subang Sebagai Teniron
Setelah pinangan diterima, pihak keluarga calon mempelai laki-laki langsung bermusyawarah dengan pihak keluarga perempuan, berkaitan dengan permintaan calon mempelai wanita (teniron) baik berupa subang (anting-anting: harta yang langsung menjadi miliki istri setelah ijab qabul), dan juga jemahe (mahar). Perempuan yang dilamar (ikintei) dalam tradisi Gayo, dibenarkan untuk meminta kepada calon suaminya berupa harta (subang) yang akan menjadi hak milikinya setelah akad nikah.
Dahulu subang yang menjadi permintaan calon istri kadang-kadang berupa hewan ternak (Kerbau), berupa tanah sawah, atau bisa juga berupa rumah. Berkaitan dengan subang sebagai teniron ini, Salimah Inen Reselim, (menikah pada tahun 1934), menjelaskan, ketika dia menikah pada tahun 1934, yang menjadi subang sebagai tenironnya (permintaannya) berupa tanah sawah yang terletak di Kampung Gele Lungi.
Subang sebagai teniron, merupakan bagian dari rangkaian adat isti’adat (tradisi) serta budaya pernikahan Urang Gayo yang telah “tergusur” dan “hilang”. Mayoritas Urang Gayo sekarang tidak mengenal lagi istilah subang, bahkan ketika proses peminangan berlangsung kedua belah pihak hampir “tidak pernah” menyinggung tentang subang sebagai teniron (berupa barang yang langsung menjadi milik seorang perempuan) calon mempelai perempuan.
Lazimnya sekarang yang dijadikan sebagai permintaan (teniron), disamping mahar (berupa mas atau yang lainnya), calon mempelai perempuan lebih memilih “isi perlengkapan kamar tidur” dan sejumlah uang (nominalnya sangat variatif) tergantung kondisi sosial dari calon memepelai laki-laki, dan kesepakatan kedua belah pihak. Urang Gayo terutama yang berdomisili di wilayah perkotaan, hampir tidak pernah lagi yang meminta hewan ternak (kerbau, sapi) sebagai subang atau teniron.
4. Tradisi Mangan Murum Muniro Ijin
“Selang beberapa hari lagi si calon mempelai akan menerima akad nikah, didahului dengan mangan murum niro ijin (A.R Hakim Aman Pinan: Daur Hidup Gayo, 1988). Mangan murum merupakan acara makan bersama yang dilakukan di rumah tempat kediaman calon mempelai laki-laki dan perempuan (calon aman mayak/inen mayak) dengan mengundang seluruh pemuda dan pemudi (bebujang dan beberu) di kampung tersebut. Pada acara ini sang pengasuh dari calon mempelai angkat bicara pada beberu dan bebujang yang hadir dengan ungkapan yang pada prinsipnya mengandung arti pemberitahuan akan dilaksanakannya pernikahan dan permohonan ijin serta ma’af. Contoh ungkapan pengasuh pada acara mangan murum niro ijin:
…….“Enti gere betihko kin peserinenmu/denganmu nge bulet pakat nge tirus genap ni kami, bahwa ter empat belas rebulen keta kite muluahi sinte”. “inile keta singuk kusawahen kukite bebewente, salam semah nikami, sikatan angan kasad ejed niyet nikamini, boh gelah ibetihi ko bewenmu, mudah-mudahan gere muhali seli”. “keta gelah ikhlasimiko bebewenmu muluwahen pserinenmu ni”.(AR Hakim Aman Pinan, 1998)
Terejemahannya,
……..kami beritahukan bahwa saudara kalian ini, berdasarkan hasil musyawarah keluarga sekitar tanggal 14 bulan ini kalau tidak ada halangan akan kita nikahkan. Hanya ini yang dapat saya informasikan kepada kita semua, dan semoga kalian semua merestui pernikahan nya…
Kalau dicermati makna dari kalimat tersebut diatas adalah ungkapan pemberitahuan dari pengasuh yang dalam hal ini biasanya adik perempuan dari bapak (tutur ibi), bahwa dalam waktu dekat keponakannya akan dinikahkan. Setelah pengasuh usai menyampaikan pembicarannya, maka sang calon mempelai bangkit dari duduknya untuk menghampiri beberu dan bebujang untuk bersalaman, sambil meminta ma’af dan do’a restu dari mereka. Tradisi mangan murum niro ijin ini ditutup dengan acara makan bersama di rumah kediaman calon mempelai, khusus bagi calon mempelai, makanan yang akan ia makan pada malam itu adalah makanan yang diambil sedikit-sedikit dari piring bebujang dan beberu yang telah berisi makanan tersebut.
