[cerpen]
Himmah Tirmikoara
“Assalamu’alaikum, Ama. Maaf, saya terlambat lagi…,”
“Walaikumussalam…”
Tanpa perlu berkata lagi kubiarkan sosok remaja berbadan atletis itu mencium tanganku dan segera berlari menuju kelasnya.
Sambil menahan dingin oleh hembusan angin musim depik yang kini menyapa kota Takengon, aku masih setia berdiri di pintu gerbang sekolah favorit yang telah ikut andil mencetak insan-insan berilmu, beriman dan beriptek yang terjelma dalam diri sosok penyandang berbagai gelar dan menduduki jabatan penting di pemerintahan maupun swasta.
Untuk beberapa menit aku masih berdiri menunggu sosok berseragam putih abu-abu yang penuh semangat masuk ke pintu gerbang mengingat segudang ilmu yang tak ingin dilewatkannya begitu saja.
Setelah memastikan bahwa sosok tinggi atletis tadi adalah siswa terakhir yang tiba pada pagi ini, akhirnya aku melangkah menuju ke ruang Kepala Sekolah sambil memikirkan tentang siswa tadi yang kutahu bernama Ruhdi.
Pagi ini adalah yang kesekian kalinya Ruhdi terlambat. Sapaannya yang begitu lembut memanggilku “Ama”, panggilan yang kutabalkan pada diriku terhadap para siswa terasa sejuk menyentuh relung hati.
Aku sudah tahu banyak tentang diri Ruhdi. Dia pemuda kelahiran Kampung Bintang, salah satu Kecamatan di Kabupaten Aceh Tengah. Bintang yang begitu istimewa karena terletak di tepi Danau Lut Tawar yang indah. Bintang yang menurutku sarat dengan inspirasi oleh debur ombak dan lambaian pohon-pohon pinus, deretan pemantaran dan perahu nelayan penangkap ikan.
Bintang yang penuh dengan motivasi, dimana hamparan padi dan desa-desa di tiap lekuk bebukitannya begitu indah seolah menanti putra daerah kembali dari perantauan setelah menimba ilmu di negeri orang. Bintang yang sangat bersahaja dan Ruhdi adalah salah satu putra daerahnya. Pemuda yang sangat fanatik oleh tanah kelahirannya, karena pernah kubaca puisinya yang tertera di mading sekolah.
Aku dari Bintang
Keindahannya adalah semangatku
Kesederhanaannya adalah jiwaku
Hembusan angin dan suara ombak danaunya
Adalah pelecutku tuk berbuat
Bagi kejayaannya kini dan esok
Aku dari bintang, dan aku akan kembali ke Bintang
Selama-lamanya…
“Mengapa tidak sekolah di Bintang saja, Nanda? Di sanakan sudah ada SMA”, pernah kutanya padanya.
“Sejak SMP saya sudah ingin sekolah di SMA ini Ama”, jawabnya sambil menunduk malu-malu.
“Saya belajar sungguh-sungguh agar lulus di sekolah ini. Alhamdulillah cita-cita saya tercapai. Cuma angkutannya kadang-kadang mogok dipendakian sehingga saya terlambat”, aku mengangguk dan memahami alasannya.
Selain karena kecintaannya pada tanah kelahiran serta komitmennya pada ilmu, aku mengenal Ruhdi karena dia memiliki suatu keahlian yang saat ini jarang dimiliki oleh anak-anak muda sekarang. Dia adalah seorang peniup seruling asli Gayo. Saat Nanda-ku yang lain gemar bermain drum dan beramai-ramai membentuk group band, maka Ruhdi masih setia dengan kesenian khas daerah.
Dengan keahliannya yang mulai langka di Takengon ini, ia kerap mengikuti berbagai kegiatan kesenian dan mengharumkan nama sekolah maupun nama daerah.
Hal yang sangat membuatku terharu terhadap Ruhdi adalah saat kutahu dia adalah seorang anak piatu dan berasal dari orang tua yang kurang mampu. Aku pernah bertemu dan berbincang dengan Ayahnya, seorang nelayan tua bertubuh kecil, ringkih dan berkulit hitam kasar. Dengan suara parau ia menceritakan sekilas tentang anaknya.
