Dewan paksa pemerintah transparan, berani?

oleh
Oleh : Win Wan Nur

Hiruk pikuk Pemilu Legislatif sudah selesai. Kita sudah mendapatkan wakil kita di dewan, baik DPRK, DPRA dan DPR RI.

Dalam proses Pemilu Legislatif kemarin. Kita melihat ada kontradiksi dalam pelaku pemilih di Gayo. Untuk pemilihan DPR RI, rakyat Gayo terlihat sudah begitu dewasa dan cerdas sebagai pemilih. Tidak bisa diiming-imingi uang, terbukti dengan terpilihnya wakil ‘urang diri nte’ meskipun sebelum Pemilu, berbagai isu negatif begitu masif dilancarkan lawan politiknya pada calon ini. Tapi rakyat Gayo tetap memilihnya.

Tapi sikap yang bertolak belakang terjadi pada pemilihan anggota DPRK. Sebagaimana kita lihat hasilnya, para anggota legislatif terpilih rata-rata adalah yang memang kencang secara ekonomi, mengalahkan calon-calon yang sebenarnya lebih baik dalam konsep dan idealisme. Meskipun kalau ini dikatakan kepada para anggota legislatif terpilih tentu mereka akan menolak keras anggapan ini. Sebab pada waktu kampanye, semua calon mengatakan niatnya duduk di kursi dewan adalah untuk membela kepentingan rakyat Gayo.

Beberapa waktu yang lalu, Win Ruhdi Bathin, seorang tokoh muda Gayo di laman Facebook-nya menuliskan bagaimana semangatnya seorang anggota Dewan yang tahun ini terpilih kembali, untuk mengabdi dan mengkritisi kebijakan pemerintah. Setelah sempat absen satu periode sebelumnya.

Memanfaatkan momen sedang panasnya ‘mesin’ para anggota legislatif yang baru terpilih ini. Ada baiknya kita rakyat Gayo langsung saja menantang mereka untuk membuktikan kata-katanya untuk berjuang mensejahterakan rakyat Gayo.

Untuk itu, perlu kita bahas dulu apa yang menjadi penyebab kurang sejahteranya rakyat Gayo.

Sebagaimana yang terjadi di belahan dunua manapun, kurang sejahteranya masyarakat suatu daerah selalu terjadi akibat adanya kesenjangan dan adanya monopoli terhadap informasi dan akses terhadap sumber ekonomi. Dan siapa yang paling memiliki kekuasaan atas monopoli itu?. Jawabannya jelas pemerintah. Sebab pemerintah memang diberi kuasa oleh konstitusi untuk mengelola keuangan dan juga menjalankan regulasi. Sektor privat memang bisa menciptakan kesenjangan, tetapi mekanisme persaingan akan memperpendek umur kesenjangan yang terjadi.

Semakin terkonsentrasi dan semakin tertutup suatu informasi, semakin besar distorsi sosial ekonomi yang mungkin terjadi.

Untuk kasus Gayo secara umum dan Aceh Tengah secara khusus, kita bisa menyaksikan kalau Pemerintah justru melanggengkan kesenjangan tadi dengan cara menghambat terjadinya persaingan yang sehat dalam mendapatkan akses dan informasi ke sumber-sumber ekonomi. Membudayanya persaingan tidak sehat ini membuat demokrasi kita berubah menjadi Plutokrasi. Sebab dengan dekat kepada kekuasaan, artinya mendapat akses istimewa kepada sumber-sumber ekonomi.

Jadi kalau Gayo ingin lebih sejahtera, kesenjangan ini harus dibabat. Caranya, pemerintah harus terbuka. Segala kebijakan yang terkait dengan publik harus dibuka secara transparan tidak bisa ditutup-tutupi. Tidak diam-diam seperti selama ini terjadi. Mulai dari tender proyek, penerimaan PNS sampai mutasi pejabat harus dibuat transparan.

Dengan terbuka seperti ini, selain menghilangkan kesenjangan. Ini juga meminimalisir segala masalah dan ketegangan yang terjadi antara masyarakat Gayo sendiri. Sebab terbukti banyak masalah sosial di Gayo terjadi karena ketertutupan ini.

Contoh, kasus penjualan tanah Panti Asuhan Budi Luhur kepada Bank Aceh. Ini tidak akan menjadi polemik, seandainya dalam prosesnya pemerintah tidak melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Sebab publik pasti akan langsung berteriak ketika penjualan ini masih berupa ide. Demikian dengan berbagai tuduhan dan desas-desus bahwa proyek-proyek pemerintahan dikerjakan asal-asalan dengan harga tinggi karena pelaksananya adalah tim sukses Bupati.

Tuduhan bahwa Bupati mengutamakan pembuatan jalan untuk akses ke kebunnya sendiri bukan ke daerah lain yang seharusnya lebih diprioritaskan. Polemik program transmigrasi peternakan sapi. Tidak akan terjadi, seandainya dalam proses pengambilan keputusannya bupati lebih terbuka, dan terlebih dahulu melempar ide ke publik sebelum mengambil keputusan.

Munculnya kembali sentimen uken-toa, juga tidak terlepas dari tidak adanya transparansi ini.

Dengan adanya transparansi, sebelum sebuah kebijakan dilepas. Akan terjadi perdebatan dan akan banyak masukan dari publik, tentang baik buruknya kebijakan itu nanti. Pasti akan ada pro dan kontra, tapi pasti akan banyak masukan berharga juga. Karena yang akan terlibat memberi masukan itu bisa jadi orang Gayo yang ada di seluruh penjuru dunia.

Pemerintah DKI, pemerintah kota Surabaya dan Bandung yang permasalahannya jauh lebih kompleks dibanding kabupaten-kabupaten Gayo sudah membuktikan. Segala kemudahan teknologi informasi yang ada sekarang ini, membuat transparansi kebijakan ini menjadi sesuatu yang sangat mudah sekali. Dan terbukti, kebijakan pemerintah di semua daerah itu, meski banyak yang kontra tapi secara umum sangat memuaskan bagi rakyatnya.

Jadi, mumpung sekarang ada banyak anggota DPRK yang baru terpilih yang dengan penuh semangat mengatakan akan berjuang demi mensejahterakan rakyat Gayo. Mari kita tantang saja mereka dengan mengatakan “Paksa pemerintah untuk transparan, Berani!?”

*Anggota Dewan Adat Gayo

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.