Seiring dengan perkembangan waktu, sekitar tahun 1980 s/d 1990 tradisi makan bersama (mangan murum niro ijin) ini berubah sebutannya menjadi acara muda-mudi. Beberu dan bebujang pada masa ini tidak mengenal lagi istilah mangan murum niro ijin, tetapi mereka lebih akrab dengan istilah baru yakni muda mudi. Rangkaian acara muda-mudi yang dilakukan oleh bebujang dan beberu tahun 1990 an, sebagiannya telah berbeda dari model acara yang dilaksanakan pada tradisi mangan murum niro ijin. Selanjutnya ketika situasi kemanan di Gayo tidak kondusif dan terganggu (konflik Aceh antara tahun 1998 s/d 2005) tradisi muda-mudi yang lazim dilakukan pada malam hari, karena alasan keamanan tidak dilakukan lagi.
5. Iserahen Ku Guru
Iserahan ku guru artinya sebelum pelaksanaan akad nikah calon mempelai diserahkan kepada orang yang alim (biasanya tgk imem) agar dibimbing tentang beberapa hal berkaitan dengan agama dan seluk beluk berumah tangga. Iserahan ku guru kadang disebut juga dengan belejer ku umah ni tgk imem, dan lazim dilakukan sebelum calon mempelai dihadapkan kepada pengetua adat pada acara beguru, tradisi ini telah dilakukan secara turun temurun dari generasi kegenerasi. Dalam tradisi ini calon mempelai perempuan akan dibimbing oleh imem banan (istri imem Kampung), sedangkan calon mempelai laki-laki akan dibimbing oleh imem rawan. Beberapa hal yang diajarkan oleh imem kepada calon mempelai:
- Cara membaca dua kalimat syahadat yang benar
- Memahami serta mampu membaca rukun iman dan rukun islam dengan benar
- Cara menerima ijab yang diucapkan oleh wali, serta kalimat-kalimat yang harus dibaca
- Doa’-doa yang harus dihafal, meliputi doa ketika berhubungan suami istri, do’a mandi junub serta do’a lainnya yang dianggap perlu.
- Tata tertib dalam kehidupan berumah tangga dan berkeluarga.
- Pemahaman tentang adat isti’adat yang berlaku.
Sekarang dengan adanya peraturan tentang “keharusan” bagi setiap mempelai untuk mengikuti suscatin (kursus calon pengantin) di KUA atau BP4 Kecamatan, mayoritas masyarakat Gayo dan catin mulai “mengabaikan” ketentuan tradisi iserahen ku guru atau belejer ku umah ni imem ini, ditambah lagi karena alasan efesiensi dan epektifitas materi dan waktu, sebagian masyarakat gayo dan calon pengantin sekarang, atau sebagian dari tgk imem malah “menganjurkan” calon mempelai untuk lebih memilih mengikuti suscatin yang dilaksanakan di KUA atau BP4 Kecamatan.
Suscatin (kursus calon pengantin) yang dilaksanakan oleh BP4 seharusnya dilakukan di kantor BP4 Kecamatan, tetapi dikarenakan BP4 Kecamatan belum memiliki kantor sendiri, sehingga pelaksanakan kursus calon pengantin dilakukan di Kantor Urusan Agama Kecamatan. Kursus calon pengantin “biasanya” dilaksanakan setelah catin (calon pengantin) mendaftarkan kehendak pernikahannya pada Kantor Urusan Agama (KUA Kecamatan) serta telah melengkapi seluruh persyaratan adiministratif pendaftaran kehendak pernikahannya. Setiap catin yang telah lulus mengikuti beberapa materi suscatin, akan diberikan sertifikat sebagai tanda bukti kelulusan, dan sertifikat ini merupakan salah satu persyaratan pendaftaran kehendak pernikahan. Adapun materi suscatin berdasarkan Peraturan Dirjen Bimas Islam, Pasal 3 Ayat (1) adalah:
- Tata cara perosedur perkawinan (2 jam)
- Pengetahuan Agama (5 jam)
- Praturan perundang-undangan di bidang perkawinan (4 jam)
- Hak dan kewajiban suami istri (5 jam)
- Kesehatan (reproduksi sehat) (3 jam)
- Manajemen keluarga (3 jam)
- Psikologi perkawinan dan keluarga (2 jam)
*Kepala KUA Celala
Tulisan sebelumnya (Bagian 1) : Rangkaian Tradisi Pernikahan Urang Gayo Yang “Hilang”