“Ruhdi ikut mencari belanja kami, Pak. Setiap malam ia mencari ikan di danau untuk dijual ke pasar. Itu sebabnya dia agak lemah karena selalu dihantam angin malam ..,”
Pantas, aku pernah mendengar cerita dari nandaku yang pengurus Pasukan Pengibar Bendera Pusaka bahwa Ruhdi keluar dari ekstrakurikuler itu karena muntah darah sewaktu latihan.
Aku terenyuh. Itulah Ruhdi, anandaku dari Bintang.
* * *
Minggu pagi yang cerah. Hari ini telah kujadwalkan untuk memenuhi undangan Ruhdi datang ke pemantarannya di tepi danau. Dari hp nya ia mengatakan semalam telah mendapatkan banyak ikan Depik, ikan khas Danau Lut Tawar yang kini mulai jarang ditemui. Kebetulan saat ini adalah musim Depik yang ditandai dengan datangnya angin dingin dan kencang.
Membayangkan gurih daging dan sedikit pahit di bagian leher ikan depik dengan nama ilmiah Rosbora tawarensis itu, tidak kusia-siakan ajakan Ruhdi mendatanginya sambil sesekali refreshing, membuang penat setelah seminggu ini dibebani kerja sebagai Kepala Sekolah.
Aku memutuskan pergi seorang diri mengendarai mobil dan memulai perjalanan dari arah utara kota Takengon. Dengan kecepatan sedang aku memacu mobil sambil menikmati pemandangan indah di sekeliling. Danau Lut Tawar yang dikelilingi oleh empat kecamatan dengan total 23 kampung ini terus berbenah diri menyambut para pengunjungnya dengan gaya wisata modren.
Matahari tepat di atas ubun-ubun ketika aku tiba di pemantaran milik Ruhdi. Jauh di tengah danau kulihat sesosok manusia sedang duduk di atas perahu yang terayun-ayun dipermainkan ombak. Sayup-sayup lewat semilir angin kutangkap alunan seruling yang syahdu. Aku duduk diam, ikut menyelami alunan seruling yang merdu, dan lamat-lamat kurasakan seperti merintih, meratap dan menjerit sehingga jiwaku ikut tereyuh sedih.
Beberapa saat kemudian Ruhdi tersadar dan menghentikan permainan serulingnya serta mengambil dayung membawa perahu mendarat di tempatku.
“Sedih sekali lagumu tadi, Nanda sedang ada masalah?”, sapaku setelah ia menyalami dan mencium tanganku.
Ruhdi mendesah, diaturnya duduk sedemikian rupa di sampingku. Wajahnya tampak resah.
“Tadi di tepi danau sebelah sana saya dapati sepasang muda-mudi sedang bermesraan, Ama,” ucapnya dengan suara kering. “Ketika saya lihat prilaku mereka sudah tidak pantas lagi saya datangi mereka untuk mengingatkan dan menyuruh pergi. Tapi mereka malah marah-marah tidak terima saya tegur.”
Aku menarik napas panjang.
“Beginilah dunia sekarang, Nanda. Saat kita beramar ma’ruf nahi mungkar eh malah kita yang dimarahi. Tapi Nanda sudah melakukan hal yang benar yaitu mengingatkan mereka.” Aku mencoba menghibur pemuda itu walau ada getir di hati.
“Tapi sudah terlalu sering Ama”, sergah pemuda itu.
“Sudah sering saya dan orang-orang kampung mendapati manusia yang berbuat mesum dan maksiat di tepi danau ini. Seharusnya danau yang indah ini dijadikan sarana untuk mentafakuri alam memuji kebesaran Tuhan atas ciptaan-Nya. Tetapi mengapa tempat ini justru dijadikan untuk berbuat maksiat? Padahal daerah kita ini sudah dibingkai dengan Syariat Islam. Mengapa mereka tiada takut mengotori tempat ini dengan nafsu birahinya?”
Aku, angin, air dan gelombang adalah saksi tentang kegundahan seorang anak manusia yang protes pada kenyataan yang didapat di tanah kelahirannya tanpa tahu kemana harus mengadukan kemarahan hatinya. Akhirnya menjelang senja dengan menenteng sekantong tas plastik ikan Depik yang segar aku meninggalkan tepian danau, meninggalkan Ruhdi dengan segala kegundahannya..
Waktu terus berlalu dan pada malam ini aku dikejutkan oleh berita duka lewat ponsel oleh Ipak, salah atu pengurus OSIS.
“Ama..!”, katanya dengan suara serak dan gugup disertai tangisan.
“Ama ada dengar berita tadi sore? Berita tentang tenggelamnya sebuah kapal boat yang membawa puluhan rombongan keluarga main-main ke tengah danau?”
“Ya, Nanda, tapi Ama tidak tahu kabar selanjutnya”, jawabku tertarik. Memang benar, sekitar pukul tiga sore tadi beredar berita dari mulut ke mulut bahwa ada serombongan keluarga yang tenggelam karena boat yang mereka tumpangi mesinnya mati dan karam di tengah danau Laut Tawar.
Tangis Ipak kian keras di seberang sana. Aku terheran-heran walau detak jantungku tiba-tiba berdegub lebih kencang.
“Ada beberapa orang yang meninggal, Ma”, katanya disela sedu-sedan.
“Waktu itu Ruhdi sedang berperahu mencari ikan dan dia ikut membantu menolong penumpang yang tenggelam. Tapi entah bagaimana Ruhdi, Ruhdi ikut tenggelam dan…”
Tubuhku menegang. Perasaan tak enak melintas begitu saja di hatiku mendengar suara Ipak.
“Tubuh Ruhdi tenggelam, Ma. Tubuhnya ditemukan dalam keadaan sudah tidak bernyawa lagi, Ruhdi me..,meninggal dunia…”
“Innalillahi…” Aku terhenyak.
Pagi senin ini aku tetap menanti dan menyambut siswa-siswiku di pintu gerbang sekolah walau dipenuhi air mata dan tangisan para guru, teman-teman Ruhdi dan seluruh siswa. Mereka bergerombolan dan saling menceritakan kebaikan-kebaikan Ruhdi. Sekolahku berduka. Salah satu siswa terbaik kami telah pergi.
Sulit kugambarkan perasaanku saat itu. Terkejut, tak percaya, sedih dan marah. Marah pada siapa? Pada Danau Lut Tawar yang menelan tubuh Ruhdi? Pada para penumpang boat yang berjejal beramai-ramai menaiki boat? Atau marah pada pengelola wisata yang tidak mengindahkan keamanan wisatawan dengan pelampung dan memerhatikan daya tampung kapal?
Akhirnya pikiran sehatku mampu mencerna bahwa musibah ini adalah kehendak Tuhan. Allah SWT telah menakdirkan Ruhdi pergi ke haribaan-Nya dengan cara tenggelam sewaktu menolong penumpang boat yang karam di tengah danau.
Dengan mata berkaca-kaca aku melangkah menuju mading siswa. Kutatap nanar puisi Ruhdi yang masih tertera. Kubaca dan kueja dengan hati menjerit.
………………
………………
Aku dari Bintang
Dan akan kembali ke Bintang selama-lamanya…[SY]
—
Himmah Tirmikoara adalah putri Gayo yang lahir di Asir Asir Bawah dari ayah pensiunan PNS (Alm) dan ibu Nur Aini (mantan guru pada PGAN Takengon). Himmah Tirmikoara mulai aktif menulis sejak masih sebagai mahasiswa disalah satu perguruan tinggi di Banda Aceh, saat yang bersamaan ia bergabung dengan komunitas penulis dibawah bimbingan Helvitiana Rossa, beberapa karyanya telah dimuat dalam sejumlah buku. Meski sempat vakum beberapa tahun dalam dunia kepenulisan, Himmah Tirmikoara kembali bangkit menggeluti dunia kepenulisan di samping tetap konsen sebagai seorang tenaga pendidik di salah satu Sekolah Menengah Umum di Kota Takengon.